Kamis, 21 Oktober 2010

SEMARAK MAJALIS ILMI

JADWAL KAJIAN AHLUS SUNNAH PONTIANAK ( TERUPDATE )

1. MADRASAH SALAFIYYAH LIL ABA'( NAHWU, SHOROF, AQIDAH & FIKIH )
SENIN - KAMIS JAM 16 : 30 - 20 : 00
TEMPAT SURAU H. ABDURRAHMAN, KUSUMA WIJAYA, PONTIANAK
2. FAT-HUL MAJID LISYARHI KITABIT TAUHID LISYAIKH ABDURRAHMAN HASAN
JUM'AT BA'DAL ISYA
TEMPAT SURAU H. ABDURRAHMAN
3. TAFSIR JUZ TABAROK LIBNI KATSIR
SABTU BA'DAL ISYA'
TEMPAT MASJID DARUSSALAM PITI, TANJUNG PURA
4. SYARH MUYASSAR LIAHADITSI BULUGHIL MAROM
AHAD BA'DAL MAGHRIB
TEMPAT SURAU H. ABDURRAHMAN
5. SYARAH MUYASSAR KITABUL JAMI' MIN BULUGHIL MAROM ( UMAHAT )
AHAD JAM 16 : 30
TEMPAT SURAU H. ABDURRAHMAN
INFORMASI : 085252291572
WABILLAHIT TAUFIQ.

SEMARAK MAJALIS ILMI

DAUROH BERSAMA USTADZAN FADHILAN
UST. ABU UTSMAN ALI BASUKI & UST. ABDULBARR KAISENDA hafidzohumalloh

DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS ILMU IKHWAH AHLUS SUNNAH KAL - BAR PADA KHUSUSNYA DAN KAUM MUSLIMIN KAL - BAR PADA UMUMNYA MAKA MA'HAD MANARUS SUNNAH PONTIANAK BIIDZNILLAH AKAN MENYELENGGARAKAN DAUROH BERSAMA USATIDZAH AHLUS SUNNAH JAKARTA ;
1. UST. ALI BASUKI Lc. HAFIDZOHULLOH
2. UST. ABDULBARR HAFIDZOHULLOH
WAKTU / TEMPAT : 5 - 7 DZULHIJJAH 1431 H ( 12 - 14 NOPEMBER 2010 )
AGENDA DAUROH : 1. JUM'AT BA'DAL ASHR AL QOWA'IDUL ARBA'AH ( UST. ALI )
BA'DAL MAGHRIB & BA'DAL ISYA' FIKIH JUAL BELI ( UST. ABDULBAR )
2. SABTU JAM 09 : 30 - 14 : 00 AL QOWA'IDUL ARBA'AH
BA'DAL MAGHRIB & BA'DAL ISYA' FIKIH JUAL BELI
3. AHAD JAM 09 : 30 SEMINAR " MENGUAK KEINDAHAN & KEMULIAAN ISLAM "
[ TELAAH RISALAH DURROH MUKHTASHOROH FI MAHASINI DINIL ISLAMI
KARYA SYAIKH ABDURRAHMAN BIN NASHIR AS SI'DIY ROHIMAHULLOH ]
NARASUMBER : 1. UST. ABDULBARR 2. UST. ALI BASUKI
MODERATOR : UST. ABU UNAISAH
BA'DAL MAGHRIB AL QOWA'IDUL ARBA'AH
BA'DAL ISYA' FIKIH JUAL BELI
INFORMASI & DONASI : UST. ABU UNAISAH ( 08157038757 )

MA'HAD MANARUS SUNNAH PONTIANAK

PENERIMAAN SANTRI I'DAD MU'ALLIMIN

SATU HAL YANG DIMAKLUMI BAHWA KALIMANTAN BARAT MEMBUTUHKAN BANYAK PARA PENGAJAR DINIYYAH BAIK KOTA MAUPUN DAERAH - DAERAHNYA MAKA MA'HAD MANARUS SUNNAH MEMBUKA KESEMPATAN KHUSUSNYA BAGI PARA PEMUDA KAL - BAR & LUAR KAL-BAR UNTUK MENGIKUTI PROGRAM PENDIDIKAN CALON - CALON PENGAJAR DINIYYAH.

KETENTUAN : 1. LAKI - LAKI USIA MIN. 18 TH
2. LANCAR BACA AL QUR'AN ( TES )
3. LANCAR BACA & TULIS BAHASA IND. DENGAN BAIK
4. MEMILIKI DASAR BACA - TULIS ARAB AKAN DIPRIOROTASKAN
5. IZIN DARI ORANG TUA / KELUARGA BAGI YANG SUDAH MENIKAH
6. BERSEDIA DIASRAMAKAN & MENTAATI PERATURAN
7. BERSEDIA MENGIKUTI PENDIDIKAN MIN. 2 TH
8. BERSEDIA BERDAKWAH DIWIL. KAL - BAR PASCA PROGRAM
9. TERBATAS UNTUK 10 ( SEPULUH ) SANTRI !

FASILITAS : INSYAALLOH GRATIS BEA ASRAMA, BEA MAKAN, BEA KITAB
KAJIAN UMUM / PEKAN ; FAT-HUL MAJID, TAFSIR IBNU KATSIR, BULUGHUL MAROM
DAUROH BULANAN KITAB - KITAB AQIDAH SALAFIYYAH

KURIKULUM : ILMU BAHASA ARAB, ILMU AL QUR'AN, ILMU HADITS, ILMU TAUHID,
ILMU ALAT SYARIAH, ILMU FIKIH DLL.

TEMPAT PENDAFTARAN : MA'HAD MANARUS SUNNAH
SURAU H. ABDURRAHMAN JL. IMAM BONJOL GG. KUSUMA WIJAYA
PONTIANAK TENGGARA, KAL - BAR
HP. 08157038757
PENGASUH : UST. ABU UNAISAH JABIR
TA'AWUN DONASI : REK. BANK MU'AMALAT CAB. PONTIANAK
NO. 0105731542 AN. RAHMADI QQ YAYASAN MEDIA BINA ILMU
ATAU HUB. ABU IRHAS 085252291572

Selasa, 07 September 2010

SHOLAT 'IED DIJALAN SAH ?

HUKUM SHOLAT ‘IED DIJALAN RAYA

Sholat ‘ied, tidak diragukan lagi bahwa ia merupakan syi’ar agung dalam dien Islam, untuknya disyareatkan seluruh kaum muslimin hadir bahkan para wanita yang haid sekalipun, disaksikan didalamnya takbir, dzikir – dzikir kepada Alloh dan doa yang diaminkan oleh jamaah serta banyak lagi dari berbagai kebaikan yang lainnya. Terlebih ‘iedul fitri yang merupakan hari berbahagianya hamba – hamba Alloh yang berpuasa sebelum mereka menemui kebahagiaan yang jauh tiada bandingnya nanti disaat menghadap kepada Maha Penciptanya yang mereka berpuasa sebulan penuh karenaNya semata. Dari semua perkara diatas tak sedikit ulama kita rohimahumulloh baik yang telah wafat atau masih hidup yang berpendapat bahwa sholat ‘ied hukumnya adalah wajib ‘ain ya’ni wajib atas setiap muslim.
Diantara hukum yang berkait dengan syiar yang agung ini adalah disunnahkannya untuk melangsungkannya dilapangan terbuka atau yang dikenal dikalangan para pakar fikih dengan sebutan al musholla kecuali bagi penduduk Makkah maka yang sunnah bagi mereka adalah dimasjidil Harom.
Berkata Abu Sa’id Al Khudzriy rodhiyallohu ‘anhu :

(( كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى فأول شيء يبدأ به الصلاة . . . )) الحديث

Terjemahannya : (( Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam senantiasa keluar dihari ‘iedul fitri dan adha menuju al musholla maka perkara pertama yang beliau mulai adalah sholat … )) al hadits riwayat Al Bukhoriy – Muslim.
Berkata Syaikhul Islam rohimahulloh : “ tidaklah ada seorangpun dari kaum muslimin yang mengerjakan sholat ‘ied dimasjid kabilahnya dan tidak juga dirumahnya ”._[ Majmu’ul Fatawa ( 4 / 480 ) dinukil dari Risalah Ust. Abu Zakariya hafidzohulloh ( 20 ) ].
Diantara sekian kaum muslimin yang kami dengar berita tentang mereka dihari ‘ied ini dikota pontianak adalah kebiasaan sebagian mereka menyelenggarakan sholat ‘ied dijalan raya, sementara dibeberapa tempat terdapati penyelenggaraannya dilapangan atau halaman terbuka. Maka hal ini menjadi letak pertanyaan kepada kami yang menuntut adanya penjelasan wabillahit taufiq.
Berkata Al Imam ‘Alauddien Al Mardawiy Al Hambaliy rohimahulloh : “ ketiga, dikecualikan dari pernyataan penulis ( Al Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh ) dan selainnya dari ulama yang menyebutkan ( hukum sholat ditempat – tempat yang dilarang ) secara mutlak adalah sholat jum’at dan semisalnya dijalan raya atau ditepi jalan raya maka ia adalah sah dalam kondisi terpaksa, ini pendapat yang dinashkan ( oleh Al Imam Ahmad rohimahulloh ). Demikian halnya sholat diatas kendaraan dijalan yaitu sah. Inilah yang ditetapkan secara pasti oleh penulis ( Al Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh ) didalam kitabnya Al Mughniy juga oleh pensyarah, Al Majd didalam syarahnya, penulis Al Hawiy Al Kabir, penulis Al Furu’ dan selain mereka yaitu sah sholat Jum’at, sholat jenazah dan sholat – sholat ‘Ied serta semisalnya ketika kondisinya terpaksa dilaksanakan dijalan – jalan...”_ [ dari kitab Al Inshof karya ‘Alauddien Ali bin Sulaiman Al Mardawiy ( 3 / 494 ) maktabah syamilah ].
Mafhum dari penjelasan Al Inshof diatas bahwa jika kondisi tidak terpaksa maka tidak sah. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Al Imam Ahmad rohimahulloh.
Berkata Al Imam Abu Ya’la Al Farro’ rohimahulloh : “ letak pertanyaan : ada perbedaan riwayat ( dari Al Imam Ahmad ) jika sholat ditempat – tempat yang dilarang sholat padanya ( yang salah satunya adalah jalan raya sebagaimana akan datang haditsnya insyaalloh ) yaitu apakah batal sholatnya ( artinya tidak sah ) ?
Maka Bakr bin Muhammad menukilkan : jika sholat ditempat yang dilarang oleh Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam seperti tempat penambatan onta, pekuburan maka ia ulangi sholatnya berdasar larangan dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam untuk sholat ditujuh tempat sedang larangan menunjukkan rusaknya perkara yang dilarang.
Adapun Abul Harits : jika sholat dipekuburan atau toilet umum maka makruh. Ada yang bertanya : dia ulangi sholatnya ? beliau menjawab : jika dia ulangi maka hal itu lebih aku sukai. Tekstual dari nukilan Abul Harits ini menunjukkan bahwa mengulangi sholat tidaklah wajib sebab ia adalah tempat yang suci dari najis lagi menghadap kiblat maka shlatnyapun sah. Dalilnya adalah tempat – tempat lain selain tempat – tempat yang dilarang.
Dan Hambal : jika sholat ditempat penambatan onta dalam keadaan ia tidak mengetahui hukumnya serta tidak pula sampai kepadanya hadis larangan maka aku berharap tidak mesti atasnya mengulang sholatnya namun jika ia telah dengar hadisnya ternyata dia langgar maka ia ulangi sholatnya sebagaimana kami nyatakan dalam masalah takbir dibelakang shof sendirian yaitu jika ia tahu maka tidak sah takbirotul ihromnya namun jika tidak tahu maka sah ”._[ kitab Al Masa’il Al Qodhi Abu Ya’la Al Hambaliy ( no. 81 hal. 54 ) maktabah misykat ].
Riwayat pertama yang dinukilkan oleh Bakr bin Muhammad itulah yang masyhur didalam madzhab.
Berkata Al Imam Al Mardawiy rohimahulloh : “ Pernyataan beliau ( Ibnu Qudamah rohimahulloh ) : dan tidak sah sholat dipekuburan, toilet umum, toilet rumah, tempat penambatan onta serta tempat curian dan berkata sebagian pembesar madzhab kami bahwa hukum tempat penjagalan ternak, tempat pembuangan sampah dan jalan raya berikut atap – atapnya pun demikian. Syarh : Inilah pendapat madzhab dan para ulamanyapun berada diatas pendapat ini. Berkata penulis Al Furu’ : inilah pendapat yang masyhur dan itulah yang shohih didalam madzhab. Berkata penulis ( Ibnu Qudamah rohimahulloh ) serta yang lainnya : ini merupakan pendapat tekstual madzhab dan ini termasuk mufrodat dari beliau ( pendapat yang menyelisihi imam yang tiga ). ”_[ Al Inshof ( 2 / 489 ) ].
Senada dengan nukilan – nukilan diatas juga dinyatakan oleh Al Imam Az Zarkasyiy dalam syarah Al Khiroqiy rohimahumalloh [ ( 1 / 219 ) maktabah syamilah ].
Yang menjadi dalil madzhab dalam masalah ini selain keumuman – keumuman syareat juga adalah hadits Abdulloh bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma dengan lafadz :

نَهَى النبيُّ صلّى الله عليه وسلّم أَنْ يُصَلَّى في سبعةِ مَوَاطِنَ: المَزْبَلةِ، والمَجْزَرَةِ، وَالمَقْبَرَةِ، وَقَارِعَةِ الطريقِ، وَالحَمَّامِ، وَمَعَاطِنِ الإبلِ، وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ الله .

Terjemahannya : “ Nabi Sholallohu ‘alaihi wasallam melarang sholat ditujuh tempat yaitu tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan ternak, pekuburan, jalan raya, toilet umum dan tempat penambatan onta serta atap ka’bah ”.
Takhrijnya : Hadits tersebut diriwayatkan oleh At Tirmidziy dalam As Sunan ( 346 ) dan Ibnu Majah ( 746 ) dari jalan Zaid bin Jabiroh dari Dawud bin Al Hushoyin dari Nafi’ dari Ibnu Umar berkata dst. berkata At Tirmidziy : “ dan hadits Ibnu Umar ini sanadnya tidaklah sebegitu kuat dimana Zaid bin Jabiroh telah dikritik dari segi hapalannya ”. Demikian penilaian At Tirmidziy padahal guru beliau yaitu Al Imam Al Bukhoriy telah mengkritiknya dengan fatal dengan menyatakan : “ mungkarul hadits ” artinya matruk yaitu dalam tingkatan sangat lemah bahkan Ibnu Abdul Barr menyatakan : “ mereka sepakat bahwa ia ini lemah ”_[ Tahdzibut Tahdzib Ibnu Hajar ]. Maknanya bahwa hadits ini lemah sekali sebagaimana hal ini juga ditegaskan oleh Ma’aliy Asy Syaikh Sholih aalu Syaikh hafidzohulloh dalam syarah Bulughul Marom dimana disana beliau juga mengisyaratkan adanya dukungan dari Hadits Umar bin Al Khotob rodhiyallohu ‘anhu riwayat Ibnu Majah.
Hadits riwayat Ibnu Majah dari Umar adalah dino. ( 747 ) dengan sanad yang lemah pula dimana didalamnya terdapat Abu Sholih penulisnya Al Laits dan Abdulloh Al Umariy, keduanya sama – sama lemah. Kondisi sanad demikian ini tidak dapat dijadikan dukungan untuk menguatkan hadits Ibnu Umar. Wallohu a’lam
Kesimpulannya : derajat hadits Ibnu Umar ini adalah tetap lemah bahkan lemah sekali.
Namun bukan berarti dengan lemahnya dalil ini tidak ada pula hukum yang ditunjukkan oleh dalil tersebut, sama sekali tidak ! sebab [ tidak adanya dalil tidaklah menafikan madlul yang ditunjukkan olehnya ] dimana bisa saja hukum tersebut masuk dalam keumuman – keumuman syareat.
Dimungkinkan pendapat masyhur dalam madzhab ini mengacu kepada keumuman larangan berbuat kedzoliman terhadap siapapun termasuk kepada kafir dzimmi, mu’ahad atau musta’min dimana jalan raya adalah hak umum, mungkin juga mengacu kepada kurangnya kekhusyu’an orang yang sholat dsb [ lihat Syarah Bulughul Marom liMa’aliy Sholih Aalu Syaikh ]. Al Hasil bahwa inilah riwayat yang masyhur didalam madzhab Al Imam Ahmad.
Adapun menurut riwayat yang lain didalam madzhab ( sebagaimana dinukil dari beliau oleh Abul Harits diatas ) yang juga merupakan pendapat kebanyakan ulama maka sholat dijalan raya adalah sah disertai kemakruhan.
Dalil riwayat ini adalah keumuman hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhuma dengan lafadz :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( . . . وجعلت لي الأرض مسجداً . . . )) الحديث

Terjemahannya : Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : (( . . . dan bumi ini dijadikan bagiku sebagai masjid . . . )) al hadits riwayat Al Bukhoriy _ Muslim.
Juga keumuman hadits Abu Sa’id Al Khudzriy rodhiyallohu ‘anhu dengan lafadz :

قال النبي صلى الله عليه وسلم : (( الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ المَقْبَرَةَ وَالحَمَّامَ )) .

Terjemahannya : Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : (( bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali pekuburan dan toilet umum )).
Takhrijnya : riwayat Ahmad ( 18 / 312 ) Abu Dawud ( 492 ) At Tirmidziy ( 317 ) dan Ibnu Majah ( 745 ) berkata Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom : “ ia memiliki cacat ” yaitu keterputusan sanad berupa irsal sebagaimana diisyaratkan oleh At Tirmidziy namun Syaikhul Islam menyatakan : “ hadis ini riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Bazar serta yang lainnya dengan sanad – sanad yang bagus sedang siapa yang mengkritik keabsahannya maka ia belum meneliti seluruh jalan – jalannya ”_[ Iqtidho ( 2 / 672 ) ].
Awal hadis ini seperti hadis Jabir sebelumnya yaitu idzin untuk sholat ditempat manapun dari bumi ini yang artinya adalah sahnya sholat kemudian dalam akhir hadis ini dikecualikan dua tempat yaitu pekuburan dan toilet maka artinya tidak diizinkan. Yang dikecualikan dalam dua hadis shohih ini hanyalah dua tempat tersebut artinya jalan raya tidak termasuk sehingga boleh sholat padanya dan konsekwensinya sah namun demi melihat keumuman – keumuman syareat maka keabsahannya adalah secara makruh dalam kondisi diperlukan,inilah riwayat kedua dalam madzhab dan dirojihkan oleh Ibnu Qudamah serta Al Khiroqiy sebagaimana dinyatakan oleh Az Zarkasyiy rohimahumulloh.
Kembali kepada awal perbincangan, selayaknya bagi umat islam diPontianak dan tempat lain untuk tidak menggunakan fasilitas jalan raya sebagai tempat menyelenggarakan sholat ‘ied secara khusus sementara dihalaman – halaman terbuka juga telah diselenggarakan, terlebih lagi itulah yang mencocoki sunnah baik dari segi maksud maupun lahir. Adapun dijalan raya maka maksimalnya tidak terdapati sunnah secara khusus yang menyebut sholat ‘ied dijalan raya.

والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله

Selesai ditulis malam 29 Romadhon 1431
Oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari
Semoga Alloh mengampuninya beserta kedua orang tuanya

KHUTBAH 'IED

KHUTBAH ‘IED : SATU ATAU DUA KHUTBAH ?

Mas’alah : Apakah pendapat yang rojih dalam bilangan khutbah ‘ied yaitu satu kali ataukah dua kali khutbah ?
Al jawab : Masalah diatas terjadi silang pendapat dikalangan ulama rohimahumulloh, ada diantara mereka yang berpendapat bahwa khotib hanya berkhutbah satu khutbah tanpa ada duduk dan ada pula yang berpendapat bahwa khotib khutbah dua kali dengan ada duduk diantara kedua khutbahnya seperti khutbah jum’at bahkan ada sebagian ulama yang mengisyaratkan adanya ijma’ akan pendapat kedua ini. Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua pendapat dalam masalah ini ;
Pendapat pertama, yang sunnah bahwa khotib hanya khutbah satu kali khutbah saja. Ini merupakan pendapat Atho’ dari kalangan tabi’in bahkan beliau menghikayatkan ijma’ generasi sahabat dalam hal pendapatnya tersebut, ini pula yang menjadi pilihan sebagian masyaikh dizaman ini semisal syaikh Al Albaniy, syaikh Ibnu Utsaimin juga syaikh Yahya.
Dalil mereka diantaranya adalah tekstual dari hadis – hadis sifat sholat ied Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam seperti hadis Abu Sa’id Al Khudriy dll dimana khutbah hanya disebut secara tunggal [ tekstual hadis adalah yang pokok sehingga jika ada penafsiran lain maka dibutuhkan dalil shohih ]. Bahkan lebih terang lagi adalah hadis Jabir bin Abdillah riwayat Muslim dengan lafadz :

(( شهدت مع النبي صلى الله عليه وسلم يوم العيد فبدأ بالصلاة قبل الخطبة بغير أذان
ولا إقامة ثم قام متوكئا على بلال فأمر بتقوى الله وحث على طاعته ووعظ الناس
وذكرهم ثم مضى حتى أتى النساء فوعظهن وذكرهن )) .

Terjemahannya : (( aku menyaksikan hari ‘ied bersama Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam maka beliau memulai dengan sholat sebelum berkhutbah tanpa adzan tanpa iqomat kemudian beliau berdiri dengan berpegangan pada Bilal lalu beliau memerintahkan untuk bertakwa kepada Alloh, menyemangati untuk taat kepadaNya dan menasehati mereka serta mengingatkan mereka kemudian beliau pergi hingga mendatangi para wanita maka beliau menasehati dan mengingatkan mereka )).
Sisi kejelasan hadis ini bahwa Jabir mehikayatkan perbuatan – perbuatan Nabi dengan lafadz [ kemudian ] yang menunjukkan akan tartibnya perbuatan – perbuatan tersebut namun beliau tidak menyinggung adanya khotbah kedua selepas duduk yang padahal kalau kedua hal itu termasuk perbuatan Nabi saat tersebut tentulah tidak akan dilewatkan oleh Jabir terlebih kedua perbuatan itu ada disela – sela perbuatan yang lainnya. Sebagaimana pula mereka berdalilkan dengan ijma’ yang dihikayatkan oleh Atho’ riwayat Abdurrozaq dalam Mushonnafnya ( 5650 ) bab khuruju man madho wal khutbah wa fi yadihi ‘asho dari jalan Ibnu Juraij berkata aku bertanya kepada Atho’ dst syahidnya adalah ucapan Atho’ : “ Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak pernah duduk dimimbar hingga beliau wafat, tidak lain khutbah beliau hanyalah berdiri ” juga “ tiada lain khutbah beliau adalah satu kali dalam keadaan beliau berdiri, tiada lain mereka mengucap syahadat hanya sekali ”. Sisi hikayat ijma’nya adalah ucapan beliau mereka – mereka yaitu para sahabat bahkan beliau tegaskan diantaranya adalah Abu Bakr, Umar dan Utsman, dimaklumi bahwa ucapan tabi’in [ mereka melakukan demikian adalah termasuk hikayat ijma’ ].
Pendapat kedua, yang sunnah bahwa khotib berkhutbah dua kali khutbah dengan ada duduk diantara dua khutbahnya seperti khutbah jum’at. Ini merupakan pendapat imam madzhab yang empat juga Ibnu Hazm bahkan boleh dikata pendapat mayoritas.
Dalil mereka adalah beberapa hadis dan atsar yang terang – terang menyebut khutbah ‘ied dua kali seperti jum’at namun sayang hadis – hadis dan beberapa atas tersebut adalah lemah seluruhnya sebagaimana dinyatakan oleh An Nawawi sehingga beliau jelaskan : “ tidak lain pijakan dalam masalah ini adalah qiyas kepada jum’at ”. Namun qiyas disini bisa terdiskusikan dari beberapa sisi diantaranya : perlu ditanyakan bentuk ‘illahnya, adanya beberapa perbedaan dengan jum’ah dan bertabrakannya dengan tekstual hadis – hadis shohih diatas. Sebagaimana mereka juga berdalilkan dengan ijma’ yang diisyaratkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla namun sangkaan ini terdiskusi dari beberapa sisi diantaranya : pendapat Atho’ diatas menunjukkan ada perbedaan pendapat bukan ijma’ sebab [ ijma tidak disebut ijma jika ada ulama yang menyelisihi meski satu alim ] terlebih Atho’ hidup jauh sebelum Ibnu Hazm, diantaranya juga menyendirinya Ibnu Hazm dalam mengisyaratkan ijma’ itupun dalam Al Muhalla sementara beliau punya kitab Marotib Ijma’ secara khusus toh tidak menyebutkan masalah ini didalamnya juga Ibnul Mundzir dll dari para ahli yang berkompeten dalam mengumpulkan ijma pun tidak, diantaranya pula ucapan An Nawawiy diatas “ tidak lain pijakan dalam masalah ini adalah qiyas kepada jum’ah ” artinya jika ada ijma tentulah beliau lebih menetapkannya sebagai pijakan dibandingkan qiyas.
Menilik dari pemaparan diatas hati kami merasa lebih tenang untuk mengikuti pendapat yang dipilih oleh para ulama yang menyatakan satu khutbah saja.
والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله

JUM'ATAN JADI SUNNAH

SHOLAT JUM’AT DIHARI ‘IED

Dimungkinkan hari ‘iedul fithri tahun 1431 ini bertepatan dengan hari Jum’at, hal itu jika Romadhon genap harinya 30 hari sebab tidak terlihatnya hilal Syawwal dihari ke 29 nanti. Bahkan sebagian ormas semisal Muhammadiyyah telah memastikan hal tersebut dalam pengumumannya. Apapun yang bakal datang maka kita tunggu bersama namun akan lebih bagus jika kita mempersiapkan bekal ilmu untuk menghadapi kemungkinan tersebut sebab dalam sunnah Nabi kita sholallohu ‘alaihi wasallam terdapat hukum khusus jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, maka bitaufiqillah kita hendak menelaah meski sepintas akan hal ini wal’ilmu ‘indalloh.

PARA ULAMA BERBEDA PENDAPAT

Serasa inilah sub judul yang tepat untuk hukum sholat Jum’at dihari ‘ied jika hari ‘ied tersebut bertepatan dihari Jum’at. Setidaknya dalam masalah ini ada dua pendapat dikalangan para ulama rohimahumulloh ; Pendapat pertama, hukum Jum’at tetap wajib tidak gugur kecuali bagi orang – orang pegunungan dan pedalaman serta orang – orang yang nomaden seperti kalangan badui ditanah Arab. Ini merupakan pendapat Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah atau boleh dikata jumhur. Pendapat kedua, hukum sholat jum’at gugur bagi kaum muslimin secara umum kecuali penguasa atau yang berkewenangan biasa menyelenggarakan Jum’at maka sunnah atas mereka untuk menyelenggarakannya. Ini merupakan pendapat Hanabilah dan dirojihkan oleh syaikh Taqiyuddien.

DALIL DAN ALASAN MASING – MASING

Perkara yang dimaklumi bahwa kita beribadah adalah dengan dalil dari al Kitab atau as Sunnah atau Ijma’ atau Qiyas yang shohih bukan dengan pendapat seseorang setinggi apapun keilmuannya. Demikian pula dengan melihat dalil dan alasan setiap pemilik pendapat kita akan lapang dada dalam menyikapi perbedaan ini.
A. Dalil dan alasan Jumhur diantaranya adalah : hadis Utsman bin ‘Affan rodhiyallohu ‘anhu bahwa beliau berkata :

(( اجتمع في يومكم عيدان فمن أحب من أهل العالية أن ينتظر الجمعة فلينتظرها ومن أحب أن يرجع فقد أذنت له ))

Terjemahannya : (( Dua hari raya telah berkumpul ditengah – tengah kalian maka barang siapa dari penduduk pegunungan atau pinggiran yang hendak menantikan sholat jum’at maka tunggulah sedang barang siapa yang ingin kembali maka aku telah mengijinkan baginya )).
Hadis diatas shohih diriwayatkan oleh Al Bukhoriy dalam shohihnya kitabul Adhohi mauquf atas Utsman.
Makna hadis tersebut bahwa Utsman bin ‘Affan akan tetap menyelenggarakan sholat jum’at bersama penduduk kota sedangkan penduduk pinggiran atau pegunungan maka beliau ijinkan mereka untuk tidak menghadiri sholat jum’at.
Sisi pendalilan dari hadis diatas bahwa Utsman bin ‘Affan mengucapkan ucapannya tersebut dihadiri oleh para sahabat namun tidak diriwayatkan ada dari antara sahabat yang mengingkarinya menunjukkan bahwa itu menjadi ijma’ mereka. Sebagian ulama menyatakan bahwa [ ijma’ sukuti adalah hujjah ].
Alasan lain atas pendapat mereka diantaranya bahwa sholat jum’at adalah fardhu ‘ain secara ijma’ sedang sholat ‘ied maka hukumnya menjadi letak silang pendapat dikalangan ulama sehingga tidaklah boleh sesuatu yang telah disepakati hukumnya gugur oleh sesuatu yang masih diperselisihkan hukumnya sebagaimana kaedah menyatakan [ jika bertabrakan antara dalil qoth’iy dengan dzonniy maka yang qoth’iy dirojihkan ].
Mereka juga beralasan bahwa dalil – dalil yang menunjukkan gugurnya sholat jum’at kecuali bagi penguasa adalah dalil – dalil yang cacat dari segi sanadnya. Sementara kaedah menyatakan [ dalil lemah tidak dapat dipakai sebagai hujjah ].
B. Dalil dan alasan Hanabilah : mereka memiliki beberapa dalil dari sunnah juga dari atsar sahabat atas pendapat mereka diantaranya ;
1. Hadis Zaid bin Arqom rodhiyallohu ‘anhu, bahwa beliau berkata :

(( صلّى النبي صلى الله عليه وسلم العيد ثم رخص في الجمعة فقال : { من شاء أن يصلي فليصل } )).

Terjemahannya : (( Bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sholat ‘ied kemudian beliau memberikan keringanan dalam sholat jum’at, beliau bersabda { Barang siapa ingin sholat jum’at maka silakan sholat jum’at } )).
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad ( 4 / 372 ) Abu Dawud ( 1070 ) Ibnu Majah ( 1310 ) dan Nasa’iy ( 3 / 194 ) juga al Hakim dalam Mustadrok ( 1 / 288 ) beliau berkomentar tentangnya : “ ini adalah hadis yang sanadnya shohih namun tidak ditakhrij oleh keduanya yi. Al Bukhoriy – Muslim ” disetujui oleh Dzahabiy. Namun didalam sanadnya terdapat seorang perowi yang bernama Iyas bin Abi Romlah seorang tabi’in yang diperselisihkan keadaannya oleh para pakar jarh wa ta’dil, seperti dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Tahdzibnya : “ Dimasukkan dalam barisan ats tsiqot oleh Ibnu Hibban namun Ibnul Mundzir menilai ia adalah rowi yang majhul dan disetujui oleh Ibnul Qoththon ”. Toh demikian hadis ini dihukumi shohih oleh sebagian ulama diantaranya Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya ( 1464 ) juga oleh syaikh Sholih aalu Syaikh dalam syarah Bulughul Maromnya dengan dukungan hadis Abu Huroiroh yang akan datang.
Makna hadis bahwa Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshoh ( keringanan ) bagi kaum muslimin untuk meniggalkan sholat jum’at dihari ‘ied kecuali bagi siapa yang ingin melakukannya.
Sisi pendalilan : bahwa hadis ini tegas menyatakan gugurnya kewajiban sholat jum’at dihari ‘ied dan berubah menjadi sunnah sebab kaedah menyatakan [ adanya kebebasan memilih sebuah amal menunjukkan amalan tersebut sunnah ]. Sebagaimana pula bahwa hadis ini mengisyaratkan bahwa hukum sholat ied adalah wajib sebagaimana jum’at sehingga ada rukhshoh sebab kaedah menyatakan [ rukhshoh hanyalah ditujukan kepada perkara wajib ].
2. Hadis Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( قد اجتمع في يومكم هذا عيدان فمن شاء أجزأه عن الجمعة وإنا مجمعون ))

Terjemahannya : Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : (( dua ‘ied telah berkumpul dihari kalian ini, barang siapa mau maka sholat iednya telah mencukupinya dari sholat jum’at namun kami akan menyelenggarakan sholat jum’at )).
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud ( 1071 ) dan Ibnu Majah ( 1311 ) dengan sanad diadalamnya terdapat perowi yang lemah yaitu Baqiyyah bin al Walid, berkata al Baihaqiy tentangnya : “ mereka bersepakat bahwa Baqiyyah tidak bisa dipakai sebagai hujjah ” sebagaimana dinukilkan dalam Tahdzibnya Ibnu Hajar. Maka hadis ini lemah sanadnya namun sebagaimana telah dijelaskan bahwa syaikh Sholih hafidzohulloh berpandangan ia dan hadis Zaid diatas bisa saling menguatkan.
Makna hadis ini sama dengan yang sebelumnya.
Sisi pendalilannya bahwa hadis ini menegaskan akan gugurnya kewajiban sholat jum’at. Sebagaimana pula bahwa hadis ini menjelaskan disunnahkannya bagi penguasa untuk menyelenggarakan sholat jum’at sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut sehingga berdasar kaedah [ perbuatan Nabi menunjukkan sunnah ] maka iapun sunnah.
Adapun atsar sahabat maka diantaranya adalah persetujuan Ibnu Abbas akan perbuatan Ibnu Zubai yang tidak menyelenggarakan sholat jum’at dihari ‘ied, beliau menyatakan : “ Ibnu Zubair mencocoki sunnah ”.
Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Dawud serta Nasa’iy dan dishohihkan oleh al Hakim dalam Mustadroknya disetujui pula oleh Dzahabiy ( 1 / 296 ).
Sisi pendalilan bahwa ucapan Ibnu Abbas tersebut maksudnya adalah mencocoki sunnah Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam sebab [ ucapan shohabiy “ as sunnah ” maka artinya adalah sunnah Rasululloh ] sehingga tidak sholat jum’at dihari ‘ied adalah sunnah sebagaimana mengerjakannya juga sunnah.

DISKUSI DALIL & ALASAN MASING – MASING

A. Dalil yang dipakai oleh Jumhur yaitu hadis Utsman bin Affan serta dakwaan ijma’ maka terdiskusikan dengan beberapa sisi diantaranya : bahwa tetapnya hukum terhadap penduduk pinggiran juga meluas kepada seluruh umat selain mereka sebab tidak ada penghususan dari Rasululloh untuk mereka berdasar kaedah [ tetapnya hukum atas sebagian umat maka meluas kepada seluruh umat kecuali ada dalil penghususan ] dan ucapan Utsman bin Affan dengan menyebut penduduk pinggiran secara khusus tidak dapat diterima sebagai dalil pengkhususan sebab maksimalnya itu adalah ijtihad beliau, hal ini berdasar kaedah [ tidak ada ijtihad dihadapan nash ] sementara nash dari Rasululloh menunjukkan ta’mim tidak ada penghususan.
Adapun alasan bahwa itu ijma maka ini adalah jenis ijma sukuti sementara kaedah menyatakan [ ijma’ sukuti bukanlah hujjah ] bagaimana sementara ada sahabat lain yang berbeda amal dengan Utsman bin Affan dalam masalah ini ?.
Adapun alasan bahwa secara qoth’iy hukum jum’at adalah wajib sedang hukum sholat ‘ied adalah dzonniy maka terbantahkan dengan kita menyatakan sedari awalnya bahwa hukum sholat ‘ied adalah wajib secara qoth’iy meskipun nisbiy sebab [ penetapan qoth’iyyahnya ataupun dzonniyyahnya sebuah dalil adalah nisbiy ].
Adapun alasan bahwa dalil – dalil yang menunjukkan gugurnya kewajiban sholat jum’at dari segi sanadnya adalah lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah maka terbantahkan dengan alasan bahwa lemahnya dalil – dalil tersebut adalah bentuk lemah yang masih ditoleransi untuk naik kederajat hasan lighoirihi sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Demikian pula terbantahkan dengan adanya sebagian ulama hadis yang telah menshohihkannya.
B. Dalil yang dipakai oleh Hanabilah terdiskusikan dari sisi derajat sanadnya namun hal ini telah dibantah dengan penjelasan yang telah lalu.

PENDAPAT YANG KUAT
Setelah melihat, memaparkan dan menimbang dalil – dalil berikut diskusinya maka yang nampak kuatnya adalah pendapat Hanabilah yang menyatakan gugurnya kewajiban sholat jum’at dan berubah kepada sunnah. Wallohu ‘alam.
Pendapat ini juga dipilih oleh syaikh Taqiyyuddin seperti dalam Majmu’ul Fatawa ( 24 / 211 dst ) juga al qodhi Asy Syaukaniy dalam Durorul Bahiyyahnya.

SHOLAT DZUHUR TETAP WAJIB
Berkata syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh : “ apabila orang – orang telah menghadiri sholat ‘ied maka telah tercapai maksud dari berkumpulnya mereka. Namun bahwa sholat dzuhur tetap wajib dilaksanakan jika tidak melaksanakan sholat jum’at sehingga sholat dzuhurpun tetap pada waktunya dan dengan sholat ‘ied tercapailah maksud dari berkumpul ”. [ Majmu’ul Fatawa ( 24 / 211 ) ]
Dalil akan hal ini adalah keumuman dalil – dalil akan wajibnya sholat lima waktu sehari semalam seperti hadis Mu’adz bin Jabal, Abu Tholhah dan Abu Huroiroh dll, dengan sisi pendalilan bahwa tidak penghususan dengan hari ‘ied akan keumuman dalil – dalil tersebut maka ia tetap muhkam pada tempatnya. Wallohu a’lam.
والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله

PEMBELAAN TERHADAP ILMU DAN AHLINYA

Penulis : Ustadz Abu Unaisah Jabir

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata :

لا تنصرَنَّ سوى الحــديث وأهلــه *** هـم عسكر القرآن والإيمــان
[ Jangan engkau bela kecuali hadis dan ahlinya
Mereka adalah pasukan Al Qur-an dan Iman ]
Berkata Al ‘Allamah Sholih al Fauzan hafidzohulloh : “ Jika engkau menginginkan untuk mengetahui yang benar dari berbagai pendapat dan ingin membantah kebatilan maka pegangilah hadis – hadis Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam sebab padanya terdapat kebenaran, padanya terdapat penjelasan dan padanya terdapat cahaya. Sehingga orang yang membantah berbagai kelompok dengan menggunakan selain Al Qur-an dan As Sunnah niscaya ia tidak akan mampu melakukannya meskipun ia menyangka bahwa dirinya sudah melakukan bantahan. Bantahan hanyalah dihasilkan dengan Al Kitab dan As Sunnah sebab Al Kitab tiadalah mendatanginya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya sedang apa yang datang dari Rasul sholallohu ‘alaihi wasallam maka beliau sesungguhnya adalah orang yang tidak berbicara dengan nafsu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Akan tetapi urusannya adalah engkau mesti memahami Al Kitab dan As Sunnah sebab tidak setiap orang yang melakukan bantahan dengan Al Kitab dan As Sunnah berarti ia memahami Al Kitab dan As Sunnah. Ahlus Sunnah mereka adalah pasukan Al Qur-an dan As Sunnah yaitu mereka adalah pasukan yang tidak akan terkalahkan, jika mereka bersenjatakan dengan Al Qur-an dan As Sunnah niscaya mereka tidak akan terkalahkan selamanya. Alloh berfirman :
{ وإن جندنا لهم الغالبون } [ الصافات : 173 ]
Artinya : { dan sesungguhnya para tentara kami merekalah orang –orang yang menang } [ Ash Shofat : 173 ].
{ إن حزب الله هم المفلحون } [ المجادلة : 22 ]
Artinya : { sesungguhnya pasukan Alloh mereka itulah orang – orang yang beruntung } [ Al Mujadalah : 22 ]._selesai dari [ Ta’liq Mukhtashor ‘alal Qoshidah An Nuniyyah ( 236 – 237 )].

ILMU : KEMENANGAN DENGAN JIHAD

MENANG DENGAN JIHAD DAN ILMU
Berkata Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim rohimahulloh :
والله ما فتحــوا البلاد بكثرة *** أنـى وأعداهم بـلا حســبان
وكذاك ما فتحوا القلوب بهذه الـ *** آراء بل بالعـلم والإيمــان
[ demi Alloh ! tidaklah mereka menundukkan banyak negeri dengan jumlah pasukan yang banyak
Bagaimana mungkin, sedang musuh – musuh mereka jauh lebih besar jumlahnya
Demikian pula tidaklah mereka menundukkan banyak hati dengan beragam pendapat ini
Namun mereka tundukkan dengan ilmu dan iman ]
Berkata Al ‘Allamah Sholih al Fauzan hafidzohulloh : “ Syaikh didalam bait – baitnya ini mendorong dan memberikan semangat agar berjihad melawan musuh dengan pedang dimedan pertempuran fisik dan dengan lisan dimedan pertempuran perdebatan. Kaum muslimin tidaklah mereka menundukkan banyak negeri musuh timur maupun barat dengan numeric pasukan yang besar sebab lawan – lawan mereka dari bangsa Persia maupun Romawi jauh lebih besar, namun menundukkan mereka adalah dengan iman dan aqidah yang shohihah. Tidak pula mereka menundukkan banyak hati dengan beragam pendapat dan pemikiran, namun tidak lain adalah dengan al Kitab dan as Sunnah, mereka menanmkannya kedalam hati sehingga hatipun dipenuhi dengan ilmu dan iman. Yaitu dengan al Kitab dan as Sunnah, bukan dengan perkataan sifulan atau pemikiran sifulan. Tidaklain mereka meraih kemenangan adalah dengan aqidah yang shohihah dan dengan ilmu yang benar lagi manfaat. Mereka tebarkan ilmu ditimur maupun barat sehingga banyak orang memasuki dinulloh ( Islam ) ini dengan bergelombang – gelombang banyaknya. Meluasnya kekuasaan kaum muslimin adalah melalui dua sebab ini yaitu jihad yang benar dengan disertai persiapan dan dengan ilmu yang benar lagi manfaat._selesai dari [ Ta’liq Mukhtashor ‘alal Qoshidah an Nuniyyah ( 1 / 84 ) karya Al ‘Allamah Sholih al Fauzan ]

Selasa, 31 Agustus 2010

SEPUTAR ROMADHON III

I'TIKAF
Berikut adalah pemaparan fawaid fiqhiyyah secara ringkas dari sebagian hadis – hadis seputar I’tikaf yang dibawakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy rohimahulloh dalam kitab beliau “ Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam ”. Semoga hal ini bermanfaat bagi kami dan bagi yang menelaahnya bitaufiqillah.

1 ـ وَعَنْ عائشة رضي الله عنها : (( أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه وسلّم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ، حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ )) . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Terjemahan hadis ke 1 : dan dari Aisyah rodhiyallohu ‘anha : (( Bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukan I’tikaf disepuluh hari terakhir dari Romadhon hingga diwafatkan oleh Alloh kemudian para istri beliau tetap melakukan I’tikaf sepeninggal beliau )) muttafaqun ‘alaihi .
Takhrij hadis : Al Bukhori no. 2024 dan Muslim no. 1174
Fawaid fiqhiyyah hadis diantaranya :
1. Bahwa hadis diatas merupakan dalil akan disyariatkannya melakukan I’tikaf sebab datang hal ini dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam.
2. Bahwa hadis diatas menerangkan hukum I’tikaf yaitu sunnah sebab berasal dari perbuatan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam. Adapun hadis Abu Sa’id rodhiyalloh ‘anhu yang didalamnya terdapat lafadz : «... مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ» yang terjemahannya : (( … dan sesiapa yang telah melakukan I’tikaf bersamaku maka hendaknya ia melakukan I’tikaf disepuluh hari yang akhir )) maka perintah disini adalah untuk sekedar irsyad ( anjuran ) atau dari bentuk (( ولا تبطلوا أعمالكم )) jangan kalian membatalkan amalan kalian setelah kalian memulainya hingga selesai.
3. Bahwa hadis diatas menerangkan waktu yang afdhol untuk melakukan I’tikaf yaitu sepuluh hari terakhir dari Romadhon sebab itulah yang Alloh pilihkan untuk Nabinya secara terus menerus sehingga itulah yang utama. Jika telah dipahami bahwa penyebutan sepuluh hari terakhir dari Romadhon ini adalah untuk penjelasan waktu afdhol maka artinya dihari – hari selainnyapun tetap dapat dijadikan sebagai waktu melakukan I’tikaf. Sebagaimana pula dapat dipahami bolehnya I’tikaf kurang atau lebih dari sepuluh hari.
4. Bahwa hadis diatas menerangkan maksud dari hari dalam I’tikaf yaitu siang hari beserta malamnya sebab lafadz hari dalam bahasa Arab saat disebut secara tersendiri masuk didalamnya malam harinya. Dari penetapan ini maka diketahuilah sebab perbedaan pendapat ulama tentang kapan waktu afdhol seseorang memulai I’tikafnya dalam konteks sepuluh hari Romadhon yang akhir ini ? Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa yang afdhol adalah dari menjelang terbenamnya matahari dihari kedua puluh Romadhon sehingga tepat untuk disebut ia I’tikaf sepuluh hari dan malamnya, ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan dirojihkan oleh guru kami al ustadz Abu Muhammad hafidzohulloh berlandaskan kepada hadis Abu Sa’id rodhiyallohu ‘anhu diatas. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang afdhol ia memulai dari seusai melaksanakan sholat subuh dihari kedua puluh satunya, ini adalah pendapat al imam Ahmad dalam salah satu riwayat berlandaskan kepada hadis Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang akan datang penyebutannya insyaAlloh.
5. Bahwa hadis diatas menerangkan akan muhkamnya syareat kesunnahan I’tikaf ini, tidak ada dalil yang menghapuskannya sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukannya hingga wafat kemudian dilanjutkan pengamalannya oleh para istri beliau.
6. Bahwa hadis diatas menerangkan akan bolehnya para wanita untuk mengamalkan I’tikaf sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menyetujui amalan para istri beliau. Namun hal ini ada adab – adab lain yang mesti dijaga oleh mereka diantaranya izin dari suami sebab ibadah tathowwu’ jika seorang wanita hendak mengamalkannya maka disyaratkan adanya izin dari suami, adab yang lain yang penting juga adalah tersedianya musholla khusus bagi mereka meskipun satu masjid dengan para jamaah lelaki sebab dahulu Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menyediakan musholla khusus untuk para wanita dengan pintu khusus untuk mereka tanpa terpisah dari masjid beliau. Termasuk adab juga adalah tidak mengundang fitnah dengan jalan apapun. والله أعلم

2 ـ وَعَنْهَا قَالَتْ: (( كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلّى الْفَجْرَ، ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ )) . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Terjemahan hadis ke 2 : dan dari beliau rodhiyallohu ‘anha : (( Bahwa Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam jika hendak melakukan I’tikaf maka beliau melakukan sholat subuh kemudian beliau memasuki tempat I’tikafnya )) muttafaqun ‘alaihi.
Takhrij hadis : Al Bukhoriy no. 2033 dan Muslim no. 1173
Fawaid fiqhiyyah dari hadis ini diantaranya adalah :
1. Bahwa hadis ini menerangkan akan kesunnahan menyiapkan tempat khusus semisal tenda meski sekedar tirai perorangan untuk dijadikan tempat menyendiri selama mengamalkan I’tikaf sebab Nabi melakukannya dalam I’tikaf beliau sholallohu ‘alaihi wasallam.
2. Bahwa hadis ini menerangkan akan kesunnahan menyendiri dari kebanyakan jamaah dalam masa I’tikaf sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukannya. Sebaliknya terdapat celaan dari banyak dan seringnya bergumul dengan jamaah saat beri’tikaf dimasjid kecuali sholat berjamaah dan semisalnya dari amalan berjamaah.
3. Bahwa hadis ini menerangkan akan tetap wajibnya seorang yang beri’tikaf untuk menghadiri sholat berjamaah.
4. Bahwa hadis ini menerangkan akan sunnahnya segera masuk ketenda atau menyendiri dari jamaah bagi seorang yang I’tikaf seusai berdzikir sebab tekstual hadis ini menunjukkan demikian perbuatan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam.
5. Bahwa hadis ini dijadikan dalil oleh sebgian ulama yang berpendapat bahwa waktu afdhol seseorang memulai I’tikaf sepuluh hari Romadhon adalah seusai sholat subuh dihari kedua puluh satu sebab tekstual hadis ini demikian adanya. Namun pendalilan ini dibantah bahwa justru tekstual hadis menerangkan bahwa Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam memasuki tenda beliau atau yang semisalnya segera seusai sholat subuh bukan beliau memulai I’tikafnya bahkan isyarat hadis ini menyatakan bahwa beliau telah memulai I’tikafnya sebelum – sebelumnya sebab beliau telah berada dalam masjid.
6. Bahwa hadis ini menerangkan akan tempat pengamalan I’tikaf yaitu masjid sebagaimana secara tegas juga disebut dalam ayat al Qur-an. Ia juga mengisyaratkan bahwa tempatnya adalah masjid yang ditegakkan didalamnya sholat berjamaah lima waktu sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam beri’tikaf ditempat beliau sholat subuh yang tentu saja berjamaah, secara lengkapnya perincian pembahasan tempat akan datang didua hadis berikutnya insyaAlloh.
7. Bahwa hadis ini menerangkan tempat yang afdhol untuk beri’tikaf yaitu masjid Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sebab tempat itulah yang Alloh pilih untuk beliau dalam mengamalkan I’tikaf. والله أعلم

3ـ وَعَنْهَا قَالَتْ: (( إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ ـ وَهُوَ فِي المَسْجِدِ ـ فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةٍ، إِذَا كَانَ مُعْتَكِفاً )) . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

Terjemah hadis ke 3 : dan dari beliau rodhiyallohu ‘anha berkata : (( sesungguhnya Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam memasukkan kepala beliau kehadapanku sementara beliau berada dalam masjid lalu aku menyisir rambut beliau, beliau tidak memasuki rumah kecuali jika ada hajah yaitu disaat beliau sedang beri’tikaf )) muttafaqun ‘alaihi dan ini adalah lafadz milik al Bukhoriy.
Takhrij hadis : Al Bukhoriy no. 2025 dan Muslim 1172
Fawaid fiqhiyyah dari hadis ini diantaranya adalah :
1. Bahwa hadis ini menerangkan wajibnya seorang yang beri’tikaf untuk tetap menetap didalam masjid sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan masjid tempat beliau beri’tikaf walaupun memasuki rumah beliau yang dekat dengan masjid.
2. Bahwa hadis ini menerangkan bolehnya bagi orang yang beri’tikaf untuk mengeluarkan sebagian anggota badannya dari masjid dengan tetap menjaga keberadaan badan didalam masjid sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut.
3. Bahwa hadis ini menerangkan akan bolehnya seorang yang beri’tikaf untuk berbersih diri dan berhias sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut.
4. Bahwa hadis ini menerangkan bolehnya seseorang dibantu oleh orang lain dalam berhias diri sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menyetujui perbuatan Aisyah menyisir rambut beliau dan syariat yang dibolehkan bagi sebagian umat maka ia adalah boleh untuk seluruhnya selama tidak didapati dalil penghususan.
5. Bahwa hadis ini menerangkan bolehnya seorang yang beri’tikaf bergaul dan bersentuhan dengan istrinya selama tidak sampai tingkat bercumbu terlebih lagi berjima’ sebab Nabi menyetujui Aisyah yang memegang kepala beliau saat menyisir.
6. Bahwa hadis ini menerangkan bahwa seorang yang beri’tikaf boleh keluar dari masjid untuk memenuhi keperluannya yang tidak bisa tidak mesti keluar seperti buang air besar atau kecil ( sebagaimana datang tafsirnya dari Az Zuhriy perowi hadis ini ) atau mandi termasuk makan jika tidak ada orang lain yang mengantarkan makanan kepadanya ( ditetapkan dari jalan qiyas menurut Hanabilah seperti dijelaskan oleh guru kami yang mulia Asy Syaikh Abul Habib Asy Syatsriy hafidzohulloh ) sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak keluar dari masjid kecuali untuk keperluan. Namun tidak boleh baginya terlalu bertoleransi diluar masjid setelah menyelesaikan keperluannya sebab ini adalah perkara darurat yang hanya boleh diambil sekadarnya dan jika hal itu terjadi maka batallah I’tikafnya.

4ـ وَعَنْهَا قَالَتْ: (( السُّنَّةُ عَلَى المُعْتَكِفِ أَلاَ يَعُودَ مَرِيضاً، وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً، وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً، وَلاَ يُبَاشِرَهَا، وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ، إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ، وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَ فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ )) . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَلاَ بَأْسَ بِرِجَالِهِ، إِلاَّ أَنَّ الرَّاجِحَ وَقْفُ آخِرِهِ

Terjemah hadis ke 4 : dan dari beliau rodhiyallohu ‘anha berkata : (( Yang sesuai sunnah bahwa seorang yang I’tikaf tidak menjenguk orang yang sakit, tidak melayat jenazah, tidak menyentuh wanita, tidak pula mencumbunya dan tidak keluar dari masjid kecuali untuk keperluan yang mesti dan harus diselesaikan diluar, tidak ada I’tikaf tanpa puasa dan tidak ada I’tikaf melainkan dimasjid jami’ )) riwayat Abu Dawud dan para rijalnya tiadalah mengapa namun yang benar bahwa akhir hadis ini adalah mauquf.
Istilah hadis :
Yang sesuai sunnah : jika diucapkan oleh sahabat maka dihukumi sebagai hadis yang berujung kepada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam baik dari ucapan ataupun perbuatan.
Rijal : adalah orang – orang yang meriwayatkan hadis.
Tiadalah mengapa : berkata guru kami yang mulia Asy Syaikh Abu Abdirrohman Al Hajuriy hafidzohulloh : “ isyarat ada kelemahan meskipun dapat diterima ”.
Mauquf : hadis hanya berujung kepada sahabat dan tidak sampai naik kepada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam baik ucapan atau perbuatan.
Takhrij hadis : Sunan Abu Dawud no. 2472 dari jalan Abdurrahman bin Ishaq dari Az Zuhriy dari ‘Urwah dari Aisyah berkata : dst. Namun sayangnya Abdurrahman bin Ishaq adalah perowi yang memiliki kelemahan sehingga berkonsekwensi tertolaknya hadis dari jalan dia ini. Terlebih lagi bahwa hadis ini asalnya ada diriwayat Ash Shohihain yaitu pada hadis 1 yang telah lewat dalam kajian kita ini sebagaimana hal ini dijelaskan dalam riwayat Al Baihaqiy dalam As Sunan Al Kubro ( 4 / 321 ) juga oleh Ath Thohawiy dalam Ma’rifatus Sunan ( 6 / 395 ) bahkan beliau memastikan bahwa hadis ini adalah bukan ucapan Aisyah tetapi ucapan Az Zuhriy atau yang selainnya dari perowi. Lebih jauh lagi bahwa hadis ini bisa dihukumi mungkar ( seorang rowi yang lemah menyelisihi para perowi yang terpercaya ) dimana Abdurrahman bin Ishaq yang lemah telah menyelisihi para murid Az Zuhriy yang terpercaya dari thobaqoh pertama seperti Malik bin Anas , al Laits bin Sa’d dan ‘Uqoil. Demikian kesimpulan akhir kajian kami terhadap derajat hadis ini sewaktu kami mengkajinya dimaktabah Darul Hadis, Dammaj harosahulloh, kemudian kami dapati penjelasan dari guru kami Asy Syaikh Abul Habib hafidzohulloh bahwa hadis ini adalah dari ucapan Az Zuhriy sehingga ia adalah mursal sementara mursal – mursalnya Az Zuhriy adalah sangatlah lemah. والله أعلم
Fawaid fiqhiyyah dari hadis ini diantaranya adalah :
1. Perlu dicatat bahwa meski hadis ini mungkar artinya sangat lamah namun tidak berarti bahwa apa yang ditunjukkan oleh muatan hadis ini juga tertolak sama sekali sebab tidak adanya keabsahan dalil tidak berarti tidak ada pula apa yang ditunjukkan oleh muatan dalil dari hukum – hukum fiqh.
2. Bahwa hadis ini dijadikan dalil tidak boleh seorang yang beri’tikaf untuk menjenguk orang sakit jika menuntutnya harus keluar masjid sebab berita negative dalam hadis ini bermakna insya’ yaitu larangan jangan ia menjenguk, namun jika orang sakit tersebut ada didalam masjid yang sama maka hal itu boleh bahkan bisa jadi sunnah berdasar keumuman dalil – dalil keutamaan menjenguk orang sakit sebab perbuatan yang berakibat pahala menunjukkan akan kesunnahannya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat dikalangan ulama, mayoritas ulama berpendapat akan tidak bolehnya hal tersebut kecuali jika ia mensyaratkan diawal mula I’tikafnya maka boleh mereka berlandaskan pada hadis ini, namun sayang telah diketahui akan kelemahan hadis ini sehingga tidak boleh dijadikan dalil, mereka juga berlandaskan pada perbuatan Aisyah bahwa beliau melewati orang sakit sementara beliau sedang beri’tikaf saat ada keperluan keluar masjid maka beliau tidaklah menjenguknya, hadis ini riwayat Shohihain disebutkan oleh penulis Umdah. Namun ini hanyalah perbuatan sohabiy terlebih sepeninggal Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sehingga tidaklah kuat untuk dijadikan dalil larangan, mereka juga berlandaskan pada hukum asal yang diterangkan pada hadis sebelumnya dalam kajian ini . Pendapat kedua adalah pendapat Hanabilah yaitu boleh baik dengan syarat atau tidak, landasan mereka adalah qiyas terhadap hajah yang disebut dalam hadis sebelumnya dalam kajian ini. Namun qiyas ini dibantah secara asalnya bahwa menjenguk orang sakit bukan termasuk hajah. Menurut hemat kami pendapat mayoritas ulama itulah yang lebih tepat sebab diantara landasannya adalah hukum asal yang kuat. والله أعلم
3. Bahwa hadis ini dijadikan dalil akan tidak bolehnya orang yang beri’tikaf untuk melayat jenazah dengan penetapan seperti point sebelumnya, namun jika jenazahnya disholatkan didalam masjid tempat dia I’tikaf maka sunnah baginya untuk ikut menshalatinya.
4. Bahwa hadis ini menerangkan tidak bolehnya seorang yang I’tikaf menyentuh wanita namun hadis ini lemah terlebih bertentangan dengan hadis lain yang shohih yaitu hadis sebelumnya dalam kajian ini sehingga yang benarnya boleh.
5. Bahwa hadis ini menerangkan tidak bolehnya orang yang I’tikaf bercumbu dengan wanita, ini juga ditegaskan dalam ayat Al Qur-an sehingga kalau dilanggar maka batal I’tikafnya sebab larangan menunjukkan batal dan rusak.
6. Bahwa hadis ini dijadikan dalil akan dipersyaratkannya puasa atas orang yang I’tikaf sebab yang ditiadakan dalam hadis ini adalah keabsahan I’tikaf atau keberadaan I’tikaf yang syar’iy. Ini merupakan perkara yang diperselisihkan dikalangan ulama ; Malikiyyah, sebagian Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa puasa adalah syarat I’tikaf secara mutlak baik I’tikaf nadzar ataupun sunnah, mereka berlandaskan pada hadis ini namun telah diketahui bahwa hadis ini lemah, juga kepada hadis yang akan datang sesudahnya namun juga yang benar bahwa hadis itu lemah pula, yang paling kuatnya landasan mereka adalah bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam senantiasa berpuasa dalam I’tikaf – I’tikafnya namun ini belum kuat untuk dijadikan landasan syarat sebab berapa banyak amalan yang beliau senantiasa menjaganya toh tidak menjadi syarat bahkan terdapati riwayat bahwa beliau I’tikaf disepuluh hari pertama bulan Syawwal dalam rangka qodho sementara dimaklumi bahwa hari pertama Syawwal sehingga genap sepuluh adalah hari yang dilarang padanya berpuasa. Pendapat kedua adalah pendapat masyhur dalam madzhab Hanabilah dan Syafi’iyyah serta sebagian Malikiyyah yaitu bahwa puasa bukan syarat kecuali jika ia nadzar puasa dan I’tikaf dalam waktu bersamaan, mereka berlandasan kepada riwayat Aisyah yang menyebutkan I’tikaf Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dibulan Syawwal juga mereka melemahkan hadis ini dan sesudahnya.
7. Bahwa hadis ini dijadikan dalil akan disyaratkannya masjid jami’ sebagai tempat I’tikaf sebab yang ditiadakan dalam hadis ini adalah keabsahan I’tikaf atau keberadaan I’tikaf yang syar’iy. Masjid jami’ adalah masjid yang diselenggarakan padanya sholat berjamaah lima waktu, meski hadis ini lemah namun ayat Al Qur-an telah menjelaskan demikian, begitu pula I’tikafnya Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dan para sahabat sehingga ini mirip kesepakatan mereka. Alasan lain, bahwa I’tikaf dimasjid yang tidak diselenggarakan sholat jamaah lima waktu padanya akan menuntut orang yang I’tikaf untuk banyak keluar dari masjid. Namun apakah disyaratkan juga diselenggarakannya sholat jum’ah didalamnya ? letak silang pendapat dikalangan ulama ; Malikiyyah dan Syafi’iyyah mensyaratkannya berlandaskan kepada hukum asal yaitu wajib menetap ditempat I’tikaf kecuali hajah yang mengharuskan, juga perbuatan Nabi dan para sahabat yang senantiasa I’tikaf dimasjid berjum’ah. sedang Hanafiyyah dan Hanabilah tidak mensyaratkannya bahkan sebagian Hanabilah tetap mensunahkan untuk mendatangi jum’ah lebih awal meski berakibat lamanya waktu ia diluar masjid tempat I’tikafnya berdasar kepada keumuman ayat panggilan jum’ah dan keumuman masjid dalam ayat I’tikaf serta keumuman hadis – hadis keutamaan datang lebih awal untuk jum’ah. Menurut hemat kami pendapat pertama lebih utama sebab kuatnya dalil mereka. والله أعلم

5 ـ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ: « لَيْسَ عَلَى المُعْتَكِفِ صِيَامٌ إِلاَّ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ ». رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ، وَالْحَاكِمُ، وَالرَّاجِحُ وَقْفُهُ أَيْضاً.

Terjemah hadis ke 5 : dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : (( Tidaklah wajib puasa atas orang yang I’tikaf kecuali jika ia bernadzar untuk berpuasa )) riwayat Ad Daruquthniy dan Al Hakim namun yang benarnya bahwa hadis ini juga mauquf.
Takhrij hadis : Sunan Daruquthniy ( 2 / 199 ) dan Mustadrok Hakim ( 1 / 439 ) keduanya dari jalan Abdulloh bin Muhammad Ar Romliy berkata : Muhammad bin Yahya bin Abi Umar menghadiskannya kepadaku berkata : Abdul ‘Aziz bin Muhammad menghadiskannya kepadaku dari Abu Sahl paman Malik bin Anas dari Thowus dari Ibnu Abbas dst. Namun Daruquthniy menyatakan bahwa yang benar adalah mauquf. Bukti akan kebenaran ucapan Daruquthniy adalah riwayat Al Baihaqiy dalam Sunan Kubro ( 4 / 318 ) dari jalan Abu Bakr Al Humaidiy dari Abdul ‘Aziz bin Muhammad dari Abu Sahl dari Thowus dari Ibnu Abbas secara mauquf. Terlebih lagi bahwa Abdulloh Ar Romliy dikomentari oleh penulis Bayanul Wahm ( 3 / 442 ) sebagai rowi yang majhul tidak dikenal sehingga ini berkonsekwensi ditolaknya hadisnya ini. Kami juga mendapati bahwa Asy Syaikh Abul Habib hafidzohulloh juga melemahkan hadis ini. والله أعلم
Fawaid fiqhiyyah hadis ini telah kita kaji dihadis sebelumnya.
وصلى الله على محمد وآله وصحبه وسلم والله أعلم والحمد لله .

Selesai disusun pada ba’da Dzuhur
Hari selasa, 21 Romadhon 1431 H.

SERIAL FAWAID ILMU IV

MEWASPADAI KEBODOHAN DAN FANATISME

Berkata Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim rohimahulloh :

وتعرَّ من ثوبين من يلبسهمــا **** يلقـى الردى بمذمة وهــوان
ثـوب من الجهل المركب فوقــه **** ثـوب التعصب بئست الثوبان
Dan telanjanglah engkau dari dua bentuk pakaian sesiapa mengenakannya
Niscaya dia akan terlempar kepada kejelekan dengan tercela lagi terhina
Pakaian kebodohan yang berlipat – lipat yang dilapisi atasnya
Pakaian fanatisme, betapa jeleknya kedua pakaian tersebut.
Berkata Al ‘Allamah Sholih Al Fauzan hafidzohulloh : “ ini adalah nasehat lainnya dari beliau, beliau berkata : telangjanglah engkau dari pakaian kebodohan dan pakaian fanatik namun hendaknya maksud tujuanmu adalah mencari kebenaran, jangan sekali – kali tujuanmu adalah mempertahankan pendapatmu. Demikian halnya, telanjanglah engkau dari kebodohan yaitu dengan engkau menempuh jalan ilmu ( belajar ) sebab kebodohan merupakan penyakit akut yang mematikan dan seorang yang bodoh tidaklah boleh ia mendebat ahli batil sebab kerusakan yang ia timbulkan lebih banyak daripada perbaikannya.
Kebodohan maknanya adalah tidak mengetahui kebenaran, ia terklasifikasikan kepada dua bentuk :
Pertama adalah kebodohan yang berlipat, orang yang kebodohannya berlipat adalah orang yang bodoh namun ia tidak tahu kalau dirinya bodoh bahkan sebaliknya dia sangka dirinya adalah alim. Ini merupakan bentuk kebodohan yang paling fatal, inilah yang dimasa kita ini disebut dengan at ta’alum yaitu seseorang yang berpenampilan atau mendakwakan bahwa dirinya alim padahal ia tidak berilmu.
Kedua adalah kebodohan yang ringan, yaitu seorang yang bodoh namun ia menyadari kalau dirinya bodoh. Artinya, jika ia menyadari bahwa dirinya bodoh niscaya dia akan berusaha untuk belajar._selesai dari [ at Ta’liq al Mukhtashor ‘alal Qoshidah An Nuniyyah karya Al ‘Allamah Sholih Al Fauzan hafidzohulloh ( 1 / 79 ) ]

Kamis, 19 Agustus 2010

BEDA SALAFY . . .

BEDA SALAFY DENGAN MUBTADI’
( dari taqrir Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah )

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh : “ Barang siapa yang berpendapat dan bersikap berdasar al Kitab, as Sunnah dan Ijma’ maka dia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ”. [ Majmu’atul Fatawa li Syaikhil Islam 3 / 346 ]
Penjelasan : Dalil akan taqrir yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam sebagai patokan tentang siapa yang berhak sebagai barisan Ahlus Sunnah diantaranya adalah ;
Firman Alloh

{ واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا نعمة الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا وكنتم على شفا حفرة من النار فأنقذكم منها كذلك يبين الله لكم ءاياته لعلكم تهتدون }

Artinya : { Dan berpeganglah kalian bersama – sama dengan tali Alloh serta jangan kalian berpecah belah. Dan ingatlah nikmat – nikmat Alloh atas kalian yaitu tatkala kalian dahulu saling bermusuhan maka Alloh menyatukan hati kalian sehingga kalian dengan nikmat dariNya menjadi bersaudara, tatkala dahulu kalian berada ditepi jurang neraka maka Dia menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Alloh menjelaskan kepada kalian ayat – ayatnya semoga kalian menjadi orang – orang yang mendapat hidayah }
Didalam ayat tersebut terdapat kewajiban untuk berpegang dengan al Kitab dan as Sunnah serta al Jama’ah dan terdapat keharoman berpecah belah yaitu dengan melanggar apa yang telah Alloh wajibkan tersebut.
Berkata al Imam al Mubajjal Ahmad bin Hambal rohimahulloh : “ Ushul as Sunnah disisi kami adalah berpegang dengan perkara yang dahulu para sahabat Muhammad rodhiyallohu ‘anhum berada diatasnya, meneladani mereka dan meninggalkan berbagai bid’ah ”. [ Ushulus Sunnah riwayat ‘Abdoos bin Malik ]
Berkata pula al Imam al Hasan bin Ali al Barbahariy rohimahulloh : “ Sedangkan asas yang dibangun diatasnya al Jama’ah maka adalah para sahabat Muhammad rodhiyallohu ‘anhum, mereka itulah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ”. [ Syarhus Sunnah lil Barbahariy halm. 16 tartib Abi Sufyan Zaila’iy ]
Dalil lain akan taqrir diatas adalah firman Alloh

{ يأيها الذين آمنوا اتقوا الله وكونوا مع الصادقين }

Artinya : { Wahai orang – orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Alloh dan jadilah kalian bersama para shodiqin }
Didalam ayat diatas terdapat kewajiban atas kaum mukminin untuk mengambil dien ini dari para shodiqin dalam semua bidang dien ini baik ilmu maupun amal, baik akidah, ibadah, mu’amalah maupun akhlak bahkan pergerakan dakwah dsb dari urusan – urusan dien. Para shodiqin yang dimaksud adalah Rasululloh dan para sahabat beliau sebagaimana datang tafsirnya dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma [ lihat Zadul Masir karya Ibnul Jauziy dan tafsir Ibnu Katsir rohimahumalloh terhadap ayat diatas ]._selesai.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh : “ Adapun bid’ah yang menjadi patokan sehingga seseorang menjadi ahlil ahwa’ ( mubtadi’_pent. ) maka adalah bid’ah yang telah masyhur dikalangan Ahlul Ilmi was Sunnah penyelisihannya terhadap al Kitab dan as Sunnah semisal bid’ahnya khowarij, rofidhoh, qodariyyah dan murji’ah ”. [ al Fatawa al Kubro 4 / 193 ]
Beliau juga berkata rohimahulloh : “ Syi’ar ahlil bida’ adalah meninggalkan beragama yang dibangun dengan madzhab as Salaf ”. [ Majmu’atul Fatawa 4 / 155 ]
Penjelasan : Dalil akan taqrir patokan kapan seseorang menjadi mubtadi’ diatas diantaranya adalah dalil – dalil yang telah disebut diatas berikut penjelasannya dari sisi mafhum, diantaranya juga adalah mafhum dari firman Alloh

{ فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله ورسوله إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر } الآية

Dimana didalam ayat ini terdapat kewajiban atas kaum mukminin untuk mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan diantra mereka kepada al Kitab dan as Sunnah baik perkara ibadah, mu’amalah diantara sesama maupun perkara lain terlebih perkara – perkara besar yang menjadi asas dien.
Dalil lain adalah firmanNya

{ وإذا جائهم أمر من الأمن أو الخوف أذاعوا به فلو ردوه الى الرسول والى أولى الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم ولولا فضل الله عيلكم ورحمته لاتبعتم الشيطان إلا قليلا }

Ayat ini selain mengokohkan makna ayat sebelumnya diatas ia juga mewajibkan atas kaum mukminin untuk mengembalikan setiap perkara kepada para Ahlul Ilmi Was Sunnah yang merupakan ulil amri dalam ayat ini. Faedah lainnya dari ayat ini bahwa berpegang dengan al Kitab, as Sunnah dan al Jama’ah merupakan kemuliaan dan rohmah dari Alloh sedang meninggalkannya dan menyelisihinya berarti mengekor syaiton, betapa banyaknya orang yang terjerumus dalam kubangan ini wallohul musta’an.
Sebaliknya mubtadi’ maka ia menyelisihi ayat – ayat diatas sebab timbangan mereka dalam mengembalikan perkara adalah hawa nafsu atau kekelompokan dan kehizbiyahannya, siapa yang menyetujui maka dia kawan sedang siapa yang menyelisihi maka dia lawan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh : “ Oleh karenanya dimaklumi bahwa diantara syiar ahli bida’ adalah melahirkan kebid’ahan sebuah pendapat ataupun sikap kemudian mengharuskan dan memaksa orang lain untuk menyetujui dan mengikutinya. Mereka membangun kecintaan dan pembelaan diatasnya serta membangun kebencian dan permusuhan diatasnya pula sebagaimana khowarij menetapkan kebid’ahannya kemudian mengharuskan orang lain untuk menyetujui dan mengikutinya serta membangun perwalian dan permusuhan diatasnya ”. [ Majmu’ul Fatawa 6 / 338 ]
Kita tutup penjelasan taqrir ini dengan firman Alloh

{ ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسائت مسيرا }

Ayat yang agung ini menjelaskan akibat yang akan menimpa ahlul bida’ yang meninggalkan dan menyelisihi al Kitab, as Sunnah dan Ijma’ jika mereka tidak segera bertaubat kembali kepada Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebelum kematian menghampirinya yaitu ia akan dibiarkan oleh Alloh diatas kebid’ahannya kemudian diakherat dikembalikan keneraka.
Dan dengan mutiara yang terucap dari al Imam al Barbahariy rohimahulloh : “ Ketahuilah ! bahwa keluar dari jalan ini ( manhaj Ahlus Sunnah Wal Jam’ah_pent. ) pada dua kejadian : kejadian pertama, seseorang yang tergelincir dari jalan ini sementara ia tidak mencari – cari kecuali kebaikan maka ketergelincarannya tidak boleh diikuti sebab mengikutinya adalah kebinasaan. Kedua, seseorang menentang kebenaran serta menyelisihi orang – orang sebelumnya dari para muttaqin maka orang ini adalah sesat lagi menyesatkan, ia adalah syaiton yang durhaka ditengah umat ini, wajib atas orang yang mengetahuinya untuk memperingatkan manusia darinya dan menjelaskan kepada manusia akan kisah orang ini supaya tidak ada seorangpun dari umat ini yang terjerumus kedalam bid’ahnya sehingga ia binasa ”. [ Syarhus Sunnah halm. 24 ]
dan dari syaikhu masyayikhina Syaikhul Muhaddits Muqbil bin Hadi rohimahulloh : “ Adapun pertanyaan kapankah seseorang dihukumi keluar dari manhaj as Salaf yang sholih maka jawabnya adalah dengan ia menunggangi bid’ah – bid’ah serta keluar dari manhaj salafus sholih berpindah kepada tasawwuf atau tasyayyu’ atau merayakan acara - acara maulid atau berlapang dada menerima undang – undang konfensional atau juga kepada perwalian yang sempit seperti kekelompokan hizbiyyah yang tidak lain ia adalah perwalian yang sempit sehingga ia membangun perwalian dan permusuhan diatas kekelompokan hizbiyahnya ”. [ Tuhfatul Mujib halm. 111 ]_selesai.

والله أعلم وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم والحمد لله

Pertanyaan : apa boleh untuk disimpulkan dari pemaparan diatas bahwa seorang salafy tidak akan dihukumi menjadi mubtadi’ sebab ia bermudah – mudahan dalam as Sunnah ?
Jawab : kita perlu meminta perincian apakah as Sunnah yang dimaksudkan dalam pertanyaan tsb ? jika yang dimaksudkan adalah as Sunnah dalam pembahasan – pembahasan kitab I’tiqod maka akan menjawab anda al imam asy Syathibiy rohimahulloh : “ firqoh – firqoh yang menyimpang ini menjadi firqoh tidak lain sebabnya adalah mereka menyelisihi al Firqoh an Najiyah dalam perkara yang mendasar, perkara kaedah asasi dari syari’ah ini. Bukan dalam perkara cabang dari cabang – cabang yang ada sebab penyelisihan dalam perkara cabang lagi ganjil ini tidak akan melahirkan perpecahan dan kekelompokan. Tidak lain perpecahan itu munculnya adalah dari penyelisihan perkara asas yang mendasar yang merangkum dan menghusung banyak perkara cabang yang biasanya perkara ini tidak terkhususkan dalam sebagian bab saja atau sebagian tempat saja ( dari bab – bab syareat_pent. )”. [ al I’tishom 2 / 712 ]
Dimaklumi bahwa diantara as Sunnah ada yang merupakan kaedah asasi yang mendasar dan ada yang merupakan cabang, bahkan cabangpun bertingkat – tingkat. Sebab as Sunnah dalam pembahasan ini maknanya adalah : “ thoriqoh yang dahulu Rasululloh serta para sahabatnya berada diatasnya baik perkara ilmiyyah maupun amaliyyah ” [ dari rekaman pelajaran syarh Aqidatus Salafi Ash-habil Hadits oleh Syaikhul Fadhil Muhammad bin Hadi hafidzohulloh ].
Berkata Syaikhul Hafidz Ibnu Rojab al Hambali rohimahulloh : “ as Sunnah adalah thoriqoh yang ditempuh sehingga artinya as Sunnah mencakup berpegang terhadap apa yang dahulu Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam dan para khulafa’ rosyidin berjalan diatasnya dari berupa perkara – perkara I’tiqod, amal maupun ucapan, inilah as Sunnah yang sempurna ”. [ Jami’ul ‘Ulum_syarah hadis al ‘Irbadh halm. 249 ]
Berkata al Imam al Barbahariy rohimahulloh : “ Ketahuilah ! bahwa al Islam adalah as Sunnah dan as Sunnah adalah al Islam, tidak akan tegak salah satunya kecuali dengan yang lainnya ”. [ Syarhus Sunnah halm. 15 ]
Diantara contohnya adalah ucapan al Imam al Mubajjal Ahmad bin Hambal rodhiyallohu ‘anhu : “ as Sunnah disisi kami adalah peninggalan – peninggalan Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam … kemudian diantara as Sunnah yang lazimah yang bila ada seseorang meninggalkan satu bentuk saja darinya secara tidak mengimaninya atau tidak menerimanya maka ia bukan termasuk dari ahlinya ”. [ Ushulus Sunnah riwayat Abdoos ] Perhatikan ! beliau menghukumi orang yang meninggalkan satu bentuk as Sunnah saja sebagai bukan Ahlus Sunnah.
Pertanyaannya apatah tergambar ada seorang alim dan da’I salafy yang bermudah – mudahan dalam as Sunnah ini ? Wallohu a’lam

وعليك بالتفصيل والتبيين *** فالإجمال والإطلاق دون بيان
قد أفسدا هذا الوجود وغير *** الأذهان والأديان كل زمان

Minggu, 15 Agustus 2010

SEPUTAR RAMADHAN II

JADWAL KAJIAN AHLUS SUNNAH PONTIANAK SELAMA BULAN RAMADHAN
BERSAMA UST. ABU UNAISAH hafidzohulloh

1. KITAB MANHAJUL ANBIYA FI TAZKIYATUN NUFUS
[ karya Syaikh Abu Usamah Salim al Hilaliy hafidzohulloh ]
setiap hari jam 17 : 00 - maghrib disurau H. Abdurrahman Gg. Kusuma Wijaya

2. TAFSIR IBNU KATSIR JUZ 29 PLUS TAJWID AL JAZARIYYAH
setiap hari ba'da tarawih disurau H. Abdurrahman Gg. Kusuma Wijaya

3. FAT-HUL MAJID LISYARHI KITABIT TAUHID
[ karya Syaikh Abdurrohman bin Hasan rohimahulloh ]
setiap hari jum'at ba'da tarawih disurau H. Abdurrahman Gg. Kusuma Wijaya

4. AQIDATUS SALAFI ASH-HABIL HADITS
[ karya Syaikh Abu Utsman Isma'il bin Abdurrohman Ash Shobuniy rohimahulloh ]
setiap hari Ahad jam 10 : 00 - dzuhur dimasjid PITI Jl. Tanjung Pura ( pa/pi )

SEPUTAR RAMADHAN

SHOLAT TARAWIH
SEBAIKNYA DUA – DUA ATAU EMPAT – EMPAT ?

Para ulama satu pendapat bahwa sholat tarawih hukumnya adalah sunnah bukan wajib, namun mereka berbeda pendapat pada beberapa hal seputarnya diantaranya adalah ; yang utama berjamaah ataukah sendiri – sendiri ? berapakah bilangan rokaatnya ? cara pelaksanaannya yang utama dua rokaat – dua rokaat atau empat rokaat – empat rokaat ? maka permasalahan yang disebut terakhir itulah yang akan menjadi topik sajian kali ini, semoga anda dapat menikmati sajian ini dan mengambil manfaatnya amin.
Setidaknya dalam masalah ini terdapati dua pendapat ; pertama yang utama cara pelaksanaan sholat tarawih adalah dua – dua. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama yang difatwakan oleh imam Ahmad bahkan Abu Bakr al Hishniy dari kalangan Syafi’iyyah dalam Kifayatul Akhyar menyatakan : “ seandainya sholat tarawih ini dilaksanakan secara empat rokaat dengan satu salam maka sholat tarawihnya tidaklah sah ”. Para ulama yang berpendapat dengan pendapat pertama ini berdalilkan dengan beberapa dalil diantaranya :
1. hadis Abdulloh bin Umar

سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال : (( صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى ))

Bahwa Rasululloh ditanya tentang sholat malam maka beliau menjawab : (( sholat malam adalah dua - dua, jika salah satu dari kalian khawatir akan datangnya subuh maka hendaknya ia sholat satu rokaat sebagai witir atas sholat – sholatnya )).
Hadis tersebut adalah shohih riwayat al Bukhoriy dalam shohihnya no. 990 dan Muslim dalam shohihnya no. 749 yang didalam shohih Muslim terdapat lafadz tambahan diakhir hadisnya

فقيل لابن عمر : ما مثنى مثنى ؟ قال : أن تسلم في كل ركعتين

Maka ditanyakan kepada Ibnu Umar : apakah makna dua – dua itu ? beliau menjawab : engkau salam disetiap dua rokaat.
Sisi pendalilan dari hadis adalah dari beberapa sisi diantaranya ; pertama tekstual hadis. Kedua bahwa jawaban Rasululloh adalah diposisi bayan sehingga tidak akan menyisakan pertanyaan. Ketiga tafsir dari rowi hadis yaitu Ibnu Umar sementara rowi akan lebih tahu terhadap apa yang dia riwayatkan. Keempat perkataan Rasululloh kepada umatnya sehingga tidak mengandung unsur kekhususan atas beliau wallohu a’lam.
2. hadis Abdulloh bin Umar

(( كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلى من الليل مثنى مثنى ويوتر بركعة من آخر الليل ))

(( Rasululloh senantiasa melaksanakan sholat malam secara dua – dua dan melakukan witir dengan satu rokaat diakhir malam )).
Hadis ini adalah shohih diriwayatkan oleh al Bukhoriy ( lihat Fat-hul Bari 2 / 477 ) dan Muslim dalam shohihnya no. 749.
Sisi pendalilan dari hadis adalah perbuatan nabi menunjukkan akan kesunnahannya dan jika hal itu yang menjadi kebiasaan beliau maka menunjukkan bahwa itulah sunnah yang ditekankan.
3. hadis Aisyah Ummul Mukminin


(( كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يصلي فيما بين أن يفرغ من صلاة العشاء [وهي التي يدعو الناس العتمة] إلى الفجر إحدى عشرة ركعة، يسلم بين كل ركعتين ويوتر بواحدة...)) الحديث

(( Rasululloh senantiasa melakukan sholat antara seusai dari sholat Isya’ yang biasa disebut ‘atamah dikalangan manusia hingga datangnya fajar adalah sebelas rokaat secara salam disetiap dua rokaatnya kemudian beliau witir dengan satu rokaat dst )).
Hadis ini shohih diriwayatkan oleh Muslim dalam shohihnya no. 736
Sisi pendalilannya adalah serupa dengan hadis sebelumnya bahkan dalam hadis ini terdapat keterangan tambahan sebagai perincian atas hadis Aisyah yang akan datang wallohu a’lam.
Pendapat kedua dalam masalah ini menyatakan yang utama adalah empat rokaat – empat rokaat. Ini merupakan pendapat sekelompok dari ahli ilmu yang maknanya adalah salam disetiap empat rokaat. Mereka berdalilkan dengan hadis Aisyah Ummul Mukminin :

مَا كَانَ رَسُولُ الله صلّى الله عليه وسلّم يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ علَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أرْبَعاً، فَلاَ تَسْأَلْ عنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثمَّ يُصَلِّي أَرْبَعاً، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً، قَالَتْ عَائِشَةُ: فقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ قَالَ: « يَا عَائِشَةُ، إنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي »

Berkata Aisyah : “ tidaklah Rasululloh menambah dari sebelas rokaat baik dibulan romadhon atau diluar romadhon, beliau sholat empat maka jangan engkau tanya akan indah dan panjangnya sholat beliau kemudian sholat empat maka jangan engkau tanya akan indah dan panjangnya sholat beliau kemudian sholat tiga ” Aisyah bertanya : Wahai Rasululloh apakah engkau tidur sebelum engkau witir ? maka Rasululloh menjawab : (( wahai Aisyah sesungguhnya kedua mataku tidur namun hatiku tidak )).
Hadis ini shohih diriwayatkan oleh al Bukhoriy dalam shohihnya no. 1147 dan Muslim dalam shohihnya no. 738.
Sisi pendalilan dari hadis adalah tekstual bilangan empat – empat – tiga.
Namun sisi pendalilan ini dibantah oleh pemegang pendapat pertama dengan menyatakan bahwa tekstual hadis ini diperinci dengan hadis Aisyah yang lain yang menyatakan dengan tegas salam disetiap dua rokaatnya dan witir satu rokaat yaitu pada hadis sebelumnya.
Kami tambahkan disini, bahkan sebagian ulama semisal Ibnu Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumti’ menjadikan hadis – hadis yang terdapat perincian salam sebagai patokan untuk menghukumi hadis – hadis yang hanya menyebut bilangan tanpa menyebut salam wallohu a’lam.
Kesimpulan : pendapat yang rojih yang kami ikuti dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu salam disetiap dua rokaat menilik kepada kuatnya dalil dan sisi pendalilan serta terbebasnya dalil – dalil tersebut dari bantahan yang berarti.

والله أعلم وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم والحمد لله

Sabtu, 31 Juli 2010

SERIAL FAWAID AL QUR'AN III

PERHIASAN ORANG – ORANG BERPUASA
DENGAN PENGKAJIAN AYAT – AYAT PUASA
حلـــية الصوام بدراسة آيات الصيام

قال الله تعالى : { يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلّكُمْ تَتّقُونَ * أَيّاماً مّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مّرِيضاً أَوْ عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لّكُمْ إِن كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * شَهْرُ رَمَضَانَ الّذِيَ أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لّلنّاسِ وَبَيّنَاتٍ مّنَ الْهُدَىَ وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدّةَ وَلِتُكَبّرُواْ اللّهَ عَلَىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلّكُمْ تَشْكُرُونَ * وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنّي فَإِنّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلّهُمْ يَرْشُدُونَ * أُحِلّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصّيَامِ الرّفَثُ إِلَىَ نِسَآئِكُمْ هُنّ لِبَاسٌ لّكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لّهُنّ عَلِمَ اللّهُ أَنّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالاَنَ بَاشِرُوهُنّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتّىَ يَتَبَيّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمّ أَتِمّواْ الصّيَامَ إِلَى الّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنّاسِ لَعَلّهُمْ يَتّقُونَ } البقرة : 183 – 187

Didalam ayat – ayat diatas terkandung pelajaran – pelajaran yang bernilai seputar hukum – hukum yang berkaitan dengan puasa Romadhon berikut adab – adab pensucian jiwa dan akhlak orang yang berpuasa sehingga sudah semestinya kita tadabbur terhadapnya. Maka dengan memohon taufiq dari Alloh kami mencoba untuk menyebutkan sekelumit dari pelajaran – pelajaran tersebut terlebih dimasa mendekati datangnya bulan Romadhon. Semoga hal ini bermanfaat terutama bagi kami didunia dan akherat, amiin.
1. Ayat tersebut adalah dalil akan hukum puasa atas umat ini yaitu wajib. Hukum ini diambil dari dua sisi dari ayat – ayat diatas ; sisi pertama dari firmanNya { كتب عليكم } penjelasannya bahwa lafadz ini termasuk lafadz – lafadz yang mengusung hukum wajib. Sisi kedua adalah dari firmanNya { فليصمه } penjelasannya bahwa lafadz ini berbentuk perintah sedang kaedah menyatakan ( perintah memberikan faedah wajib ).
2. Ayat diatas menerangkan golongan manusia yang terbebani hukum wajib puasa yaitu muslim, baligh, waras akalnya dan mampu berpuasa baik laki – laki maupun wanita. Hal ini diambil dari beberapa sisi ; pertama firmanNya { يأيها الذين آمنوا } penjelasannya bahwa ayat – ayat ini ditujukan kepada siapa saja yang menyandang sifat iman sebab lafadz ini termasuk dari lafadz umum, secara mafhum mukholafah dari lafadz ini bahwa orang – orang yang tidak beriman yaitu kafir tidak wajib berpuasa sampai mereka beriman yaitu masuk islam sebab kaedah menyatakan bahwa mafhum mukholafah adalah hujjah. Beratolak dari penetapan tersebut maka terdapat cabang pembahasan yaitu apabila seorang kafir masuk islam ditengah hari dari hari – hari Romadhon maka dia wajib memulai puasa dan tidak wajib mengqodho hari tersebut sebab kaedah menyatakan bahwa pembebanan syariat digantungkan kepada terpenuhinya kepantasan - kepantasan untuk menjalankan beban syariat yang diantaranya adalah keislaman. Adapun penetapan tidak wajibnya qodho adalah berdasar kaedah barangsiapa yang menunaikan kewajiban sesuai bentuk yang dituntut maka tidak wajib atasnya untuk mengulangnya, dan orang ini telah menunaikannya sesuai bentuk yang dituntut oleh syariat. Sisi kedua masih dari firmanNya { يأيها الذين آمنوا } penjelasannya bahwa kewajiban puasa terbebankan atas laki – laki dan wanita berdasar keumuman lafadz ini. Namun terdapat dua cabang pembahasan dari penetapan wajibnya atas wanita yaitu dikecualikan wanita haid dan nifas. Penghususan dari keumuman ini adalah dari bentuk penghususan secara terpisah yaitu diterangkan dalam hadis – hadis Rasululloh akan haramnya puasa atas wanita haid dan nifas sehingga secara kaedah ini disebut takhshish munfashil bahwa ( sunnah dapat mentakhshish al qur’an ). Cabang kedua adalah apabila wanita haid atau nifas mendapati suci ditengah hari dari hari – hari Romadhon maka yang utama atasnya adalah menahan diri dari pembatal – pembatal puasa sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan Romadhon namun hal tersebut tidaklah wajib atasnya sebab diharamkan puasa dimasa haid adalah karena adanya penghalang sehingga tidak ada hal yang baru yang diwajibkan atasnya. Sisi ketiga dari firmanNya { عليكم } menjelaskan bahwa kewajiban puasa adalah atas orang yang sudah baligh dan waras akalnya. Hal ini ditinjau dari dua sisi pandang ; pertama, bahwa beban – beban taklif digantungkan pada kepantasan – kepantasan seseorang diantaranya adalah tercapainya usia baligh dan waras akalnya. Kedua, bahwa kewajiban dalam ayat ini ditujukan kepada lafadz “ kalian ” dan yang benar bahwa anak – anak yang belum baligh tidak masuk dalam golongan yang ditujukan kepadanya lafadz – lafadz kalian sehingga ia baligh. Penetapan tersebut juga memunculkan cabang pembahasan yaitu apabila seorang anak mendapati tanda balighnya ditengah hari dari hari – hari Romadhon maka ia wajib memulai puasa dan tidak wajib qodho atasnya demikian pula apabila seseorang yang gila mendapati kewarasan akalnya, dan penetapan akan hal ini sama dengan penjelasan tentang orang kafir masuk islam ditengah hari romadhon. Sisi keempat dari firmanNya { وعلى الذين يطيقونه } dst menjelaskan bahwa kewajiban puasa terbebankan atas orang – orang yang mampu berpuasa dimana orang tersebut memiliki kenormalan dan kesehatan indera dan jasmani. Hal ini ditetapkan dari dua sisi pandang ; pertama, bahwa lafadz على termasuk lafadz – lafadz yang berfaedah wajib. Kedua, bahwa kebebasan untuk memilih antara puasa atau membayar fidyah jika tidak berpuasa bagi orang – orang yang mampu yang disebut diawal ayat tidak diulang lagi ketika setelah perintah dalam firmanNya { فليصمه } menunjukkan bahwa kebebasan memilih ini telah dihapus hukumnya.
3. Ayat – ayat diatas menerangkan definisi puasa yang dimaksudkan oleh syariat yaitu beribadah kepada Alloh dengan menahan diri dari makan, minum atau yang semakna dengan keduanya dan jima’ dari terbitnya fajar kedua hingga datangnya malam disertai dengan niat dimalam sebelumnya. Hal ini diambil dari firmanNya { أحل لكم ليلة الصيام الرفث الى نسائكم _ الى قوله _ وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام الى الليل } ini adalah kadar yang menggugurkan tuntutan wajib dalam puasa, sebagian ahlul ilmi menerangkan bahwa puasa memiliki definisi puasa lahir yang merupakan kadar untuk menggugurkan tuntutan wajib dan ada definisi puasa batin yang merupakan kadar sempurna seperti meninggalkan berbagai perkara yang diharamkan.
4. Ayat – ayat diatas menerangkan kewajiban menggenapkan puasa selama satu bulan Romadhon penuh. Hal ini dipahami dari firmanNya { ولتكملوا العدة } sehingga pula ada kewajiban qodho sebagaimana akan datang perinciannya biidznillah.
5. Ayat – ayat diatas menerangkan tahapan – tahapan pensyareatan puasa dalam Islam yaitu tahapan pertama, kewajiban puasa hari Asyuro’. Sebagian ahlul ilmi memahami tahapan pertama ini dari firmanNya { كتب عليكم الصيام } dimana lafadz shiyam yang masih mujmal dari segi zamannya datang bayannya secara terpisah dalam hadis Rasululloh akan wajibnya puasa Asyuro’. Tahapan kedua, kewajiban puasa Romadhon dengan dua pilihan yaitu berpuasa atau membayar fidyah sebagai ganti puasa meskipun mampu berpuasa. Tahapan kedua ini dipahami dari firmanNya { كتب عليكم الصيام _ الى قوله _ وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين وأنتصوموا خير لكم } Tahapan ketiga, kewajiban puasa Romadhon saja dengan dihapuskan pilihan kedua. Tahapan ini dipahami dari firmanNya { شهر رمضان _ الى قوله _ فمن شهد منكم الشهر فليصمه } penjelasannya bahwa ayat ini merupakan bayan zaman yang masih mujmal dalam firmanNya { أياما معدودات } yaitu hari – hari bulan Romadhon, ayat ini juga menjelaskan mansukhnya ( dihapusnya ) kebebasan memilih membayar fidyah bagi orang yang mampu berpuasa namun tidak berpuasa yang ada pensyareatannya pada tahapan kedua sebab kebebasan memilih tersebut tidak disebut lagi setelah datangnya perintah yang mutlak untuk berpuasa dalam firmanNya { فليصمه }. Tahapan ketiga inilah yang menjadi syareat yang tetap berjalan ( muhkam ).
6. Ayat – ayat diatas menerangkan dengan sesuatu apakah romadhon ditetapkan ? yaitu dengan tiga jalan ; sampainya ilmu, terlihatnya hilal dan mulainya bulan. Jalan pertama yaitu sampainya ilmu yang maksudnya adalah sampainya berita telah masuknya romadhon kepada seseorang atau suatu masyarakat. Jalan ini dipahami dari firmanNya { يأيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام } sebagaimana pula didapati penjelasannya dalam beberapa hadis Rasululloh. Maka kapan seseorang atau masyarakat sampai kepadanya berita masuknya Romadhon berarti wajib atasnya memulai berpuasa meski ditengah hari atau bahkan dipenghujung hari dan tidak wajib atasnya mengqodho hari tersebut sebab tidak ada beban taklif sehingga sampai kepadanya ilmu. Jalan kedua, terlihatnya hilal yaitu hilal Romadhon terlihat disore hari setelah terbenamnya matahari dihari ke 29 Sya’ban. Hal ini dipahami dari firmanNya { فمن شهد منكم الشهر فليصمه } penjelasannya bahwa Alloh menggantungkan kewajiban berpuasa dalam perintahnya ini kepada melihat hilal sehingga mafhum syartnya jika hilal tidak terlihat maka tidak wajib memulai puasa Romadhon. Cabang pembahasan : pertama, tidak terlihatnya hilal ada dua keadaan ; keadaan langit cerah dan terang dan keadaan langit tertutup mendung atau kabut atau hujan atau yang lainnya dari gejala alam maka berdasar keumuman mafhum syart diatas tidaklah wajib puasa bahkan tidak disyariatkan. Kedua, penetapan Romadhon dengan hisab tidaklah diterima sebab Alloh menggantungkan zaman ibadah dengan perbuatan dari kita yaitu melihat. Ketiga, persaksian melihat hilal diterima dari muslim laki maupun wanita meski hanya seorang saja berdasar keumuman lafadz { من شهد منكم } . Keempat, apabila hilal terlihat disatu negara maka hukumnya tetap atas negara – negara lain yang letak geografisnya dibarat negara tersebut atau satu mathla’ dengannya dan belum tentu tetap pada negara – negara yang ditimur negara tersebut atau yang tidak semathla’ dengannya. Hal ini dipahami bahwa lafadz umum ayat ini diinginkan dengannya khusus bukan seumum – umumnya. Demikianlah patokan dalam memahami kaedah ini yaitu setiap lafadz umum namun hukum berkait dengan perbedaan alam yang diluar kuasa manusia maka berarti lafadz umum tersebut diinginkan dengannya khusus. Kelima, barang siapa yang melihat hilal maka hendaknya dikembalikan keputusannya kepada penguasa jika memungkinkan sehingga jika diterima persaksiaannya oleh penguasa maka ia berpuasa bersama penguasa dan khalayak umum namun jika ditolak maka ia tidak berpuasa kecuali bersama mereka, sedangkan jika tidak memungkinkan untuk mengembalikan kepada penguasa maka ia berpuasa meski sendiri. Hal ini bahwa keumuman ayat ini datang takhshishnya secara terpisah dalam hadis – hadis Rasululloh dimana urusan dikembalikan kepada beliau sebagai penguasa sedangkan pada kondisi yang tidak memungkinkan maka hal tersebut berpegang pada tekstual keumuman ayat ini dan ayat – ayat takwa sebatas kemampuan. Jalan ketiga dari jalan menetapkan mulainya Romadhon adalah dengan mulainya hitungan bulan Romadhon yaitu jika tidak terlihat hilal dihari ke 29 Sya’ban maka hitungan Sya’ban digenapkan 30 hari kemudian dimulai setelahnya hitungan hari – hari Romadhon. Hal ini dipahami dari firmanNya { شهر رمضان }.
7. Ayat – ayat diatas menerangkan golongan yang mendapatkan udzur untuk meninggalkan puasa sekaligus gantinya yaitu orang yang sakit, musafir dan orang yang tidak mampu berpuasa. Adapun orang sakit dan musafir maka dipahami dari tekstual firmanNya { فمن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر } konteks sebenarnya berdasar dilalah iqtidho adalah { فمن كان مريضا أو على سفر ( فأفطر ) ف ( عليه ) عدة من أيام أخر } yang terjemahannya { maka barang siapa yang sakit atau bepergian lalu ia tidak berpuasa maka wajib atasnya untuk menggantinya dihari – hari lainnya diluar Romadhon sejumlah hari ia tidak berpuasa tersebut } maka ini adalah penjelasannya sekaligus kewajiban yang harus ia tunaikan sebagai gantinya yaitu qodho. Beberapa cabang pembahasan ; pertama, bahwa safar dalam ayat ini tidak diterangkan batasan jarak minimalnya sehingga kejelasan akan batasan safar dikembalikan kepada ‘urf ( adat kebiasaan ) bukan kepada batasan jarak tertentu yaitu kapan perjalanan seseorang disebut secara ‘urf sebagai safar maka telah tetap padanya hukum – hukumnya termasuk bolehnya meninggalkan puasa. Kedua, sakit yang dinilai sebagai udzur meninggalkan puasa adalah sakit yang apabila seseorang berpuasa pada kondisi tersebut membahayakan dirinya berdasar konteks ayat yang merupakan bayan atasnya. Ketiga, tidak disyaratkan dalam qodho jika lebih dari satu hari untuk berturut – turut namun boleh dipisah – pisah sebab yang dituntut dalam ayat adalah tercapainya jumlah hari yang ia tidak berpuasa. Keempat, yang afdhol seseorang adalah menyegerakan qodho sebab dalam ayat ini memakai huruf fa’ { فعدة } yang faedahnya adalah tartib serta ta’qib tanpa ada senggang waktu yang panjang. Kelima, apabila seorang musafir tiba ditempat menetapnya ditengah hari Romadhon sedang ia tidak berpuasa sebab safar atau orang sakit sembuh dari sakitnya ditengah hari maka yang utama atas keduanya adalah menahan diri dari makan, minum dst hingga waktu berbuka tiba sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan. Sedangkan orang yang tidak mampu berpuasa maka mencakup orang – orang yang sudah renta lanjut usia, orang sakit yang tidak bisa diharap lagi kesembuhannya, wanita hamil dan menyusui. Golongan ini yang wajib atasnya adalah membayar fidyah yang dalam ayat diatas mubayyan dari segi bentuknya yaitu makanan namun masih mujmal dari segi ukurannya namun datang bayannya secara terpisah yaitu dalam sunnah Rosululloh berupa seperdua sho’ untuk setiap orang miskinnya. Hal ini dipahami dari firmanNya { وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين } dimana ditahap kedua pensyareatan puasa Romadhon, ayat ini mencakup orang yang mampu berpuasa namun memilih meninggalkan puasa dengan membayar fidyah dan mencakup golongan yang tidak mampu berpuasa namun telah berlalu penjelasannya bahwa hukum ini masukh pada diri orang yang mampu sehingga tetaplah muhkam hukumnya pada diri golongan yang tidak mampu. Faedah : 1 sho’ = 4 mud, 1 mud = ± 564 gr sehingga ½ sho’ = 2 X 564 gr = 1128 gr = 1,128 Kg ( hitungan mud versi penulis Minhatul ‘Allam Syarh Bulughul Marom ).
8. Ayat – ayat diatas menerangkan sejumlah pembatal puasa yaitu jima’, makan dan minum yang ketiganya ini menjadi letak kesepakatan para ahli ilmu. Pertama, jima’ sebagai pembatal puasa dipahami dari firmanNya { أحل لكم ليلة الصيام الرفث الى نسائكم _ الى قوله _ فالآن باشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم } penjelasannya bahwa kehalalan berjima’ dalam ayat ini dikaitkan dengan waktu malam maka mafhum mukholafahnya bahwa berjima’ disiang hari Romadhon adalah tidak halal bagi kalian yang berpuasa. Kedua dan ketiga adalah makan dan minum yang dipahami dari firmanNya { وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر } penjelasannya bahwa perintah makan dan minum dalam ayat diatas adalah berfaedah mubah sebab berupa perintah yang datang setelah larangan sehingga kembali kehukum asal sebelum larangan yaitu mubah namun zamannya dibatasi hingga terbitnya fajar sebab lafadz { حتى } secara bahasa berfaedah penetapan batas akhir sehingga batas akhir mubahnya makan dan minum adalah terbitnya fajar maka sesudahnya haram berdasar perintah { ثم أتموا الصيام الى الليل } dimana perintah akan suatu perkara berarti larangan atas kebalikan sesuatu tersebut. Cabang pembahasan : dipahami bahwa ‘illah dari jima’ sehingga membatalkan puasa diantaranya adalah membuat lemah orang yang puasa sehingga dengan ‘illah ini bisa diluaskan bahwa setiap perbuatan yang membuat lemah orang yang berpuasa maka membatalkan puasa seperti bekam dan yang semakna dengannya serta memuntahkan isi perut dengan sengaja, kedua perkara ini ada keterangannya dalam sunnah Rosululloh namun diperselisihkan oleh para ahli ilmu baik dari segi dalil maupun dilalah. Sebagaimana dipahami pula bahwa ‘illah dari makan dan minum diantaranya adalah menambah kuat sehingga berdasar ‘illah ini meluas kepada beberapa perbuatan seperti infus atau suntikan obat perangsang tenaga dsb maka semua itu membatalkan puasa. Diantara ‘illahnya juga adalah masuknya sesuatu melalui jalan makan dan minum hingga keperut dengan sengaja sehingga berdasar ‘illah ini ada sebagian ahli ilmu yang memperluas kepada pemakaian celak mata ( diterangkan dalam sunnah namun diperselisihkan dari sisi dalilnya ) juga obat tetes mata ataupun telinga ( keduanya juga diperselisihkan ).
9. Ayat – ayat diatas menerangkan kewajiban atas orang yang meninggalkan puasa yaitu qodho sejumlah hari yang ia tidak berpuasa. Hal ini dipahami dengan dua sisi ; pertama dari keumuman firmanNya { فعدة من أيام أخر } dimana telah berlalu bahwa berdasar dilalah iqtidho konteks ayat ini sebenarnya yaitu { (فأفطر) فـ (عليه) عدة من أيام أخر } kedua dari qiyas aulawiy yaitu jika yang meninggalakan puasa sebab udzur yang diberikan oleh syariat wajib qodho maka tentulah yang meninggalkannya tanpa sebab udzur yang diberikan oleh syariat lebih utama untuk terbebani kewajiban qodho. Dikecualikan jima’ maka tidak hanya wajib qodho namun juga wajib membayar kafaroh sebagaimana datang tambahan bayannya dalam sunnah Rosululloh yaitu membebaskan budak jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut – turut jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin dengan ukuran 15 sho’.
10. Ayat – ayat diatas menerangkan amalan – amalan lain yang dianjurkan selain berpuasa dibulan romadhon diantaranya ; bershodaqoh yang dipahami dari firmanNya { ومن تطوع خيرا فهو خير له} , memperhatikan secara lebih terhadap Al Qur’an baik membacanya, mempelajarinya ataupun mengajarkannya juga qiyam lail ( sholat tarawih ) yang hal ini dipahami dari firmanNya { الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان } lebih jauh bahwa ayat ini menerangkan bahwa Al Qur’an turun disalah satu malam dari malam – malam Romadhon sebab lafadz Romadhon diidhofahkan kepada lafadz syahr ( bulan ), memperbanyak doa yang hal ini dipahami dari firmanNya { أجيب دعوة الداعي إذا دعان } , I’tikaf yang hal ini dipahami dari firmanNya { وأنتم عاكفون في المساجد } lebih jauh bahwa ayat ini memberikan bayan dari sisi tata cara I’tikaf yaitu dimasjid, menunaikan shodaqoh fithr yang hal ini dipahami dari firmanNya { ولعلكم تشكرون } , bertakbir selepas satu bulan penuh Romadhon yang hal ini dipahami dari firmanNya { ولتكبروا الله على ما هداكم } dan secara umum segala bentuk amal sholih berdasar firmanNya { لعلكم تتقون } yang ini merupakan hikmah terbesar dari disyareatkannya puasa.
Demikian sekelumit usaha kami untuk mencoba menghitung – hitung fawaid dari ayat – ayat diatas sebagai perwujudan dari tadabbur terhadap Al Qur’an, kami menyadari akan banyaknya kekurangan yang terutama disebabkan oleh jauhnya tempat kami dari kitab – kitab pendukung dalam kajian ini sehingga kami berusaha untuk mengingat ma’lumat dengan sedikit praktek penerapan ushul dan kaedah fikih, semoga Alloh memberi toleransi dan memaafkan kami akan hal ini amin.
Selesai pengkajiannya pada Sabtu 20 Sya’ban 1431 H.
والله أعلم وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم والحمد لله

MENARA SUNNAH KHATULISTIWA

Artikel-artikel islam ilmiyah dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab, Insya Allah diasuh oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari