Jumat, 28 Mei 2010

SERIAL FAWAID USHULIYYAH

Faedah ke I :

Penerapan Kaedah – Kaedah Ushul

Dalam Kajian Hadis

HADIS KE 1 : HUKUM SHOLAT

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : { خمس صلوات كتبهن الله على العباد ، فمن جاء بهن لم يضيع منهن شيئًا استخفافًا بحقهن كان له عند الله عهد أن يدخله الجنة ومن لم يأت بهن فليس له عند الله ، إن شاء عذَّبه وإن شاء أدخله الجنة }

Berikut adalah penerapan sederhana nan singkat kaedah – kaedah ushul fiqih terhadap hadis Ubadah bin as Shomit diatas wabillahit taufiq :

Kajian terhadap hadis ini menurut kaedah ushul dari dua sisi sbb

Sisi Pertama : Derajat keshohihan hadis

Sisi ini didahulukan atas dasar kaedah ( istimbat hukum adalah cabang dari keshohihan dalil ) dimana kaedah ini merupakan cabang dari kaedah besar dalam islam ( asal ibadah adalah haram kecuali ada dalil ) . Maka kajian sisi pertama adalah sebagai berikut : Hadis ini dengan lafadz tersebut diriwayatkan oleh Malik dalam al Muwatho’ 1 / 254 – 255 dan Ahmad dalam al Musnad 5 / 315 keduanya dari jalan Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari Ibnu Muhairiz bahwa seseorang dari Kinanah yang dipanggil dengan sebutan al Makhdajiy dari Ubadah bin as Shomit . Kemudian hadis dengan lafadz tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan 2 / 62 serta an Nasa’iy 1 / 186 keduanya dari jalan Malik dst . Al Makhdajiy yang disebut dalam sanad diatas adalah seorang rowi yang majhul menurut Ibnu Abdul Barr,[1] menurut kaedah bahwa ( jahalah seorang rowi berdampak pada lemahnya hadis ) hal ini sebab rowi yang majhul memiliki cacat yaitu ( tidak dikenalinya kesholihan serta tingkat hapalannya ) maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini dengan sanad tersebut adalah lemah sementara dalam kaedah dinyatakan ( hadis yang lemah tidak dapat dipakai sebagai dalil dalam aqidah dan hukum ) namun kaedah ini tidak mutlak demikian dimana jika kelemahan hadis tidak fatal seperti yang sedang kita kaji ini maka kaedahnya ( hadis yang lemah dengan kelemahan yang tidak fatal maka tidak dapat dipakai sebagai dalil sehingga didapati ada pendukung yang mengangkat lemahnya hadis tersebut ) . Keadaan hadis ini demikian yaitu ada sanad lain yang mungkin akan mengangkat kelemahannya kepada tingkatan diterima, sanad tersebut adalah sbb : diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad 5 / 317 dan Abu Dawud 1 / 115 keduanya dari jalan Muhammad bin Muthorrif dari Zaid bin Aslam dari Atho bin Yasar dari Abdulloh as Sunabihiy bahwa Ubadah bin as Shomit berkata dst dengan lafadz yang berdekatan dengan lafadz diatas meski ada beberapa perbedaan yang tidak saling kontradiktif . Kita dapati bahwa sanad ini shohih didalamnya juga ada pendukung dari Abdulloh as Sunabihiy bagi al Makhdajiy maka berdasar kaedah ( hadis lemah yang tidak fatal kelemahannya menjadi diterima dengan berbilangnya jalan ) hadis Ubadah diatas adalah dapat diterima dari lemah menjadi hasan lighorihi bahkan secara umum hadis Ubadah ini adalah hasan atau shohih . Adapun kontradiktif lafadz meskipun kaedah menyatakan ( kontradiktif lafadz – lafadz satu hadis berdampak lemahnya hadis ) namun dalam kasus yang ada bersama kita adalah mengikut kaedah ( kontradiktif lafadz – lafadz satu hadis yang tidak saling bertentangan tetapi saling menafsirkan satu dengan yang lainnya tidak berdampak lemahnya hadis tersebut ) . Oleh karenanya tak heran jika beberapa ulama besar pakar hadis menshohihkan hadis ini semisal Muhammad bin Nashr dalam Ta’dzim Qodr sholat ( 968 – 971 ) bahkan beliau memaparkan banyak jalan yang saling mendukung bagi hadis ini dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah seperti dalam al Fatawa ( 22 / 49 ) juga dishohihkan oleh as Syaikh al Albaniy dan as Syaikh Muqbil rohimahumulloh .

Kajian sisi kedua, hukum – hukum yang dapat diambil dari hadis diantaranya sbb :

1. hadis tersebut adalah dalil wajibnya sholat yang lima, hukum ini diambil dari { خمس صلوات كتبهن الله على العباد } sisi pendalilan wajib dari lafadz { كتب ... على } dalam kaedah bahwa ( lafadz ini menunjukkan wajib ) adapun sisi pendalilan sholat yang lima adalah dari { خمس صلوات } apakah selain sholat yang lima tidak ada lagi sholat wajib yang lain ? khilaf dikalangan ulama kepada dua pendapat yaitu pendapat pertama tidak ada lagi selain sholat yang lima sholat wajib dalil mereka diantaranya hadis ini sisi pendalilannya memakai kaedah ( mafhum mukholafah ) yaitu jika yang ditentukan oleh syari’ adalah lima maka mafhumnya selain lima tidak ada terkena hukum wajib . Pendapat kedua menyatakan ada sholat wajib selain yang lima namun mereka khilaf dalam satu persatunya, mereka berdalil dengan banyak argument dan mereka menjawab pendalilan pendapat pertama dengan hadis ini dan semisalnya dengan dua jawaban ; pertama bahwa mafhum mukholafah disini adalah jenis mafhum bilangan sementara kaedah menyatakan ( mafhum bilangan tidak dianggap hujjah ) yaitu penentuan bilangan lima bukan berarti selain yang lima yang tidak disebut tidak terkena hukum wajib . Kedua ada kemungkinan hadis ini didengar oleh rawi dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam diawal masa pensyariatan sebagaimana dimaklumi Ubadah termasuk yang ikut baiat aqobah dengan demikian hadis ini tidak menutup kemungkinan bertambahnya kewajiban, hal ini sesuai kaedah ( pensyareatan dizaman wahyu menerima pembaharuan baik perubahan atau penambahan ) .

2. hadis ini dijadikan dalil akan wajibnya sholat yang lima secara berjamaah atas kaum muslimin, hukum berjamaah diambil dari { على العباد } sisi pendalilan bahwa { العباد } lafadz jama’ ( plural ) yang dalam kaedah ( lafadz jama’ terkandung arti jamaah ) atau ( kewajiban yang dikaitkan kepada lafadz jama’ berarti dituntut adanya jama’ah padanya ) ini merupakan pendapat sebagian ulama . Apakah berjamaah menjadi syarat sah sholat yang lima ataukah sekedar wajib yang tidak sampai tingkat syarat sah ? khilaf dikalangan ulama yang menyatakan wajib jamaah . Adapun hukum kaum muslimin diambil dari { ال } untuk ma’rifah yang berfungsi al ‘ahd ( tercatat ) yang dalam kaedah ( ال al ‘ahd tidak berfungsi umum ) yaitu khusus para hamba yang tergolong dalam penghambaan yang tercatat / teranggap dalam syariat yang mereka adalah kaum muslimin, adapun selain mereka maka masuk dalam jenis penghambaan umum yang tidak dituntut oleh syareat maka mereka tida terbebani kewajiban sholat kecuali sesudah masuk islam .

3. Hadis ini dalil akan wajibnya pelaksanaan sholat dengan sempurna syarat, rukun maupun wajibat, hukum ini diambil dari { فمن جاء بهن لم يضيع منهن شيئا استخفافا بحقهن كان له عهد عند الله أن يدخله الجنة } sisi pendalilannya bahwa kebaikan Alloh dengan dimasukkannya orang yang sholat kedalam surga adalah digantungkan pada sebab yaitu tidak menelantarkan hak – hak sholat sedikitpun . Hal ini sesuai kaedah ( jatuhnya hukum – hukum digantungkan kepada terpenuhi atau tidaknya sebab ) atau ( ibadah yang diikat dengan syarat maka tidak gugur dari tuntutan hingga terpenuhi syarat ) .

4. Hadis ini dijadikan dalil akan tidak kafirnya orang yang meninggalkan sholat diambil dari { ومن لم يأت بهن فليس له عهد عند الله إن شاء عذبه وإن شاء أدخله الجنة } sisi pendalilannya tekstual hadis menyatakan bahwa yang meninggalkan sholat yang lima hukumnya diakherat adalah dibawah kehendak Alloh antara diadzab atau dimasukkan surga artinya dia tidak kafir sebab kafir tidak berada dibawah kehendak namun diakherat pasti diadzab yang abadi . Hal ini sesuai kaedah ( pada asalnya dalil dibawa kepada makna dzohir ( tekstual ) nya ) . Jika telah dipahami maka ketahuilah ! Masalah hukum meninggalkan sholat adalah khilaf dikalangan ulama ( setelah sebelumnya ada hikayat ijma’ dari kalangan sahabat ) kepada dua pendapat ; pertama bukan kekufuran namun hanyalah dosa besar dibawah kekufuran . kedua adalah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari islam . Diantara dalil ulama yang memilih pendapat pertama adalah hadis diatas dengan sisi pendalilan yang telah disebutkan namun sisi pendalilan ini dijawab oleh ulama yang mengikut pendapat kedua dengan beberapa jawaban : bahwa lafadz dzohir { ومن لم يأت بهن } diatas adalah mutlaq sementara didapati lafadz muqoyyad dalam riwayat –riwayat hadis diatas dan kaedah menyatakan ( jika didapati lafadz mutlaq dan muqoyyad pada hukum yang satu maka mutlaq dibawa kepada muqoyyad ) lafadz muqoyyad tersebut adalah :

{ ومن جاء بهن وقد انتقص من حقهن شيئا جاء وليس له عند الله عهد ، إن شاء عذبه

وإن شاء رحم }

Lafadz tersebut diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr dalam Ta’dzimnya dari jalan Muhammad bin Amr dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari Ibnu Muhairiz dari al Makhdajiy dari Ubadah bin as Shomit rodhiyallohu ‘anhu . Sisi muqoyyadnya lafadz ini adalah orang yang berada dibawah kehendak Alloh antara adzab atau surga adalah yang mengerjakan sholat namun meninggalkan kesempurnaan hak – hak sholatnya .

Jawaban kedua, berdasar kaedah ( lafadz peniadaan secara tekstual namun maksudnya adalah peniadaan kesempurnaan ) penerapannya bahwa meskipun secara tekstual lafadz diatas adalah peniadaan mengerjakan sholat yang lima secara mutlak namun yang diinginkan adalah peniadaan kesempurnaan didalam pelaksanaan sholat yang lima dimana ia mengerjakannya namun tidak secara sempurna ditunaikan hak – haknya .

Jawaban ketiga, jika kedua lafadz tersebut dibawa kepada makna tekstualnya masing – masing maka lafadz ini masuk jenis hadis yang goncang secara konteks hadis, dimana seorang rowi ( al Makhdajiy ) yang majhul hal telah meriwayatkan lafadz hadis ini dari Ubadah secara goncang sebab kedua lafadz diatas adalah dari jalan yang bersumber darinya . Jika demikian adanya maka kaedah menyatakan ( kegoncangan dalam hadis baik sanad maupun konteksnya berdampak pada lemahnya hadis sehingga didapati factor lain yang mendukung salah satunya ) dan ( lemahnya hadis berdampak pada tidak pantasnya hadis tersebut dijadikan dalil ) apabila melihat lafadz – lafadz hadis Ubadah dengan sanad – sanad yang lain yang lebih kuat dibanding sanad al Makhdajiy seperti yang dipaparkan oleh Ibnu Nashr dalam Ta’dzimnya ( 967 – 971 ) maka dukungan memihak lafadz kedua . Dari melihat jawaban – jawaban ulama yang merojihkan pendapat kedua dalam kajian hadis ini maka kami mengikuti mereka yaitu bahwa yang benar hadis Ubadah ini adalah dalil hukum meninggalkan sholat adalah kekufuran yang mengeluarkan dari islam, terlebih lagi ditinjau dari sisi mafhum dalam kaedah ( mafhum mukholafah dapat dipakai sebagai hujjah ) yaitu jika yang berada dibawah kehendak Alloh adalah yang melaksanakan sholat yang lima secara tidak sempurna hak – hak sholatnya maka mafhumnya yang tidak sholat sama sekali / meninggalkan sholat dia diakherat tidak dibawah kehendak Alloh .

والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله .



[1] Bahkan Ibnu Hajar al hafidz dalam taqrib menyatakan maqbul ( diterima dengan syarat ada pendukung ) adz Dzahabiy menyatakan wutsiq ( isyarat ada kelemahan pada dirinya ) namun ia dinilai tsiqoh ( terpercaya ) oleh Ibnu Hibban sehingga dimasukkan dalam barisan kitab Tsiqot . Melihat komentar sebagian hufadz diatas maka komentar Ibnu Abdil Barr lah yang kami rasa tepat . wallohu a’lam_

SERIAL ADAB & AKHLAQ

Faedah ke I :

Memakai Celana Panjang

[ sempit nan ketat ]

Adalah as Syaikh Muhammad Nashiruddien al Albaniy rohimahulloh ditanya : “ Apakah hukum memakai bantalon ( celana panjang sempit dan ketat ) ? ”.

Beliau rohimahulloh menjawab : “ bantalon adalah termasuk diantara sekian musibah yang melanda kaum muslimin dizaman ini yang disebabkan oleh penjajahan kuffar kenegeri – negeri mereka sementara para penjajah tersebut datang membawa adat tradisi dan perkara – perkara yang mereka taqlid padanya kenegeri – negeri muslimin yang dijajah dan kemudian sebagian kaum muslimin mengadopsi hal tersebut dari mereka . Namun permasalahan ini luas juga pembahasannya hanya saja dikesempatan ini aku nyatakan secara ringkas :

Bahwa memakai bantalon memiliki dua nilai kerusakan yaitu :

Pertama, pakaian bantalon ketat menggambarkan bentuk aurot, terlebih lagi pada orang – orang yang sholat dengannya sementara ia tidak memakai pakaian atas yang panjang terulur hingga menutup bentuk aurot yang dipertontonkan gambarannya oleh bantalon dari kedua belahan pantat bahkan apa yang berada diantara kedua pantatnya yaitu tatkala ia bersujud . Ini adalah pemandangan yang dapat disaksikan dan sangat disayangkan terlebih dalam sholat berjama’ah, dimana seseorang bersujud kemudian ia mendapati dishof depannya seorang yang berpakaian bantalon tak ayal lagi ia akan menyaksikan belahan antara dua paha orang tersebut bahkan lebih jelek dari pemandangan itu yaitu apa yang ada diantara kedua belahan tadi . Inilah nilai kerusakan yang pertama yaitu bahwa bantalon mempertontonkan gambaran bentuk aurot, padahal tidaklah diperkenankan bagi seorang lelaki terlebih wanita untuk mengenakan pakaian yang mempertontonkan gambaran bentuk aurotnya, dan permasalahan ini telah aku perinci tentangnya dalam kitabku Hijabul Mar’ah al Muslimah .

Nilai kerusakan yang lainnya, bahwa pakaian bantalon adalah pakaian orang – orang kafir, belum pernah seharipun bantalon itu dalam rentang generasi muslimin yang panjang ia merupakan bagian dari pakaian kaum muslimin . Padahal telah datang berita yang shohih dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sabdanya :

{ بعثت بين يدي الساعة بالسيف حتى يعبد الله وحده لا شريك له وجعل رزقي تحتى ظل رمحي ، وجعل الذل والصغار على من خالف أمري ، ومن تشبه بقوم فهو منهم }

Artinya : { Aku diutus mendekati waktu kiyamat dengan pedang sehingga Alloh satu – satunya dzat yang diibadahi tiada sekutu baginya dan dijadikan rizqiku dibawah bayangan tombakku dan dijadikan hina serta rendah atas siapa saja yang menyelisihi urusanku dan barang siapa yang menyerupai suatu kaummaka dia termasuk dari mereka }

Sebagaimana pula telah disebutkan secara shohih didalam shohih Muslim :

{ أن النبي صلى الله عليه وسلم جاء إليه رجل فسلم عليه فقال له : هذه من ثياب الكفار فلا تلبسها }

Artinya : { bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam didatangi seseorang, ia mengucapkan salam kepada beliau maka beliau bersabda kepadanya : ini adalah termasuk pakaian orang – orang kafir maka jangan engkau memakainya !} .

Oleh sebab itu maka barang siapa dari kalangan muslim yang terfitnah dengan mesti memakai bantalon ini karena alasan tertentu wajib atasnya untuk mengenakan pakaian atas yang panjang yang mirip dengan pakaian yang dipakai oleh saudara – saudara kita penduduk Pakistan atau India berupa gamis yang terulur panjang kebawah hingga mencapai lutut, sebenarnya cara ini hanyalah untuk memperingan nampaknya gambaran bentuk aurot seorang muslim yang dibentuk oleh bantalon tadi ” . [ selesai dari transkrip rekaman Silsilatul Huda Wan Nur kaset no. 06 dan no. 82 atau dapat pula dirujuk ke As Shohihah 6 / 405 dan Tamamul Minnah hal. 160 ]

Diterjemahkan dari ملتقى اهل الحديث >> المنتدى الشرعي العام >> البنطلون ... Berikut fatwa dari guru kami syaikh darul hadis salafiyyah – dammaj – yaman as Syaikh Yahya bin Ali al Hajuriy hafidzohulloh memperkuat jawaban as Syaikh al Albaniy .

Teks pertanyaan : “ apakah yang anda ketahui tentang as Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdulloh al Syaikh yaitu mufti umum bahwa deprogram nur ‘ala darb aku mendengar beliau mengatakan : ( sesungguhnya bantalon adalah halal untuk dipakai para lelaki sedang untuk para wanita maka haram ) dan apakah hukum fatwa ini ? ”.

Beliau hafidzohulloh menjawab : “ bantalon adalah tidak boleh sama saja bagi para lelaki maupun wanita, ia merupakan bentuk tasyabuh dengan orang – orang kafir . Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak pernah memakainya, tidak pula seorangpun dari sahabat beliau serta tidak pula seorangpun dari salafus sholih memakainya rodhiyallohu ‘anhum . Barang siapa yang berpendapat bahwa bantalon itu boleh maka yang boleh adalah yang sesuai dengan syariat, sementara hal ini tidaklah sesuai dengan syariat maka pendapat yang menyatakan boleh adalah pendapat yang tidak benar . Adapun as Syaikh Abdul Aziz maka beliau adalah seorang alim termasuk dari kalangan ulama yang mulia namun urusannya adalah seperti urusan selain beliau dari kalangan ulama yaitu bisa benar dan bisa keliru . Kita memohon kepada Alloh agar memberikan taufik kepada kita, kepada beliau dan kepada seluruh muslimin untuk setiap kebaikan ” .

Diterjemahkan dari situs resmi beliau www.sh-yahia.net

SERIAL FAWAID AL QUR-AN

Faidah I :

FAWAID AYAT KE 62 SURAT AN NUR

قال الله تعالى : { إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ الّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُواْ مَعَهُ عَلَىَ أَمْرٍ جَامِعٍ لّمْ يَذْهَبُواْ حَتّىَ يَسْتَأْذِنُوهُ إِنّ الّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُوْلَـَئِكَ الّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ فَإِذَا اسْتَاْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَن لّمَن شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللّهَ إِنّ اللّهَ غَفُورٌ رّحِيمٌ } النور : 62

Terjemahan ayat : { orang – orang yang beriman tiada lain adalah mereka yang beriman terhadap Alloh dan RasulNya dan yang jika mereka sedang bersamanya diatas perkara yang jami’ maka mereka tidak akan pergi sehingga mereka meminta izin kepadanya, sesungguhnya orang – orang yang meminta izin kepadamu mereka itulah orang – orang yang beriman terhadap Alloh dan RasulNya maka jika mereka meminta izin kepadamu untuk sebagian urusan mereka, berikanlah izin bagi siapa yang engkau inginkan dari antara mereka dan mintakanlah ampunan untuk mereka kepada Alloh, sesungguhnya Alloh adalah Ghofur Dzat Maha Pengampun dan Rohim Dzat Maha Pemberi rohmah kepada hambanya } An Nur : 62 _selesai .

Fawaid dari ayat diatas diantaranya sbb :

1. Maksud dari { perkara yang jami’ } adalah perkara ketaatan yang mereka berkumpul padanya semisal jihad, sholat ied ( hari raya ), sholat jumu’at dsb .[1]

2. Yang berhak dimintai izin dalam perkara ketaatan secara tekstual ayat adalah Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam namun hukum yang dikandung ayat ini adalah penguasa .[2]

3. Atas dasar faedah ke 2 diatas maka ayat ini bukanlah dalil bagi pimpinan – pimpinan hizbiyyah yang mengikat setiap anggotanya dengan keharusan meminta izin kepada mereka dalam setiap perkara walaupun perkara ketaatan semisal berinfak, menghadiri jenazah muslim, menghadiri undangan walimah dsb, bahkan ayat ini merupakan bantahan atas kebatilan mereka tersebut .[3]

4. Atas dasar faedah ke 1 diatas terbantahlah seruan – seruan jihad para penyeru hizbiyyah yang tidak memperhatikan hak penguasa untuk dimintai izin didalamnya .[4]

5. Diantara kondisi yang menuntut seseorang untuk meminta izin adalah majelis ilmu bersama seorang guru dimana ia berada didalamnya dan hendak keluar meninggalkan mejelis tersebut untuk keperluan tertentu . [5]

6. Penguasa memiliki hak pemberian izin atau penolakan izin berdasar kebijaksanaannya dan atas rakyat yang meminta izin wajib taat dan bersabar, namun hendaknya penguasa mempermudah urusan rakyatnya .[6]

7. Seorang guru kalangan Ahlus Sunnah jika ada muridnya yang meminta izin untuk menghadiri atau berpindah kepada guru kalangan Ahlus Sunnah yang lainnya hendaknya memberikan izin dan tidak mengekang perwalian dan permusuhan dalam dien ini dengan seseorang kecuali Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam atau dengan ucapan seseorang selain beliau sholalllohu ‘alaihi wasallam .[7]

8. Maksud firmanNya { orang – orang yang beriman tiada lain adalah } adalah orang – orang yang sempurna imannya .[8]

9. Ayat ini termasuk dalil bahwa amal lahiriyah termasuk iman sebab meminta izin adalah amal lahiriyah .

10. Perintah meminta izin kepada Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam dan perintah Alloh kepada beliau untuk memintakan ampunan bagi orang yang meminta izin dalam ayat ini adalah hanya ketika beliau sholallohu ‘alaihi wasallam masih hidup, adapun sesudah beliau meninggal maka mu’amalah duniawiyah secara langsung dengan beliau seperti ini tidak disyariatkan lagi . Maka ayat ini bukanlah dalil bagi sebagian shufiyyah yang mengamalkan ajaran meminta izin kepada beliau sholallohu ‘alaihi wasallam sementara beliau ghoib darinya atau ajaran meminta beliau beristighfar untuknya ketika menziarahi makam beliau yang mulia .[9]

والله أعلم وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وسلم والحمد لله .



[1] Berkata al mufassir al Qurthubiy dalam al Jami’ liahkamil Qur-an rohimahulloh : ( ada perbedaan pendapat dalam maksud dari { amrin jami’ } dalam ayat ini ? ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah perkara yang seorang penguasa membutuhkan rakyatnya untuk berkumpul padanya untuk dia mengumumkan sebuah kemashlahatan berupa penegakan sunnah dalam dien ini atau untuk menteror musuh dengan berkumpulnya rakyat atau untuk berperang …dst dan berkata Makhul serta az Zuhriy ( sholat jumu’ah termasuk amrin jami’ ) …dst diriwayatkan pula bahwa ayat ini turun dihari – hari perang khondaq … dst dan dari Ibnu Abbas menyatakan ( ayat ini berkenaan dengan Umar yang meminta izin Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam untuk pergi umroh … dst dan aku nyatakan : pendapat yang benar adalah yang pertama karena luasnya cakupannya terhadap semua pendapat. Adapun Ibnul Arobiy maka ia memilih pendapat yang dari Malik dan Ibnu Ishaq bahwa hal ini khusus pada peperangan )_selesai .

Berkata al hafidz al mufassir Ibnu Katsir dalam tafsirnya rohimahulloh : ( sebagaimana Alloh memerintahkan mereka untuk meminta izin jika mereka ingin memasuki rumah Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam maka demikian halnya mereka diperintahkan meminta izin jika ingin keluar meninggalkan rumah beliau terlebih jika mereka sedang berada pada perkara yang jami’ bersama Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam seperti dalam sholat jumu’ah atau ied atau jama’ah atau sedang dalam musyawarah dan semisal itu )_selesai dari Tafsir al Qur-an al ‘Adzim ( 4 / 321 – 322 ).

Adapun yang tertera pada fawaid adalah penafsiran al mufassir Ibnul Jauziy rohimahulloh dalam Zadul Masir ( 6 / 67 ) .

[2] Berkata al Mufassir al Qurthubiy rohimahulloh : ( dan imam yang dimintai izin adalah imam pemerintahan ) juga berkata : ( tekstual ayat mengharuskan untuk meminta izin kepada imam pemerintahan yang dia itu dalam kedudukan nubuwwah )_selesai . Diketahui dari faedah ini makna hadis Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu riwayat al Bukhoriy – Muslim yaitu : ( aku bertemu Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam disebuah gang dari jalan – jalan kota Madinah sedang aku dalam keadaan junub, maka aku bersembunyi dari menemui beliau hingga aku mandi kemudia aku menemui beliau sehingga beliaupun bersabda menegurku { dari manakah kamu wahai Abu Huroiroh ! } aku menjawab : sesungguhnya aku junub dan aku tidak senang jika bermajelis denganmu dalam keadaan junub. Beliau bersabda : { sesungguhnya seorang mukmin tidaklah najis }_selesai. Sebagian ulama menyebut diantara faedah hadis ini adalah disukainya bagi seorang yang bermulazamah untuk meminta izin kepada syaikhnya jika tidak menghadiri syaikh . ( lihat Taisirul ‘allam Syarh Umdatil Ahkam )

[3] Berkata as Syaikh Bakr Abu Zaid rohimahulloh dalam Hilyah Tholibil ‘ilmi ( 20 ) : ( wahai penuntut ilmu ! jadilah kamu seorang salafy yang kokoh diatas jalan salaf ! waspadalah dari ahlul bid’ah untuk memfitnahmu !sesungguhnya mereka mempergunakan berbagai jalan untuk mengikatmu )_selesai .

[4] Diantara ushul manhaj ahlis sunnah adalah ( bahwa berjihad memerangi musuh tetap disyari’atkan yaitu bersama penguasa yang sholih maupun yang fajir ) lihat Ushulus Sunnah karya al imam Ahmad bin Hambal rohimahulloh dengan beberapa perincian dan argument walhamdulillah telah kami paparkan dalam [ al ifadah bitaudhihi maqoshidi ushulis sunnah / ad durrun nadhid fitaudhihi maqoshidi aqidati Qutaibah bin Said ] dll .

[5] Dari Abu Huroiroh beliau berkata bahwa Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ إذا انتهى أحدكم إلى المجلس فليسلم, فإذا أراد أن يقوم فليسلم, فليست الأولى بأحق من الاَخرة } رواه أبو داود والترمذي وقال : حديث حسن

Artinya : { jika salah seorang dari kalian memasuki sebuah majelis maka ucapkanlah salam dan jika hendak meninggalkannya maka ucapkan pula salam, tidaklah yang pertama lebih berhak disbanding yang akhir } HR. Abu Dawud dan at Tirmidziy, beliau katakan : ini hadis yang hasan .

Berkata pula as Syaikh Bakr Abu Zaid rohimahulloh dalam hilyahnya ( 17 ) : ( dan jika nampak dalam pandanganmu untuk berpindah kepada syaikh ( guru ) yang lainnya maka hendaknya kamu meminta izin dari syaikhmu sebab hal itu lebih mengundang rasa hormatmu kepadanya juga lebih mengusai qolbunya dalam mencintaimu dan bersikap lembut kepadamu … ) .

[6] Berkata al hafidz Ibnu Katsir rohimahulloh dalam tafsirnya : ( kemudian Alloh memerintahkan kepada RasulNya sholallohu ‘alaihi wasallam jika ada seseorang yang meminta izin kepada beliau untuk memberikan izin kepadanya jika beliau menginginkannya )

Dari Aisyah rodhiyallohu anha bahwa beliau mendengar Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

« اللهم من وَلي من أمر أُمتي شيئاً فشق عليهم فاشقق عليه ، ومن وَلِيَ من أمر أمتي شيئاً فرفق بهم فارفق به » رواه مسلم

Artinya : { wahai Alloh ! barang siapa yang mengurus urusan umatku namun ia memperberat mereka maka binasakan ia dan barang siapa yang mengurus urusan umatku sedang ia lemah lembut atas mereka maka berikan kelembutanMu kepadanya } HR. Muslim

Dari Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma bahwa Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

« من كَرِه مِنْ أَمِيرِهِ شيْئاً فَليَصبِر ، فإنَّهُ مَن خَرج مِنَ السُّلطَانِ شِبراً مَاتَ مِيتَةً جاهِلِيةً » متفقٌ عليه

artinya : { barang siapa yang tidak menyukai sesuatu dari penguasanya maka bersabarlah ! sebab barang siapa yang keluar dari ketaatan penguasa meski sejengkal dan ia mati padanya niscaya kematiannya seperti kematian jahiliyyah ( yaitu tidak mentaati penguasa ) } HR. al Bukhoriy – Muslim .

[7] lihat al Fatawa li Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah rohimahulloh [ 18 / 13 ] beliau berkata : ( dan tidak diperkenankan bagi seorangpun dari para guru untuk mengambil perjanjian atas seseorang dari muridnya untuk selalu menyetujui apa yang dia inginkan atau untuk membela siapa yang dia bela dan memusuhi siapa yang dia musuhi, bahkan siapa saja yang melakukan hal ini maka ia termasuk jenis jengis khan dan semisalnya dari kalangan yang menjadikan kawan siapa yang menyetujuinya dan menjadikan musuh siapa yang berbeda dengannya ) .

[8] Berkata al hafidz Ibnu Katsir rohimahulloh dalam tafsirnya : ( Alloh memerintahkan mereka untuk mereka tidak berpisah dari beliau sholallohu ‘alaihi wasallam dalam kondisi yang disebutkan kecuali sesudah meminta izin dan bermusyawarah dengan beliau, sesungguhnya barang siapa yang melakukan hal tersebut maka berarti dia termasuk orang yang beriman dengan sempurna )_selesai .

[9] Berkata al ‘Allamah Sholih al Fauzan hafidzohulloh dalam menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim rohimahulloh dalam al Kafiyah ( Pasal yang menjelaskan tentang pembahasan seputar kehidupan para nabi sholallohu ‘alaihim wasallam dialam kubur ) beliau berkata : ( dan bukanlah makna keberadaan beliau sholallohu ‘alaihi wasallam hidup dikehidupan barzahiyyah boleh diminta dari beliau bantuan pertolongan dengan istighotsah atau tholab midad, bukan demikian sebab demikian adalah kebatilan . Sebagian pelaku kekhurofatan ini mereka berargument dengan Firman Alloh semisal dalam surat an Nisa yang artinya { seandainya saja tatkala mereka berbuat dosa mereka mendatangimu dan mereka beristighfar kepada Alloh dan rasulpun memintakan istighfar untuknya } kami terangkan bahwa ini dimasa beliau masih hidup didunia sebagaimana dahulu para sahabat dimasa hidup beliau melakukan apa yang disebut dalam ayat, adapun sesudah beliau meninggal sholallohu ‘alaihi wasallam maka mereka tidaklah melakukannya )_selesai dari Taliq Mukhtashor alal Kafiyah [ 684 ] .

SERIAL AQIDAH SHOHIHAH

Iman Terhadap Taqdir

Makna Iman terhadap Taqdir adalah keimanan bahwa kejadian sudah diketahui oleh Alloh sebelum terjadi, saat terjadi, sesudah terjadi dan bagaimana terjadinya serta akibat dari kejadian tersebut, keimanan bahwa segala kejadian telah Alloh tuliskan dalam kitab, keimanan bahwa disaat kejadian tersebut terjadi maka tidak lepas dari kehendak Alloh serta penciptaan Alloh terhadapnya, masuk didalamnya keimanan bahwa Alloh menciptakan kemampuan bagi hamba berupa kesiapan dan keselamatan alat untuk berbuat serta Alloh menciptakan untuknya keinginan namun Alloh melebihkan bagi orang beriman berupa taufiq dan pemeliharaan dari tergelincir berlarut – larut dalam kekukufuran, kefasikan dan kemaksiatan, keimanan bahwa segala perbuatan Alloh berlandaskan diatas keadilan, hikmah dan kemurahan.

Dari pemaparan diatas dipahamilah beberapa cabang pembahasan iman terhadap taqdir diantaranya :

Pertama : beriman terhadap taqdir adalah wajib dan merupakan salah satu rukun iman yang enam dan barang siapa yang mengingkarinya maka kafir . Alloh berfirman :

{ إن كل شيء خلقناه بقدر }

Alloh memberitakan dalam ayat tersebut bahwa segala sesuati Dia ciptakan dengan taqdir maka barang siapa yang mengingkarinya berarti dia mendustakan pemberitaan Alloh dan itu adalah kekufuran . Rasululloh bersabda saat ditanya tentang iman :

{ وأن تؤمن بالقدر خيره وشره } رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة ورواه مسلم أيضا عن عمر

Rasululloh memberitakan bahwa iman diantaranya adalah iman terhadap taqdir, jawaban beliau ini yang hanya menyebut enam perkara menunjukkan bahwa enam perkara itulah rukun iman oleh karenanya Abdulloh bin Umar berdalilkan dengan hadis ini akan kafirnya orang yang mengingkari taqdir sebagaimana disebutkan dalam shohih Muslim dalam kitabul iman . Hal itu sebab yang mengingkarinya adalah mendustakan pemberitaan Rasululloh .

Kedua : rukun didalam mengimani taqdir ada dua yaitu sebelum kejadian dan ketika terjadi . Sebelum kejadian terkandung didalamnya kewajiban mengimani bahwa Alloh telah mengetahuinya dan telah menuliskannya dalam kitab . Alloh berfirman :

{ إن الله يعلم ما في السماء والأرض إن ذلك في كتاب إن ذلك على الله يسير }

Alloh memberitakan dalam ayat tersebut ilmuNya terhadap segala sesuatu dan bahwa hal itu telah Dia tulis dalam kitab, maka barang siapa yang mengingkari hal ini berarti dia mendustakan pemberitaan Alloh dan itu adalah kekufuran . Contoh mengingkari hal ini adalah keyakinan atau ucapan bahwa Alloh tidaklah mengetahui kejadian kecuali jika telah terjadi adapun sebelumnya maka tidak mengetahui, Maha Suci Alloh dari sangkaan semisal ini ! oleh karenanya para ulama mengkafirkan kelompok qodariyyah ekstrim yang mengingkari ilmu Alloh terhadap kejadian .

Ketika terjadi kejadian maka dalam rukun ini terkandung dua perkara yang wajib diimani yaitu tidak terlepasnya kejadian tersebut dari kehendak Alloh dan penciptaan Alloh terhadapnya . Alloh berfirman :

{ إنما أمره إذا أراد شيئاً أن يقول له كن فيكون }

Alloh memberitakan dalam ayat tersebut tidak terlepasnya setiap kejadian dari kehendak Alloh maka wajib atas setiap hamba untuk meyakini benarnya pemberitaan Alloh ini . Adapun penciptaan maka Alloh berfirman :

{ الله خالق كل شيء }

Alloh memberitakan bahwa Dia adalah Maha Pencipta yang menciptakan segala sesuatu, maka yang ada hanyalah dua Kholiq Sang Maha Pencipta yaitu tiada lain adalah Alloh atau makhluq yang dicipta yaitu apapun selain Alloh . Hal ini wajib diimani sebab berita dari Alloh adalah benar .

Ketiga : Alloh menciptakan kemampuan dan kehendak bagi manusia sehingga mereka adalah pemilik keduanya, dari tinjauan ini maka perbuatan manusia juga merupakan makhluq ciptaan Alloh . Alloh berfirman :

{ والله خلقكم وما تعملون }

Alloh memberitakan kepada manusia bahwa Dia adalah Dzat yang menciptakan mereka seutuhnya termasuk didalamnya adalah kemampuan dan kehendaknya, Dia juga Dzat yang menciptakan amal perbuatan mereka tanpa terkecuali . Perlu diketahui bahwa kemampuan yang diperuntukkan bagi hamba ada dua bentuk ; pertama adalah kemampuan berupa kesiapan alat dan keselamatannya dari cacat untuk menjalankan ketaatan seperti badan yang sehat, akal yang waras dan panca indera yang normal, maka kemampuan jenis ini terkait padanya perintah dan larangan dalam artian siapa yang badannya sehat lagi normal dan waras akalnya serta inderanya maka dia terbebani ketaatan menjalankan perintah dan menjauhi larangan . Kemampuan jenis ini tidak dibedakan antara mukmin dan kafir . Kedua adalah kemampuan yang berupa taufiq untuk menjalani ketaatan dan ‘ishmah dari kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan atau berlarut – larut didalamnya, maka ini tidak terkait padanya perintah dan larangan namun ini hanya diperuntukkan bagi hambanya yang muwaffaq dari orang – orang yang beriman .

Perkara ini wajib diimani dan diyakini kebenarannya, adapun pengingkaran bahwa perbuatan manusia ciptaan Alloh akan tetapi ciptaan manusia itu sendiri maka ini adalah kesesatan yang nyata tak ubahnya seperti kesyirikan kaum majusiy yang meyakini adanya dua pencipta bagi alam ini . Meski demikian hamba adalah pelaku hakiki, dia diberi kehendak dan kemampuan oleh karenanya perbuatan manusia dinisbatkan kepadanya sehingga dialah simukmin atau kafir atau fasik . Alloh berfirman :

{ لمن شاء منكم أن يستقيم وما تشاؤن إلاّ أن يشاء الله ربالعلميــن }

Alloh memberitahukan kepada hambaNya bahwa mereka memiliki kehendak untuk memilih antara istiqomah diatas al haq atau tidak namun kehendaknya tidaklah akan terwujud kecuali jika dikehendaki oleh Alloh untuk terjadi . Alloh juga berfirman :

{ وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى }

Alloh memberitakan bahwa dihari perang badr nabi kita Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam melemparkan pasir kepada barisan musuh, beliaulah yang melempar dan disebut sebagai pelempar namun Alloh beritakan bahwa kemampuan untuk pasir itu tepat mengenai wajah setiap musuh adalah milik Alloh . Inilah dua kemampuan yang dijelaskan diatas sekaligus memberitahukan bahwa hamba adalah pelaku hakiki punya kehendak untuk berbuat dan bukan paksaan yang tidak memiliki kehendak dan kemampuan . Maka pendapat bahwa manusia adalah paksaan yang tidak memiliki kehendak dan kemampuan namun kehendak adalah kehendak Alloh yang menjadi pelaku perbuatannya juga Alloh adalah bentuk kesesatan lain dalam taqdir yang nyata tak dinyana ia akan mengantarkan kepada wawasan bersatunya Dzat Alloh dengan dzat hambaNya, jika sampai demikian maka tak ragu lagi bahwa itu adalah kekufuran .

Keempat : Alloh adalah pemilik nama al Hakim yang diantara maknanya adalah Pemilik sifat hikmah dalam setiap perbuatannya, perbuatanNya tidaklah terlepas dari kesempurnaan ilmuNya dan berporos pada sifat adil atau fadhl ( kemurahan ) . Jika Dia menimpakan adzab apapun bentuknya maka atas dasar sifat adilNya, ia tidak akan pernah sekalipun menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya dan jika Dia mencurahkan nikmat apapun bentuknya kepada hamba maka atas dasar fadhlNya, tiadalah seorangpun yang membebaniNya . Alloh berfirman :

{ إن الله كان عليماً حكيماً }

Alloh juga berfirman :

{ قل بفضل الله وبرحمته فبذلك فليفرحوا هو خير مما يجمعون }

Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ لن يدخل الجنة أحد يعمله } قيل : ولا أنت يا رسول الله ؟ قال : { ولا أنا إلاّ أن يتغمدني الله برحمته }

Rasululloh memberitakan bahwa amal yang dikerjakan hamba apapun amal tersebut berapapun nilai dan jumlahnya tidak akan pernah bisa menjadi penukar surga bahkan termasuk amal beliau namun amal adalah sebab untuk mencapai rahmatNya dan rahmatNya adalah fadhlNya dengannya seseorang masuk surga . Oleh karenanya rasulululloh sholallohu ‘alaihi wasallam memerintahkan hamba untuk beramal .

Kelima : Tidak ada kontradiksi antara taqdir dengan perintah beramal, sebab Islam berisikan dua kandungan ; pertama berita yang wajib diimani dan diyakini kebenarannya, haram untuk diingkari dan didustakan . kedua adalah tuntutan yang wajib ditaati dan haram untuk didurhakai . Taqdir adalah jenis pertama yang termasuk berita maka apapun yang diberitakan oleh Alloh dan rasulNya dari taqdir wajib diimani dan diyakini kebenarannya sedang perintah dan larangan adalah masuk jenis kedua yaitu tuntutan maka perintah wajib ditaati dengan dijalankan dan larangan wajib ditinggalkan . Alloh berfirman :

{ الا له الخلق والأمر }

Alloh memberitakan dalam ayat tersebut bahwa taqdir dan perintah adalah berbeda namun kesemuanya adalah milikNya .

Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ ما من نفس إلا وقد كتب مكانها من الجنة أو النار } قيل : فلما نعمل يا رسول الله أفلا نتكل ؟ قال : { اعملوا كل ميسر لما خلق له فمن خلق للجنة فسييسر لعمل اهل الجنة ومن خلق للنار فسييسر لعمل اهل النار }

Artinya : { tidak ada satu jiwapun melainkan telah dituliskan tempatnya disurga atau dineraka } ada yang bertanya : maka untuk apakah kita beramal wahai rasululloh, tidakkah lebih baik kita pasrah terhadap taqdir yang telah ditulis ? maka beliau bersabda : { beramallah kalian ! masing – masing akan dimudahkan sesuai taqdirnya, barang siapa yang ditaqdirkan bagi surga niscaya dia akan diberi kemudahan untuk beramal amalan penghuni surga dan barang siapa yang ditaqdirkan bagi neraka niscaya dia akan diberi kemudahan untuk beramal amalan penghuni neraka } .

Keenam : Sumber kesesatan didalam taqdir sangatlah banyak namun ujungnya adalah satu, tenggelam mengorek hikmah taqdir ilahi sehingga mengantarkan pelakunya kedalam lubang kejahiliyahan . Berkata Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah rohimahulloh :

وأصل ضلال الخلق من كل فرقة *** هو الخوض في فعل الإلـه بعلـة

فإنهم لم يفهموا حكمة لـــه *** فصاروا في نوع من الجاهلــية

Diantara bukti konkrit ucapan Syaikhul Islam diatas adalah bahwa ahlul jahiliyyah tidak membedakan antara taqdir dengan perintah sebagaimana hal ini juga merupakan sunnah jahiliyyah yang jika mereka diperintah kepada tauhid dan dilarang dari syirik maka mereka durhaka dengan beralasan kepada taqdir . Alloh berfirman :

{ قالوا لو شاء الله ما أشركنا ولا آباؤنا ولا حرمنا من شيء } الآية

Alloh memberitakan jawaban orang – orang musyrik ketika diperintahkan untuk mentauhidkan Alloh dan meninggalkan kesyirikan serta berbagai keharaman, mereka menjawab : “ kalau Alloh mentaqdirkan niscaya kami tidak akan berbuat kesyirikan tidak pula bapak – bapak kami dan juga Alloh tidak akan mengharamkan sesuatupun bagi kami ” mereka durhaka dengan beralasan kepada taqdir . Wallohul Muwaffiq .

والله أعلم وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وسلم والحمد لله .

MENARA SUNNAH KHATULISTIWA

Artikel-artikel islam ilmiyah dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab, Insya Allah diasuh oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari