Jumat, 18 Juni 2010

info dauroh pontianak

Dauroh
sabtu tgl 20 Juni 2010
ba' da dzuhur - selesai
al qowaid al arba'ah

Ahad tgl 21 Juni 2010
jam 10 - selesai
kasyfu syubuhat fit tauhid

Pemateri : Utz. Jabir (abu Unaisah)
Masjid Darussalam, (masjid PITI), Jl. Tj Pura (depan hotel muslim)

Sabtu, 12 Juni 2010

Serial Fawaid Al Qur’an II

Kala Dunia Menjadi Niatan Amalnya
[ surat : Hud ayat 15 – 16 ]

قال تعالى : { مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ * أُوْلَـَئِكَ الّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الاَخِرَةِ إِلاّ النّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ }

Artinya : { Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya niscaya akan Kami penuhkan kepada mereka amal – amal mereka didalamnya dan mereka didunia tidak akan merugi. Mereka itulah orang – orang yang diakherat kelak tidak akan mendapatkan balasan kecuali neraka dan gugurlah apa yang telah mereka kerjakan didunia serta gugurlah apa yang dahulu mereka amalkan } [ Hud : 15 – 16 ] .
Berikut faedah – faedah dari ayat diatas yang ditintakan oleh Al ‘Allamah Abdurrohman bin Nashir as Sa’diy rohimahulloh dibawah judul termasuk kesyirikan seseorang dengan amalnya berniat meraih dunia :
“ Ketahuilah ! bahwa ikhlas kepada Alloh merupakan asas bagi dien ini serta ruh bagi tauhid dan ibadah yang maknanya adalah seseorang meniatkan amalannya seluruhnya untuk tujuan wajah Alloh, pahalaNya serta kemurahan dariNya. Ia menegakkan rukun iman yang enam dan rukun islam yang lima, ia menegakkan hakekat –hakekat iman yang berupa ihsan, ia tunaikan dengan sempurna hak – hak Alloh dan hak para hambaNya dengan ia memaksudkan seluruhnya tersebut wajah Alloh dan negeri akherat. Ia tidaklah menginginkan dari semua itu keinginan dilihat dan dipuji orang atau didengar dan dipuji orang serta tidak menginginkan kepemimpinan tidak pula keinginan duniawi, dengan hal itulah ia menyempurnakan imannya serta tauhidnya.
Diantara perkara terbesar yang dapat menghapuskan ikhlas adalah keinginan agar dilihat oleh orang lain serta beramal dalam rangka meraih pujian serta penghormatan dari mereka atau juga beramal untuk tendensi duniawi, sesungguhnya hal tersebut sangatlah merusak keikhlasan dan tauhid.
Namun ketahuilah ! sesungguhnya keinginan untuk dilihat orang lain dan dipuji ini padanya terdapat perincian yaitu :
Jika matifator amal seseorang adalah tendensi agar dilihat oleh orang lain kemudian hal ini berkelanjutan dalam dirinya maka tak ayal lagi amalannya gugur dan ini merupakan syirik kecil yang dikhawatirkan akan mengantarkannya kepada syirik besar.
Jika motifator amal seseorang adalah dimaksudkan wajah Alloh serta tendensi ingin dilihat orang lain dan dipuji kemudian dia tidak menyudahi tendensi ingin dilihat dan dipuji orang lain tadi serta tidak menanggalkannya dari amalnya maka berdasar tekstual dalil – dalil yang ada amalannyapun juga gugur.
Jika motifator amal seseorang hanyalah dimaksudkan wajah Alloh semata namun disela – sela mengerjakan amal tersebut terjangkiti tendensi ingin dilihat dan dipuji orang lain maka apabila ia berusaha untuk membuang tendensi tersebut dan berjuang mengikhlaskan amalnya kepada Alloh niscaya tendensi tersebut tidaklah membahayakan amalnya namun apabila ia biarkan tendensi tersebut bahkan merasa tenang – tenang saja maka berkuranglah pahala amalnya, tidak hanya itu bahkan akan melemah iman dan ikhlasnya sesuai kadar tendensi ingin dilihat dan dipuji orang lain tersebut mengendap dalam qolbunya serta sesuai kadar perlawanan tendensi tersebut terhadap keikhlasan amal kepada Alloh serta besarnya kadar bercampurnya noda – noda tendensi tersebut dalam amal.
Riya’ ( tendensi ingin dilihat dan dipuji orang lain ) dalam amal merupakan cacat yang sangatlah besar, ia membutuhkan kepada pengobatan yang serius juga kepada tarapi jiwa terhadap ikhlas, terhadap mujahadah ( keseriusan ) didalam melawan bisikan – bisikan tendensi riya’ serta berbagai tendensi yang berbahaya, ia membutuhkan untuk memohon bantuan kepada Alloh didalam melawannya. Semoga saja sebab ini Alloh memurnikan iman sang hamba dan menajamkan tauhidnya.
Adapun amal yang diniatkan untuk tendensi duniawi maka perinciannya adalah :
Jika keinginan seseorang seluruhnya adalah untuk maksud ini dimana sama sekali ia tidak memiliki keinginan wajah Alloh dan negeri akherat maka orang ini tiada ia diakherat kelak mendapat bagian kebaikan sedikitpun. Amalan yang menyandang sifat demikian ini sama sekali tidak akan lahir dari seorang mukminpun sebab seorang mukmin meskipun lemah iman mesti ia memiliki keinginan wajah Alloh dan niatan negeri akherat.
Adapun orang yang beramal untuk wajah Alloh juga untuk tendensi duniawi kemudian dua niatan tersebut sepadan atau saling berdekatan maka orang ini meskipun dia mukmin akan tetapi sesungguhnya dia adalah orang yang kurang iman, tauhid dan ikhlasnya, amalannyapun kurang sebab lenyapnya kesempurnaan ikhlas.
Sedangkan orang yang beramal untuk Alloh semata, ia ikhlaskan didalamnya keikhlasan secara sempurna namun ia memungut upah atas amalannya tersebut sebagai alat penopang dalam ia menjalankan diennya semisal bentuk – bentuk upah dalam berbagai amal kebajikan, seperti seorang mujahid yang jihadnya memberikan kepadanya harta kemenangan atau rizki, atau juga seperti wakaf berupa masjid, madrasah dan jabatan diniyah yang diperuntukkan bagi yang menjalankannya maka semua ini bagi seseorang yang mengambilnya tiadalah membahayakan iman dan tauhidnya dikarenakan keadaannya yaitu ia tidak meniatkan duniawi namun tidak lain ia bermaksud tegaknya dien ini juga berniat dengan apa yang ia dapatkan sebagai penopang didalam ia menegakkan diennya. Oleh karena itu Alloh menjadikan pada harta – harta yang syar’iy semisal zakat, harta orang kafir yang kembali menjadi milik kaum muslimin dan selainnya satu bagian yang besar diperuntukkan bagi siapa yang menjalankan jabatan – jabatan diniyah maupun duniawiyah yang bermanfaat sebagaimana perincian akan hal itu telah dimaklumi. Maka artinya, perincian ini memberikan pencerahan bagi kalian hukum didalam permasalahan besar ini serta menuntut kalian untuk menerapkannya pada semua perkara sesuai porsinya masing – masing. Wallohu a’lam ”_selesai dari kitab Al Qoulus Sadid karya Al ‘Allamah Abdurrohman as Sa’diy hal. 112 – 113 cet. Darut Tuhaf, KSA.

Serial Fawaid Ilmu IV

Obat Penyakit Mematikan

قال شيخ الإسلام ابن القيم رحمه الله :
والجهل داء قاتل وشـفاؤه *** أمران في التركيب متفـقان
نص من القرآن أو من سنة *** وطبيب ذاك العالم الربانـي

Berkata Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim rohimahulloh :
“ dan kebodohan adalah penyakit mematikan sedang obatnya
Adalah dua perkara yang selalu saling cocok dalam susunannya
Yaitu nash dari al Qur’an atau nash dari Sunnah
Dan dokternya adalah seorang alim robbaniy ”.
Penjelasan dari Al ‘Allamah Sholih bin Abdulloh al Fauzan hafidzohulloh : “ kebodohan tanpa diragukan lagi merupakan penyakit mematikan namun ia ada obat dan dokternya, sehingga pengebatan semata tiadalah mencukpi akan tetapi wajib adanya dokter yang membimbing cara menggunakannya. Artinya, obatnya telah ada yaitu al Qur’an dan as Sunnah sebagaimana resep obat yang telah diracik namun ini membutuhkan konsultasi ulama dan bertanya kepada mereka. Maka jangan engkau berpijakan kepada pemahanmu semata juga kepada kitab – kitabmu akan tetapi ia butuh kepada konsultasi kepada ulama, butuh kepada bermajelis dengan mereka, mengambil ilmu dari halaqoh – halaqoh mereka, tidak pantas sama sekali belajar ilmu tanpa ada pengajarnya sebagaimana obat juga tidak dikonsumsi melainkan dengan bimbingan dari dokter. Meski demikian ulamanyapun mesti seorang alim robbaniy sebab diantara sekian barisan ulama ada ulamanya kesesatan, sehingga yang wajib atasmu adalah mengambil ilmu dari seorang alim yang menyandang ketaqwaan dan selamat aqidah, niat dan tujuannya. Robbaniy adalah yang membimbing manusia diatas al haq, Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu berkata : ( Robbaniy ialah yang mengajari manusia ilmu – ilmu dasar sebelum ilmu – ilmu yang besar ). Artinya robbaniy adalah seorang murobbiy yang memiliki keahlian mengajar setahap demi setahap, mengajari manusia berbagai persoalan setahap demi setahap. Inilah thoriqoh yang benar, wal hasil mesti ada bertahap dalam belajar, setahap demi setahap ”_selesai dari ta’liq mukhtashor alal kafiyah hal. 1010 – 1011.
Dalam kaitannya dengan faedah dari Ibnul Qoyyim rohimahulloh diatas ada terkandung sebuah isyarat akan pentingnya menimba ilmu dari para pemiliknya atau yang dikenal dengan ahli ilmu atau ulama. Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا } رواه البخاري ومسلم من حديث عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما .

Artinya : { sesungguhnya Alloh tidak mencabut ilmu secara serta merta dari manusia namun Dia mencabut ilmu hanyalah dengan diwafatkan ulama sehingga jika tidak ada lagi Dia sisakan seorang alimpun niscaya manusia akan mengangkat orang – orang jahil sebagai pemimpin maka mereka akan ditanya dan merekapun berfatwa tanpa ilmu sehingga sesatlah mereka juga menyesatkan } HSR. Al Bukhoriy – Muslim dari sahabat Abdulloh bin Amr bin Al ‘Ash rodhiyallohu ‘anhuma.
Berikut akan kita simak beberapa faedah dari hadis agung diatas, kami terjemahkan dari artikel berharga yang ditintakan oleh syaikh DR. Abu Umar Ahmad bin Muhammad Bazmul hafidzohulloh [ salah seorang dosen salafiy di univ. Ummul Quro, Makkah, KSA ] :
“ Ini adalah hadis yang agung, yang berlimpah akan faedah dan makna, yang urgent dalam babnya, yang pengetahuan tentangnya sangat dibutuhkan oleh manusia seluruhnya dikarenakan amal terhadapnya menyimpan kebaikan dunia dan agama serta kebahagiaan didua negeri, dikarenakan juga bahwa meremehkan atau bahkan jahil terhadap kandungan maknanya adalah ketergelinciran yang menyusahkan serta kebinasaan yang membahayakan. Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam menerangkan dalam hadis ini bahwa hilangnya ilmu tidaklah seperti yang disangkakan oleh sebagian orang yaitu dengan diangkat dari dada – dada para ulama akan tetapi tidak lain hilangnya ilmu adalah dengan kematian ulama robbaniyyin, al hasil bahwa dengan kematian ulama berarti hilang pula ilmu yang dia miliki jika ilmu tersebut tidak ditimba darinya. Sekelompok dari para salaf yang sholih ridhwanulloh ‘alaihim telah menegaskan akan hal ini, inilah al Baihaqiy menyebutkan didalam al Madkhol Ila Sunanil Kubro dari Abdulloh berkata : ( tahukah kalian bagaimana Islam merosot dari sisi manusia ? mereka menjawab : kami tahu yaitu seperti merosotnya lemak binatang yang gemuk atau sebagaimana pudarnya pewarna pakaian atau juga seperti usangnya dirham sebab panjangnya saku, maka Abdulloh berkata : demikian itu benar termasuk darinya namun lebih besar dari hal itu ialah kematian ulama, disebuah masyarakat terdapati dua alim kemudian wafat salah satu dari keduanya maka pergilah bersamanya setengah dari ilmu penduduk tersebut lalu tinggallah seorang alim saja kemudian ia wafat maka pergilah ilmu dari tengah – tengah mereka, jadi dengan kepergian ulama maka pergilah ilmu ). Dan inilah ad Darimiy, beliau menyebutkan didalam Sunannya dan juga al Marwaziy didalam as Sunnah dari Ibnu Mas’ud berkata : ( wajib atas kalian menimba ilmu sebelum ilmu itu dicabut dari tengah – tengah kalian, dicabutnya ilmu tiada lain adalah dengan kematian para pengusung ilmu. Wajib atas kalian menimba ilmu sebab salah seorang dari kalian sesungguhnya tidak menyadari kapan ia butuh kepadanya atau kapan ia dibutuhkan untuk diambil ilmu darinya. Benar – benar kalian akan mendapati generasi yang kalian kira mereka menyeru kalian kepada kitabulloh padahal mereka sebenarnya telah menanggalkannya jauh – jauh dari punggung mereka. Sekali lagi wajib atas kalian menimba ilmu namun jauhilah oleh kalian berbuat bid’ah, jauhilah takalluf dan pegangilah thoriqoh para pendahulu ! ). Demikian halnya al Baihaqiy telah menyebutkan dalam al Madkhol dari Az Zuhriy berkata : ( para salaf bertutur : “ berpegang dengan as Sunnah adalah keselamatan, ilmu akan diangkat dengan secara singkat dan keberadaan nafas ilmu merupakan kelanggengan agama dan dunia sedang hilangnya ilmu merupakan kebinasaan seluruhnya” ). Dan inilah Al Bukhoriy, beliau menyatakan dalam kitab shohihnya ( kitab al ilmu, bab bagaimanakan dicabutnya ilmu ? bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat kepada Abu Bakr bin Hazm yang isinya : perhatikanlah ! apa yang berupa hadis rasulullloh sholallohu ‘alaihi wasallam maka tulislah ! sebab aku khawatir akan punahnya ilmu serta kematian para ulama, jangan engkau terima kecuali hadis rasululloh ! dan hendaknya engkau menelitinya dan duduk bermajelis sehingga orang yang belum berilmu menjadi berilmu, sebab ilmu tiada akan binasa melainkan jika telah tersembunyi ). Berkata pula Ibnul Qoyyim : ( keutuhan agama dan dunia adalah pada keberadaan ilmu dan dengan perginya ilmu maka berarti punahlah agama dan dunia maka tiang agama dan dunia tiada lain adalah ilmu ).
Seorang alim adalah siapa saja yang berilmu akan al Qur’an dan as Sunnah dengan faham salafus sholih.
Adalah Tirmidziy dan Abu Dawud keduanya telah menyebutkan dari Abu Darda’ dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ إن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما وإنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر }

Artinya : { sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham namun tiada lain hanyalah mewariskan ilmu maka barang siapa yang mengambil bagian darinya hendaknya ia mengambil bagian yang banyak }
Demikian pula Tirmidzi menyebutkan didalam sunannya dari Abdulloh bin Amr rodhiyallohu ‘anhuma berkata bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ إن بني إسرائيل افترقت إلى ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا واحدة } قالوا : ومن هي يا رسول الله ؟ قال : { ما أنا عليه وأصحابي }

Artinya : { sesungguhnya bani israil berpecah menjadi tuju puluh dua millah dan sesungguhnya umatku ini akan berpecah menjadi tuju puluh tiga millah, kesemuanya dineraka kecuali satu millah } para sahabat bertanya : siapakah dia wahai rasululloh ? beliau bersabda : { apa yang aku dan para sahabatku berada diatasnya }
Kedua hadis ini menunjukkan bahwa seorang alim adalah yang menyandang sifat – sifat tersebut yaitu ilmu akan al Qur’an dan as Sunnah diatas thoriqoh Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Namun bisa jadi ada terlintas pertanyaan : meskipun ulama telah wafat maka sesungguhnya al Qur’an masihlah tetap dihapal demikian sunnah – sunnah masih tetap dihapal, jadi bagaimana bisa dinyatakan ilmu telah hilang dan diangkat dari tengah – tengah penduduk bumi ini ?
Pertanyaan semisal ini telah dijawab oleh Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Majah didalam sunannya dari Ziyad bin Labid berkata : bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam membicarakan sesuatu perkara kemudia beliau bersabda : { itulah permulaan hilangnya ilmu } maka aku bertanya : wahai rosululloh, bagaimana bisa dinyatakan ilmu hilang sementara kita masih membaca al Qur’an dan mengajarkannya kepada anak – anak kami demikian juga dibaca oleh anak – anak kami dan diajarkan kepada anak – anak mereka hingga datang hari kiyamat ? maka beliau bersabda : { celakalah engkau wahai Ziyad ! aku kira engkau adalah orang paling cerdas dari kalangan penduduk madinah, bukankah yahudi dan nashoro mereka masih membaca taurot dan injil namun mereka tidak beramal sedikitpun terhadap isinya ? }. Hadis ini menunjukkan bahwa ilmu akan tetap utuh keberadaannya jika ditimba dari pemiliknya, jika diwarisi oleh generasi berikutnya dari pendahulunya dan bahwa ilmu akan diangkat jika tidak ditimba dari pemiliknya, ia ditelantarkan oleh para penuntut ilmu dimana mereka sibuk dari ilmu syar’iy dengan perkara – perkara lain meskipun mereka menyangka bahwa mereka disibukkan oleh ilmu semisal fikih waqi’ atau kisah - kisah bertuah yang tidak dibangun diatas al Qur’an dan as Sunnah, semisal juga buku – buku pemikiran, renungan dan bisikan – bisikan dll yang telah meracuni para pemuda islam ini dengan slogan kebangkitan islamiy.
Diantara beberapa perkara yang menunjukkan akan pentingnya menimba ilmu dari ahli ilmu serta pentingnya menyiarkan ilmu ketengah – tengah masyarakat adalah :
Perintah Alloh dalam firmanNya :

{ فاسألوا اهل الذكر إن كنتم لا تعلمون }

Artinya : { dan bertanyalah kalian kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui }. Sisi pendalilan dari ayat tersebut ; bahwa Alloh tidak memerintahkan kita untuk bertanya kepada sembarang orang namun hanya kepada ahli ilmu.
Perkara kedua, untuk tujuan eksistensi ilmu dengan segar sehingga dapat ditimba oleh setiap masyarakat dari generasi sebelumnya, andaikan ilmu tidak ditimba dari ulama niscaya ilmu akan hilang sebagaimana disebutkan oleh Al Baihaqiy didalam Al Madkhol dari Abdulloh bin Ubaid berkata : ( sesungguhnya ulama jika ditemui oleh para penuntut ilmu maka meski wafat ulama namun ilmu tetaplah eksis dengan segar disisi para penuntut ilmu, namun jika ulama tidak ditemui oleh para penuntut ilmu niscaya ilmu akan lenyap ).
Perkara ketiga, jika ilmu tidak ditimba dari pemiliknya nicsaya ia akan diangkat dari muka bumi, jika tidak ditimba dari mereka kemudian mereka wafat berarti terangkatlah ilmu dari tengah – tengah mereka dan ketika itu keberadaan kitab – kitab tidak lagi berguna. Sisi penjelasan bahwa keberadaan ilmu akan dicabut dengan wafatnya ulama adalah ketidak adaan nabi sepeninggal nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam sementara ulama merupakan kholifah beliau didalam menjabarkan kebenaran sebab mereka adalah para pewaris nabi sehingga jika mereka wafat kemudian ditengah – tengah masyarakat tidak terdapati seorang alimpun maka siapakah yang akan menjabarkan urusan agama kepada mereka ?. Adapun umat – umat terdahulu maka nabi – nabi merekalah yang mengurus urusan mereka yaitu akan datang nabi setiap ada nabi yang wafat.
Perkara keempat, bahwa dengan dicabutnya ilmu maka akan meluas kejahilan, berbagai fitnah dan pembunuhan sebagaimana hal ini disebutkan dalam shohih Al Bukhoriy – Muslim dari Abu Huroiroh dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ يقبض العلم ويظهر الجهل والفتن ويكثر الهرج } قيل : يا رسول الله وما الهرج ؟ فقال : { هكذا بيده فحرفها كأنه يريد القتل } .

Artinya : { ilmu akan dicabut, kejahilan akan meluas demikian pula berbagai fitnah dan al harj akan meraja lela } ada yang bertanya : wahai rosululloh apakah itu al harj ? maka beliau mengisyaratkan dengan tangannya seolah beliau inginkan dengan al harj adalah pembunuhan.
Perkara kelima, bahwa seseorang membutuhkan ilmu jauh lebih banyak dibandingkan kebutuhan yang selainnya. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata : ( seorang murid butuh kepada seorang ustadz dari sisi ilmiyyah maupun amaliyyah oleh sebab itu wajib atasnya untuk benar – benar serius didalam memilih para ustadz yang dikenal akan keilmuannya, dikenal akan amanahnya dan kesholihannya serta dikenal akan kelurusan manhaj dan kelurusan niat sehingga dia dapat menimba ilmu dari mereka juga menimba manhaj mereka ).
Perkara keenam, bahwa kekeliruan didalam perkara ini akan menjadi sebab bahaya yang sangatlah besar serta kerusakan yang fatal. Syaikh Sholih al Fauzan berkata : ( adapun para ahli bid’ah dan pengusung pemikiran yang merusak maka wajib atas para pemuda untuk menjauhi mereka sebab golongan tersebut akan berbuat kejelekan terhadap mereka, akan menanamkan dalam diri mereka berbagai aqidah yang rusak, berbagai bid’ah dan khurofat, dan sebab seorang pendidik memiliki pengaruh yang kuat bagi pelajar sehingga seorang pendidik yang sesat akan menjadi sebab menyimpangnya para pemuda, sedang seorang pendidik yang mustaqim niscaya para pemuda dan penuntut ilmu akan lurus pula melalui tangannya. Jadi, seorang pendidik punya peranan yang besar sehingga jangan kalian bermudah – mudahan dalam perkara – perkara semisal ini ).
Berikut adalah dampak – dampak buruk dari tidak merujuk kepada ulama :
Bahwa tidak merujuk kepada ulama serta tidak ditimbanya ilmu dari mereka akan berdampak dicabutnya ilmu.
Diantara perkara yang berdampak dicabutnya ilmu adalah tuduhan kepada ulama robaniyyin dengan tuduhan – tuduhan batil seperti ucapan ( mereka adalah ulama haid, ulama nifas, mereka adalah para pegawai, mereka hanyalah para peneliti, mereka adalah keledai penguasa dan para pegawai pemerintah ) tujuannya adalah untuk menjauhkan masyarakat dari ulamanya sehingga masyarakat tidak akan merujuk kepada mereka. Diwaktu yang sama, mereka menggelari ulama yang jelek serta pengusung bid’ah dengan berbagai gelaran menarik. Realita ini merupakan bukti dari hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya dari Abu Huroiroh berkata bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدَّق فيها الكاذب ويكذَّب فيها الصادق ويؤتمن فيها الخائن ويخوَّن فيها الأمين وينطق فيها رويبضة } قيل : وما رويبضة ؟ قال : { الرجل التافه يتكلم في أمر العامة }

Artinya : { akan datang atas manusia tahun – tahun yang menipu dimana akan dinilai jujur seorang pendusta, akan dinalai dusta seorang yang jujur dan akan diberi amanah seorang penghianat, akan dinilai berhianat seorang yang terpercaya dan ruwaibidhohpun akan angkat bicara } seseorang bertanya : apakah itu ruwaibidhoh ? beliau bersabda : { seorang dungu yang angkat bicara tentang urusan banyak orang }.
Maka ulama robaniyyin yang amanah mereka tuduh dan mereka tolak pendapatnya sedang ulama yang busuk lagi pengusung bid’ah maka mereka percayai dan mereka nilai jujur. Seorang yang jahil yang tidak cakap ilmupun_meski ia berpenampilan alim_ akan angkat bicara tentang perkara umat, tentang halal dan haram maka dia inilah ruwaibidhoh !.
Syaikh Sholih al Fauzan berkata : ( dicabutnya ilmu tiada lain terjadi dengan wafatnya ulama, itulah yang telah diberitakan oleh Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dengan sabdanya : { sesungguhnya Alloh tidak akan mencabut ilmu secara serta merta dari dada para lelaki akan tetapi Dia mencabutnya adalah dengan diwafatkannya ulama sehingga jika Dia tidak menyisakan lagi seorang alimpun maka manusia akan mengangkat orang – orang bodoh sebagai pemimpin, mereka akan ditanya dan akan berfatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan } demi Alloh ! inilah realita yang terjadi dimasa ini, dimana sekarang para pemimpin dari kalangan orang – orang jahil angkat bicara tentang hukum – hukum syareat, mereka menggerakkan masyarakat, mereka memberikan ceramah – ceramah serta menyampaikan khutbah – khutbah sementara mereka tidaklah memiliki ilmu dan fikih sedikitpun, tiada lain yang mereka miliki hanyalah profokasi dan kekacauan, mereka serukan bahwa orang itu berkata demikian, yang orang itu berkata demikian, yaitu mereka menyibukkan masyarakat dengan berita – berita nukilan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Fenomena ini adalah bukti akan apa yang telah diberitakan oleh Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam yaitu mereka mengangkat orang – orang jahil sebagai pemimpin, yang lebih disayangkan mereka ini disebut – sebut oleh orang sebagai ulama, laa haula walaa quwwata illa billah pada kondisi yang jika engkau tanyakan kepadanya akan sebuah hukum dari kejadian yang terjadi atau akan sebuah hukum syariat niscaya benar – benar ia tidak akan sanggup memberikan jawaban yang benar sebab ia akan berkomentar : ini bukan ilmu, ilmu itu tidak lain adalah wawasan politik atau fikih realita, mereka terhalangi dari ilmu _wal ‘iyadzu billah ! kita memohon keselematan kepada Alloh ).
Sesungguhnya mengucilkan diri dari ulama adalah sebab utama untuk terjatuh kedalam pemikiran – pemikiran yang menyimpang serta terjerumus bergabung kepada kelompok sesat yang bermuatan paham khowarij. Syaikh Sholih al Fauzan berkata : ( adalah khowarij, tatkala mereka mengucilkan diri dari majelis – majelis ilmunya ulama, mereka mencukupkan diri dengan pemahaman dangkal mereka maka merekapun tersesat lagi menyesatkan, mereka mengkafirkan orang – orang terbaik umat ini, mereka halalkan darah orang – orang tersebut, merekapun menjadi catatan merah dalam sejarah perjalanan islam, mereka tidaklah meraih kebaikan apapun. Sementara sekarang muncul menempuh jalan mereka beberapa kelompok dari kalangan pemuda – pemuda ingusan, para pemilik akal yang dungu, kalangan yang mengembalikan sejarah kelam khowarij. Bukti nyata terkuat bagi kita akan hal tersebut adalah apa yang kita saksikan sekarang berupa kelompok – kelompok yang menjauh dari majelis – majelis ulama dan bangku – bangku pendidikan, mereka percaya diri dengan kelompok mereka sendiri, merasa cukup dengan pemahaman kelompoknya yang menyimpang yang tidak dibangun diatas pondasi keilmuan ataupun diatas kaedah – kaedah fikih, ia juga tidak memiliki tempat menetap yang dimaklumi. Hal tersebut mengundang dampak buruk atas diri mereka dan atas umat ini sehingga menjadi bahan celaan bagi islam dan umat islam ).
Aku nyatakan : sungguh tepat nan indah apa yang beliau hafidzohulloh ucapkan. Inilah At Thobroniy beliau menyebutkan dalam Al Mu’jam Al Ausath dari Abu Huroiroh bahwa rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ سيأتي على أمتي زمان يكثر فيها القراء ويقل فيها الفقهاء ويقبض العلم ويكثر الهرج } قالوا : وما الهرج ؟ قال : { القتل بينكم ثم يأتي بعد ذلك زمان يقرأ القرآن رجال لا يجاوزون تراقيهم ثم يأتي زمان يجادل المنافق المشرك المؤمنَ }

Artinya : { akan datang satu zaman atas umatku dimana didapati banyak para pembaca namun sedikit para fuqoha dan ilmu akan dicabut serta merajalela al harj } para sahabat bertanya : apakah itu al harj ? beliau bersabda : { pembunuhan diantara kalian kemudian akan datang zaman sesudahnya orang – orang yang membaca al Qur’an namun bacaan mereka tidak melewati kerongkongan kemudian datang dizaman berikutnya orang munafik lagi musyrik mendebat orang mukmin }.
Mungkin ada pembaca yang bertanya : apakah makna “ para pemimpin yang jahil ” dalam sabda Nabi sholallohu ‘alaih wasallam diatas ?
Jawaban atas pertanyaan penting diatas adalah : siapa saja yang berbicara urusan agama ini tanpa ilmu meskipun dia adalah seorang khotib yang handal atau pengusung berbagai gelar akademik atau sastrawan yang ulung, namun jika ia berbicara dalam urusan agama ini tanpa ilmu maka dia adalah jahil.
Syaikh Sholih al Fauzan berkata : ( haram menimba ilmu dari orang – orang jahil meskipun dia pura – pura berilmu ! ).
Maka barang siapa yang berbicara pada sebuah urusan sementara ia tidak mengetahui hukum perkara tersebut berarti dia adalah jahil meskipun dia memiliki sedikit ilmu atau mengusung gelar – gelar akademik sebab para pemimpin yang jahil mereka angkat bicara tanpa ilmu. Inilah yang disebutkan dalam hadis tersebut yaitu : { mereka akan ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu maka mereka sesat lagi menyesatkan }.
Abu Dawud menyebutkan didalam sunannya dari Jabir berkata : kami keluar dalam perjalanan kemudian salah satu dari kami tertimpa batu dan melukai kepalanya, orang tersebut kemudian mengalami mimpi basah maka iapun bertanya kepada para kawannya : apakah kalian menemukan ada keringanan bagiku untuk aku bertayamum saja ? kawan – kawannya berkata : kami tidak berpendapat adanya keringanan bagimu sementara engkau mampu mandi, maka orang itupun mandi hingga kemudian meninggal. Tatkala mereka bertemu dengan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam mereka mengungkapkan kejadian tersebut maka beliau bersabda : { kawan – kawannyalah yang telah membunuhnya, semoga Alloh membinasakan mereka ! duhai seandainya kalian mau bertanya dikala kalian tidak mengetahui ilmunya sebab obat dari kejahilan tiada lain adalah bertanya }. Perhatikanlah ! beliau menyatakan : { duhai seandainya kalian mau bertanya dikala kalian tidak mengetahui ilmunya }. Syaikh Ibnul Utsaimin berkata : ( buku – buku saku sangatlah bertebaran namun banyak pula yang berupa tulisan dari penulis – penulis yang tidak dikenal, tidak dikenal sejarahnya dalam menuntut ilmu tidak pula sejarahnya dalam wawasan fikih. Akhirnya dikala isi buku – buku saku tersebut menyelisihi kebenaran maka akan mencul bahaya melanda umat ini. Oleh karenanya aku nasehatkan agar jangan menimba ilmu dari buku – buku saku semisal itu kecuali jika penulisnya dikenali dari kalangan ulama terpercaya baik sisi ilmu maupun kesholihannya sehingga pembaca tidak jatuh dalam kesesatan. Terlebih lagi sebagian salaf telah bertutur : sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka telitilah dari siapa kalian mengambil agamanya ).
Termasuk dalam barisan orang – orang jahil adalah para penebar kisah bernuansa nasehat juga para khotib dan penceramah hingga tak sedikit dari para pengusung gelar doctoral juga orang – orang yang baru taubat dari kefasikannya serta para mu’allaf yang baru masuk islam yaitu jika mereka tidak memiliki ilmu syar’iy.
Sebagaimana pula nabi kita sholallohu ‘alaihi wasallam memperingatkan kita dari pengekor hawa nafsu dan ahli bid’ah. Hal ini disebutkan dalam hadis riwayat Al Bukhoriy – Muslim dari Aisyah berkata :

تلا النبي صلى الله عليه وسلم هذه الآية : (( هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب واخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله )) قالت : قال النبي صلى الله عليه وسلم : { فإذا رأيت الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم }

Bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam membaca ayat yang artinya : (( Dialah dzat yang menurunkan kepadamu al kitab yang diantara isinya terdapat ayat – ayat muhkamat, ayat – ayat tersebut sebagai induk al kitab dan ayat – ayat mutasyabihat, sehingga adapun orang – orang yang dihatinya terdapat penyakit syubuhat niscaya dia akan mengikuti ayat – ayat mutasyabihat dalam rangka mencari fitnah serta mencari ta’wilnya )) Aisyah berkata bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda : { jadi, jika engkau mendapati orang – orang yang mengikuti perkara yang mutasyabih dari al kitab maka ketahuilah, mereka itulah yang disebut oleh Alloh dan berhati – hatilah dari mereka ! }.
Juga Al Khothib didalam Al Faqih menyebutkan dari Abu Umayyah al Jumahiy dari rosulullloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ من أشراط الساعة أن يلتمس العلم عند الأصاغر }
Artinya : { diantara tanda – tanda kiyamat adalah ilmu dicari disisi para ashoghir }
Berkata Ibnul Mubarok : ( para ashoghir diantara mereka adalah ahli bid’ah ).
Berkata pula Ibnu Abdul Barr : ( para fuqoha dan ahli atsar dari semua negeri telah dari bersepakat bahwa ahli kalam mereka adalah ahli bida’ dan menyimpang, mereka menurut seluruh ulama tidaklah dinilai sebagai orang – orang yang masuk barisan fuqoha ditingkatan manapun. Akan tetapi ulama mereka hanyalah ahli atsar serta ahli fiqh terhadap atsar, ulama bertingkat – tingkat didalam kuatnya hapalan, kuat memilah dan kuatnya pemahaman ).
Syaikh Sholih al Fauzan berkata : ( tidaklah dibolehkan menimba ilmu dari orang – orang yang menyimpang akidahnya dengan kesyirikan atau pengingkaran nama dan sifat Alloh, tidak pula dibolehkan menimba ilmu dari ahli bid’ah serta orang – orang yang menyimpang meskipun mereka disebut – sebut sebagai ulama ).
Masuk dalam barisan ahli bida’ dan pengekor hawa nafsu adalah para pemikir, para pakar fikih waqi’ dan para dai reformasi yaitu jika mereka tidak mengikuti al Qur’an, as Sunnah dan faham salafus sholih.
Demikian halnya tidak boleh ilmu dipelajari dari para fasik yang mereka mencukur jenggot – jenggotnya, berikhtilat dengan para wanita, berpakaian isbal atau menyimak nyanyian dsb dari berbagai kemaksiatan. Berkata syaikh Sholih al Fauzan : ( janganlah engkau menimba agamamu melainkan dari seorang alim yang bertakwa, Alloh berfirman yang artinya : (( yang takut kepada Alloh hanyalah para hambaNya yang berilmu )) ambillah ilmu dari ulama yang memiliki rasa takut kepada Alloh dengan dua syarat yaitu alim dan memiliki rasa takut kepada Alloh, jika dia alim namun tidak memiliki rasa takut kepadaNya maka jangan engkau ambil ilmu darinya demikian juga jika dia memiliki rasa takut namun bukan alim jangan engkau ambil ilmu darinya ).
Inilah akhir dari pemaparan ringkas terhadap hadis agung diatas yang aku ingin aku sampaikan meski sebenarnya hadis tersebut masihlah terkandung didalamnya fawaid yang luas, akhirnya kami sampaikan

وصلى الله على رسول الله وعلى آله وصحبه وسلم والحمد لله ربالعالمين .

Sumber : www.bayenahsalaf.com

SERIAL FAWAID AKHLAK & ADAB II

Nilai Wallohu a’lam disisi Salaf

Syiar para pengikut thoriqoh para salaf yang sholih adalah mengikuti mereka dalam semua bidang dien ini baik segi ilmiyyah maupun amaliyyah oleh karenanya mereka disebut ahlus sunnah, ahlul ittiba’ dan salafiyun. Dalam hal ini mereka merealisasikan firman Alloh ‘Azza wa Jalla :

{ يأيها الذين آمنوا اتقوا الله وكونوا مع الصدقين }

Alloh menyeru kaum mukminin didalam firmanNya diatas kepada ketakwaan kepadaNya dan mewajibkan mereka untuk menjadi orang – orang yang bersama para shodiqin dengan kebersamaan yang sempurna disemua bidang dien ini baik aqidah maupun ibadah, mu’amalah dan akhlak. Para shodiqin yang disebut dalam firmanNya diatas ditafsirkan oleh para ahli tafsir seperti Abdulloh bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma dengan { yaitu Rasululloh sholallohu ‘alahi wasallam beserta para sahabat beliau rodhiyallohu ‘anhum } maka maknanya bahwa wajib atas kaum mukminin untuk menempuh thoriqoh mereka dalam semua bidang bukan secara parsial dibidang tertentu saja sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qoyyim rohimahulloh.
Diantara yang ditintakan oleh para ulama dalam pemaparan ushul ahlis sunnah adalah menyeru kepada akhlak yang mulia yaitu akhlak yang ditempuh oleh para salaf, hal ini sebagaimana dipaparkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah diakhir al Wasithiyyah juga oleh Al ‘Allamah Abdurrohman As Si’diy dimuqoddimah al Qoulus Sadid menunjukkan akan besarnya perhatian ahlus sunnah disetiap masa terhadap nilai ittiba’ akhlak salaf.
Adalah ucapan wallohu a’lam dikala tidak mengetahui ilmu atas permasalahan yang datang menemuinya merupakan satu mutiara dari lautan akhlak para salaf. Wallohu a’lam yang secara bahasa memiliki arti “ dan Allohlah Yang Maha Tahu ” sebab kata “ a’lam ” adalah konteks isim tafdhil namun maknanya adalah shigoh mubalaghoh dari ilmu yaitu “ ‘aliim ”. Ringkasnya bahwa yang mengucapkannya telah menyerahkan sisi benarnya dari permasalahan tersebut kepada Alloh, jika ia mengikutkan ucapan ini diakhir pembahasannya maka menunjukkan kehati – hatiannya dalam berbicara ilmu, ia kembalikan kepadaNya Dzat Pemberi Taufik namun jika ia ditanya satu masalah sedang dia tidak tahu jawabnya kemudian mengucapkan ucapan ini maka ia telah berlepas diri dari takalluf [ dari memaksa diri kepada apa yang tidak ia mampui sebenarnya ]. Keduanya adalah keadaan yang baik bagi seorang mukmin.
Berkata Masruq rohimahulloh : “ kami menemui Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu maka beliau bertutur : wahai sekalian manusia ! barang siapa yang mengetahui ilmunya maka hendaknya ia berkata dengan ilmunya tersebut, sedang siapa yang tidak mengetahui ilmunya maka hendaknya ia katakan “ wallohu a’lam ” sebab sesungguhnya merupakan bagian dari ilmu yaitu jika engkau tidak mengetahui ilmunya engkau ucapkan wallohu a’lam. Alloh Dzat Yang Maha Tinggi berfirman kepada NabiNya sholallohu ‘alaihi wasallam :

{ قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين }

Artinya : { katakanlah wahai rosululloh ! tadalah aku meminta upah dari kalian atas dakwahku ini dan bukanlah aku termasuk orang – orang yang takalluf }” atsar riwayat Al Bukhoriy dalam shohihnya.
Berkata syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied al Hilaliy hafidzohulloh dalam Bahjatun Nadzirin [ 3 / 149 ] menjelaskan bab ini : “ sudah sepantasnya bagi seorang alim jika diajukan kepadanya pertanyaan namun ia tiada mengetahui jawabnya untuk menjawabnya dengan ucapan “ wallohu a’lam ” atau “ aku tidak tahu ”. Hal ini tiadalah mengurangi kadar kedudukan sialim tersebut sedikitpun bahkan tidak lain ini merupakan kehati – hatian dan kesholihan dia sebab diatas setiap pemilik ilmu masih ada yang maha mengetahui. Hendaknya ia mengingat bahwa siapa yang memiliki sikap ini tiada lain adalah sikap dari kesempurnaan diennya. Adalah para malaikat mereka tidaklah malu dari hakekat sebenarnya dikala Alloh berfirman kepada mereka yang artinya { beritahukan kepadaKu nama – nama mereka jika kalian adalah golongan yang jujur } mereka katakana sebagaimana Alloh beritakan { Maha Suci Engkau, tiadalah kami memiliki ilmu melainkan apa yang telah Engkau beritahukan kepada kami, sesungguhnya Engkau adalah al ‘Aliim Dzat Yang Maha berilmu lagi al Hakiim Dzat Yang Maha Hikmah }.
Inilah As Sya’biy rohimahulloh beliau ditanya tentang sebuah perkara maka beliau menjawab : “ aku tidak tahu ”. maka seseorang menegurnya : “ tidakkah engkau malu sebab ucapanmu aku tidak tahu ini sementara engkau adalah ahli fikihnya penduduk Iraq ?” beliau menjawab : “ malaikat saja tidak malu untuk mengatakan : Maha Suci Engkau ! tiada ilmu bagi kami melainkan apa yang Engkau beritahukan kepada kami sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui lagi Maha Hikmah ”.
Telah mutawatir sifat yang diridhoi, jiwa yang bersih dan akhlak yang sunniy ini dari generasi salaf yang sholih yaitu dari para sahabat, tabi’in dan orang – orang yang menempuh thoriqoh mereka ”._dst .
Kemudian dikesempatan ini kami terjemahkan secara ringkas factor – factor yang mendukung para salaf hingga memiliki akhlak mulia wallohu a’lam ini, kami ringkaskan dari penjelasan syaikh hafidzohulloh dalam bahjatun nadzirinnya tersebut :
1. mereka berusaha menghindar dari berfatwa serta terburu – buru berfatwa,
2. mereka berusaha meninggalkan berfatwa pada perkara – perkara yang ada toleransi syar’iynya boleh meninggalakannya yaitu tidak ada dalil menunjukkan dosa atas yang meninggalkan berfatwa perkara tersebut,
3. adalah semangat termulia masing – masing dari mereka yaitu selamat dihadapan Alloh,
4. adalah barang siapa yang meninggalkan “ aku tidak tahu ” berarti ia telah terjerumus ditempat kematiannya,
5. mereka sangat memahami bahwa “ aku tidak tahu ” merupakan setengah dari ilmu.

والله أعلم وصلى الله على رسول الله وعلى آله وصحبه وسلم والحمد لله

DEMAM PIALA DUNIA

Seorang muslim adalah seorang yang memiliki ittiba’ kepada syareat yang dibawa oleh nabiyulloh Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam sebagaimana Alloh berfirman :

{ اتبعوا ما أنزل إليكم من ربكم ولا تتبعوا من دونه أولياء قليلا ما تذكرون }

Didalam farmanNya diatas Alloh mewajibkan kita untuk mengikuti syareat yang Dia turunkan dan mengharamkan kita berpaling kepada mengikuti pendapat orang – orang yang dibangun diatas akal dan nafsu semata. Dia juga berfirman :

{ واتبعوه لعلكم تهتدون }

Yaitu Alloh mewajibkan kepada kita untuk mengikuti rosulNya Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam bahkan menggantungkan hidayahnya kepada mengikuti beliau maka semakin kuat seseorang mengikuti beliau berarti hidayah Alloh kepadanyapun semakin sempurna.
Hal demikian menuntut seseorang untuk jauh meninggalkan hawa nafsu baik hawa nafsunya sendiri atau orang lain dengan cara ia mengoreksi setiap keyakinan, setiap ucapan atau amalannya, apabila ia menundukkan kesemuanya kepada syareat yang dibawa oleh rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam berarti ia diatas hidayah namun jika ia tidak peduli kecuali yang mencocoki nafsunya atau nafsu orang lain berarti ia tidak lain adalah pemuja nafsu. Alloh berfirman :

{ أفرأيت من اتخذ إلهه هواه وأضله الله على علم }

Terlebih lagi jika harus menundukkan syareat kepada nafsu maka ketika itulah kerusakan menghampiri dirinya, dunianya dan agamanya. Alloh berfirman :

{ ولو اتبع الحق أهواءهم لفسدت السموات والأرض ومن فيهن }

Menyikapi demam piala dunia salah satu ujian yang seorang muslim harus mengoreksinya secara syareat, maka sebagai wujud nyata dari kewajiban bertanya kepada ulama, kita sajikan pertanyaan tentang problema kita ini berikut jawaban dan arahan dari ulama dalam hal ini para ulama besar yang tergabung dalam DewanTetap Riset dan Fatwa kerajaan Saudi Arabia jazahumulloh khoiro. Semoga Alloh melimpahkan taufik dan ishmahNya kepada kita semua, amin.
Pertanyaan : apakah hukum menonton pertandingan olah raga yang terselenggarakan saat ini dipertandingan sepak bola piala dunia dan semisalnya ?
Jawab [ oleh Dewan Tetap Riset dan Fatwa, KSA ] : “ petandingan sepak bola yang terdapat didalamnya taruhan harta atau semisalnya dari berupa hadiah – hadiah adalah haram sebab hal demikian termasuk perjudian. Tidak boleh ada hadiah kemenangan dari pertandingan kecuali pada pertandingan atau perlombaan yang diijinkan oleh syariat yaitu perlombaan pacuan kuda, pacuan onta dan perlombaan memanah. Atas dasar ini maka menghadiri pertandingan sepak bola adalah haram demikian pula menontonnya yaitu bagi siapa yang mengetahui bahwa didalamnya terdapat taruhan dan hadiah kemenangan sebab menghadirinya berarti menyetujuinya. Adapun jika pertandingan sepak bola tersebut tidak terdapat didalamnya hadiah kemenangan, tidak menyibukkan dari apa yang Alloh wajibkan semisal sholat dsb dan tidak berisikan perkara – perkara yang dilarang oleh syariat seperti mempertontonkan aurot, ikhtilat laki – perempuan atau permainan alat musik maka boleh – boleh saja demikian juga menontonnya ”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
Ttd :
Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baz
Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh Aal As Syaikh
Syaikh Sholih bin Fauzan al Fauzan
Syaikh Bakr bin Abdulloh Abu Zaid
[ Fatawa al Lajnah 15 / 238 ]

SERIAL FAWAID USHULIYYAH IV

KAJIAN HADIS KE 4

MENGANGKAT IMAM SHOLAT DAN MUADZIN

عن عثمان بن أبي العاص رضي الله عنه أنه جاء الى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله اجعلني إمام قومي ، فقال صلى الله عليه وسلم : (( أنت إمامهم واقتد بأضعفهم واتخذ مؤذنا لا يأخذ على أذانه أجرا )) .

Pembahasan hadis ini dari dua sisi sebagaimana biasa yaitu :

Sisi Pertama, derajat keshohihan hadis berangkat dari kaedah ( istimbat hukum adalah cabang dari penshohihan dalil ) yang merupakan cabang dari kaedah besar ( asal ibadah adalah dilarang sehingga didapati dalil ). Maka ketahuilah bahwa hadis diatas diriwayatkan oleh para imam diantaranya Ahmad dalam Musnadnya ( 16250 ), Abu Dawud ( 531 ), An Nasa’iy ( 671 ) seluruhnya dari jalan Hammad bin Salamah dari Sa’id bin Iyyas al Juroiriy dari Abul ‘Ala’ Yazid bin Abdillah bin Asy Syikhir dari Muthorrif bin Abdillah dari Utsman bin Abil ‘Ash berkata : dst. Diriwayatkan pula oleh At Tirmidziy ( 209 ) dan Ibnu Majah ( 714 ) keduanya dari jalan Asy’ats dari Al Hasan dari Utsman bin Abil ‘Ash berkata mirip dengan lafadz diatas. Sanad pertama para perowinya terpercaya kecuali Sa’id bin Iyyas al Juroiriy, meskipun ia rowi terpercaya namun para imam menyatakan bahwa ia seorang yang berubah hapalannya sementara kaedah menyatakan ( berubahnya hapalan rowi termasuk cacat dari sisi hapalan ) dan ( cacatnya hapalan seorang rowi berdampak lemahnya hadis ) namun kaedah ini tidak mutlak demikian bahkan ada pengecualian berdasar kaedah ( rowi yang berubah hapalannya jika terpercaya dan perowi darinya adalah sebelum berubah hapalan dia maka riwayatnya dihukumi shohih ) demikianlah keadaan sanad ini yaitu Hammad bin Salamah adalah perowi terpercaya yang meriwayatkan dari Sa’id bin Iyyas al Juroiriy sebelum Sa’id berubah hapalannya. Sanad pertama ini juga bersambung sehingga berdasar kaedah ( hadis shohih adalah yang bersambung sanadnya oleh para perowi terpercaya ) hadis dengan sanad pertama adalah shohih. Adapun sanad kedua maka para imam berbeda pendapat akan derajat Asy’ats sebab ia dalam sanad ini mubham yaitu tidak diketahui nisbahnya sehingga berdasar kaedah ( rowi yang mubham berdampak tidak dapat dihukuminya sanad ) namun guru kami syaikh Abu Abdillah Jalal bin Ali As Sulamiy hafidzohulloh dalam pelajaran Bulughul Marom tentang hadis ini beliau merojihkan bahwa Asy’ats dalam sanad ini adalah Asy’ats bin Abdul Malik al Humroniy perowi terpercaya berdasar riwayat Ibnu Hazm dalam Al Muhalla dengan ketegasan nisbah Ays’ats perowi dari Al Hasan, maka sanad kedua inipun para perowinya terpercaya dan bersambung sehingga berdasar kaedah ( hadis shohih adalah yang bersambung sanadnya oleh para perowi terpercaya ) sanad ini juga shohih, walhamdulillah. Demikian, hadis diatas dengan kedua sanadnya juga telah dihukumi shohih oleh syaikh Al Albaniy rohimahulloh.

Sisi kedua, diantara fawaid hukum yang dapat kita ambil dari hadis diatas adalah sbb :

  1. hadis diatas adalah dalil bolehnya meminta jabatan sebagai imam sholat jamaah bagi masyarakatnya. Hukum ini diambil dari persetujuan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam terhadap permintaan Utsman jabatan imam sholat, kaedah menyatakan ( persetujuan Nabi terhadap satu perkara menunjukkan bolehnya perkara tersebut ). Adapun penetapan pada imam sholat adalah diambil dari konteks sebelum dan sesudahnya berdasar kaedah ( penguasaan terhadap konteks dalil membantu didalam penetapan maksud yang diinginkan oleh dalil ) atau dapat juga dari sisi lain yaitu bayan [penjelasan] dari mujmal berdasar kaedah ( apabila didapati mujmal dan bayan maka mujmal dibawa kepada bayan ) yaitu lafadz { إمام } dalam hadis adalah mujmal sebab bisa bermakna imam sholat juga bisa bermakna imam pemerintahan sedang lafadz { واقتد بأضعفهم } adalah bayan [penjelasan] akan maksud imam yang dimaukan.
  2. hadis diatas adalah dalil bolehnya meminta jabatan muadzin. Hukum ini diambil dari tidak adanya perbedaan antara permintaan jabatan imam sholat dengan muadzin sehingga berdasar kaedah ( syareah menghukumi dengan satu hukum yang sama pada perkara – perkara yang tidak berbeda ) dan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam telah menyetujui perbuatan Utsman meminta jabatan imam sebagaimana telah diterangkan.
  3. kedua hukum diatas adalah umum mencakup Utsman dan yang lainnya dari umat ini berdasar kaedah ( hukum yang jatuh pada sebagian umat ini juga mencakup seluruh umat kecuali ada dalil pengkhususan ).
  4. hadis diatas tidak dapat dijadikan dalil bolehnya meminta jabatan imam [pemimpin] selain sholat meski secara qiyas, sebab adanya dalil – dalil tegas yang melarang meminta jabatan kepemimpinan sehingga berdasar kaedah ( qiyas jika bertabrakan dengan nash [dalil tegas] maka termasuk qiyas yang rusak ) qiyas tersebut tidak diterima.
  5. hadis diatas dalil wajibnya atas imam sholat memprioritaskan makmum yang lemah dalam panjang – pendeknya sholat. Hukum ini diambil dari perintah Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dalam { واقتد بأضعفهم } berdasar kaedah ( perintah menunjukkan wajib ).
  6. hadis diatas dalil wajibnya atas imam untuk mengenali keadaan para makmumnya dalam sholat berdasar kaedah ( kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu perkara maka perkara tersebut menjadi wajib ) yaitu hukum no 5 diatas tidak akan terpenuhi kecuali jika imam mengenali keadaan para makmumnya.
  7. hadis diatas adalah dalil bahwa penguasa adalah yang berwenang mengangkat imam sholat bagi sebuah masyarakat. Hukum ini diambil dari perbuatan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dalam menetapkan Utsman sebagai imam pada ucapan beliau { أنت إمامهم } berdasar kaedah ( perbuatan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menunjukkan sunnahnya perbuatan tersebut ). Adapaun pengkhususan penguasa adalah dari kaedah ( jawaban Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam terkadang berupa fatwa dan terkadang berupa keputusan hakim ) dan pengangkatan Utsman sebagai imam sholat disini berupa pengangkatan wakil sehingga jawaban Nabi atas permintaannya adalah jenis keputusan hakim.
  8. hadis diatas adalah dalil wajibnya atas imam mengangkat muadzin yang tidak mengambil gaji atas adzannya. Hukum ini diambil dari perintah Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam untuk mengangkat muadzin pada ucapan beliau { واتخذ مؤذنا لا يأخذ على أذانه أجرا } berdasar kaedah ( perintah menunjukkan wajib ).
  9. hadis diatas dalil atas haramnya mengangkat muadzin yang memungut gaji atas adzannya. Hukum ini diambil dari perintah Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam untuk mengangkat muadzin yang tidak memungut gaji atas adzannya pada ucapan beliau { واتخذ الخ } dan kaedah menyatakan ( perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas lawan sesuatu tersebut ) dan kaedah ( larangan menunjukkan haram ).
  10. hadis diatas dijadikan dalil haramnya seorang muadzin memungut gaji atas adzannya. Hukum ini adalah cabang dari hukum no 9 diatas, sisi pendalilannya adalah adanya bentuk ta’awun atas perkara haram dari muadzin yang memungut gaji atas adzannya kepada imam yang mengangkatnya dan ta’awun atas perkara haram adalah haram. Jika hal ini telah difahami maka ketahuilah bahwa hukum no 10 ini adalah khilaf dikalangan para ulama.

والله أعلم وصلى الله على رسول الله وعلى آله وصحبه وسلم والحمد لله .

Rabu, 02 Juni 2010

SERIAL FAWAID USHULIYAH III

HUKUM SHOLAT BERJAMAAH

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : أتى النبيَّ صلى الله عليه وسلم رجلٌ أعمى ، فقال : يا رسول الله ، ليس لي قائد يقودوني إلى المسجد ، فسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يرخص له فيصلي في بيته ، فرخص له ، فلما ولَّى دعاه فقال له : { هل تسمع النداء بالصلاة ؟ } قال : نعم ، قال : { فأجب } .

Kajian sisi pertama : Derajat keshohihan hadis
Kajian ini didahulukan berdasar kaedah ( istimbat hukum adalah cabang dari penetapan keshohihan dalil ) dari cabang kaedah besar ( asalnya ibadah adalah terlarang sehingga didapati dalil ) . Hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim dalam shohihnya ( 653 ) dari jalan Marwan bin Mu’awiyah al Fazariy berkata bahwa telah memberitakan kepada kami Ubaidulloh bin Abdullah bin al Ashom dari pamannya yaitu Yazid bin al Ashom dari Abi Huroiroh bahwa ia berkata : dst . Kita lihat sanad hadis ini shohih dan bersambung sanadnya, maka sesuai kaedah ( hadis shohih ialah yang diriwayatkan secara bersambung oleh para perowi yang terpercaya kesholihan dan hapalannya ) dan cukuplah imam Muslim mentakhrijnya dalam barisan ushul yang kaedahnya ( hadis – hadis barisan ushul adalah yang rowinya dipuncak derajat diterima baik kesholihannya maupun hapalannya ) dalam kitab yang beliau mensyaratkan shohih dan diterima keshohihannya secara turun – temurun oleh para ulama yang dalam kaedah dinyatakan ( ijma’ umat ini adalah hujjah ) sebab ( umat ini tidak akan bersepakat dalam kekeliruan ) .
Kajian sisi kedua, hukum – hukum yang dikandung hadis tersebut diantaranya adalah :
1. Hadis ini adalah dalil akan wajibnya sholat yang lima secara berjamaah . Hukum ini diambil dari dua bentuk pendalilan ; bentuk pertama dari sabda beliau { فأجب } sisi pendalilannya adalah bahwa ini perintah untuk memenuhi panggilan adzan sedang dalam kaedah ( perintah pada asalnya berfaidah wajib ) . Bentuk pendalilan kedua adalah dari { فسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يرخص له } dimana sahabat tersebut meminta rukhsoh yang dalam kaedah dinyatakan ( rukhshoh adalah salah satu bentuk dari kemudahan yang merupakan lawan dari kepayahan [ yaitu wajib sebab didalam perkara yang bukan wajib tidak ada kepayahan ] ) artinya bahwa kewajiban sholat berjamaah adalah perkara yang dimaklumi dikalangan sahabat toh demikian permintaan rukhshoh ini tidak diingkari oleh Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam maka artinya apa yang dimaklumi para sahabat akan wajibnya sholat berjamaah adalah benar sebab kaedah menyatakan ( syari’ tidak sepantasnya dan tidak akan mendiamkan kekeliruan yang mesti diingkari ) .
2. Hadis diatas adalah dalil bahwa buta termasuk perkara yang teranggap sebagai sebab adanya rukhshoh meninggalkan sholat berjamaah . Hukum ini diambil dari { فرخص له } yaitu Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshoh padanya, hal ini sesuai kaedah ( apa yang datang dari Nabi maka diambil dan apa yang dilarang maka ditinggalkan ) . Artinya, jika sebab ini tidak terpenuhi maka rukhshoh tidak ada berdasar kaedah ( ada atau tidaknya hukum berporos pada ada atau tidaknya sebab ) .
3. Hadis ini dijadikan dalil bahwa kewajiban menghadiri jamaah digantungkan kepada mendengar adzan . Hukum ini diambil dari { هل تسمع النداء بالصلاة ؟ قال : نعم ، قال : فأجب } sisi pendalilannya bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menggantungkan perintah menghadiri sholat jamaah dengan mendengar adzan . Hal ini sesuai dengan kaedah ( ada atau tidaknya hukum berporos pada ada atau tidaknya sebab ) . Namun hukum ini terkritik dari sisi sebab digantungkannya hukum wajib jamaah dengan mendengar yaitu tiada lain karena buta maka yang benar adalah : rukhshoh bolehnya tidak menghadiri sholat jamaah adalah diantaranya disebabkan oleh terkumpulnya dua sebab sekaligus yaitu buta dan tidak mendengar adzan . Inilah yang benar berdasar kaedah ( hukum syareah digantungkan pada sampainya pengetahuan ) artinya dengan mata yang normal seorang muslim bisa mengetahui telah datangnya waktu sholat berjamaah sebagaimana dengan pendengaran yang normal dia bisa mengetahui telah datangnya waktu sholat berjamaah dengan ia mendengar adzan maka hilangnya salah satu jalan pengetahuan dengan masih tersisa jalan lain tidaklah menjadi sebab gugurnya hukum wajib menghadiri jamaah . Dari sini diketahuilah alasan mengapa orang tidur tidak terbebani menghadiri sholat jamaah bahkan waktu sholat baginya adalah ketika dia sudah bangun dari tidurnya .
4. Hadis ini adalah dalil gugurnya kewajiban menghadiri sholat berjamaah sebab tidak mampu menghadirinya . Hukum ini diambil dari persetujuan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam terhadap ucapan { وليس لـي قائد يقودنـي } yaitu ia tidak memiliki orang yang dapat menuntunnya menghadiri sholat jamaah . Sisi pendalilannya adalah Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menyetujui alasan tersebut dan kaedah menyatakan ( syari’ tidak sepantasnya dan tidak akan mendiamkan kemungkaran yang wajib diingkari ) . Hukum ini juga berdasar kaedah umum ( kewajiban – kewajiban syareat gugur sebab ketidak-mampuan ) artinya jika seorang muslim buta dan tidak dapat mendengar adzan namun ia memiliki orang yang dapat menuntunnya menghadiri sholat jamaah maka ia wajib hadir .
5. Hadis ini adalah dalil bahwa diantara tanda masuknya waktu sholat yang lima adalah diperdengarkannya adzan yang syar’iy . Hukum ini diambil dari { النداء بالصلاة } sisi pendalilan dari { الـ } yang berupa al ‘ahd ( tercatat / dimaklumi ) pada kata nida’ yaitu adzan yang tercatat / dimaklumi dalam syari’ah yang tiada lain adalah adzan yang terpenuhi padanya syarat dan rukunnya, dan dari huruf { بـ } yang berfaidah mushohabah ( penyertaan ) pada kata sholat yaitu adzan yang syar’iy sifatnya selalu menyertai sholat yang lima . Sedangkan pembatasan pada sholat yang lima diambil dari huruf { الـ } yang berupa al ‘ahd ( tercatat / dimaklumi ) pada kata sholat yaitu sholat yang tercatat dan dimaklumi oleh sahabat akan wajibnya berjamaah didalamnya . [ mengenai hukum – hukum adzan akan dikaji dilain kesempatan insyaAlloh ]
6. Hadis diatas adalah dalil haramnya tidak menghadiri sholat jamaah tanpa sebab yang dimaklumi . Hukum ini diambil dari perintah { فأجب } sisi pendalilannya adalah berdasar kaedah ( perintah terhadap suatu perkara adalah larangan dari lawan perkara tersebut ) yaitu lawan dari menghadiri adalah tidak menghadiri, juga kaedah ( larangan pada asalnya berfaidah haram ) maka tidak menghadiri adalah haram . Jika hal ini telah dipahami, maka apakah hukum sholat yang lima sendirian ? khilaf dikalangan ulama kepada dua pendapat ; pendapat pertama sah berdasar dalil hadis lain sedang hadis ini maka Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak menyinggung soal hukum sholat yang lima sendirian . Pendapat kedua tidak sah berdasar beberapa dalil diantaranya hadis ini . Sisi pendalilannya dari hadis ini berdasar kaedah ( larangan berdampak pada rusaknya ibadah ) sekaligus ini adalah jawaban atas anggapan bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dalam hadis ini tidak menyinggung soal hukum sholat yang lima sendirian bahkan beliau menyinggungnya namun secara iqtidho’iy, sedang kaedah menyatakan ( dalalah iqtidho’iy adalah teranggap didalam menetapkan hukum ) . Meski demikian toh hati kami lebih tenang untuk mengikuti ulama yang berpegang pada pendapat pertama yaitu sah .
والله أعلم وصلى الله على رسول الله وعلى آله وسلم والحمد لله .

SERIAL FAWAID USHULIYAH II

KAJIAN HADIS KE 3
HUKUM ADZAN

عن عمرو بن سلمة رضي الله عنهما قال قال أبـي : جئتكم من عند النبي صلى الله عليه وسلم حقًا ، فقال : { إذا حضرت الصلاة فليؤذن أحدكم } الحديث

Kajian terhadap hadis diatas dari dua sisi :
Sisi Pertama, derajat keshohihan hadis. Kajian ini dikedepankan pada pengkajian hadis berdasar kaedah ( istimbat hukum adalah cabang dari penetapan keshohihan dalil ) dan ( asalnya ibadah itu dilarang sehingga didapati dalil ).
Hadis diatas diriwayatkan oleh al Bukhoriy rohimahulloh dari jalan Hamad bin Zaid dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Amr bin Salimah berkata : dst. Sanad tersebut adalah shohih para perowinya adalah orang – orang yang terpercaya baik kesholihannya maupun hapalannya dan juga bersambung maka ia merupakan hadis shohih berdasar kaedah ( hadis shohih adalah yang diriwayatkan secara bersambung oleh para perowi yang terpercaya baik kesholihannya maupun hapalannya ) terlebih lagi ia ditakhrij oleh imam al Bukhoriy dalam kitab shohihnya, kitab yang diterima keshohihannya oleh para ulama secara turun temurun dengan kesepakatan dari mereka yang oleh kaedah dinyatakan ( kesepakatan ulama umat ini adalah hujjah ) sebab ( umat ini tidak akan bersepakat diatas kekeliruan ).
Sisi Kedua dari kajian hadis diatas adalah istimbat beberapa hukum darinya setelah dipastikan akan keshohihannya yaitu sbb :
1. Hadis diatas adalah dalil diterima dan diamalkannya hadis ahad, hukum ini diambil dari persetujuan Nabi atas amalan para sahabat berdasar berita ayah Amr bin Salimah { جئتكم من عند النبي صلى الله عليه وسلم } yaitu ayah Amr sendirian dalam menyampaikan berita, hal ini berdasar kaedah ( syari’ tidak akan mandiamkan kemungkaran yang harus diingkari ).
2. Hadis diatas adalah dalil akan wajibnya adzan. Hukum ini diambil dari sabdanya { فليؤذن } sisi pendalilannya pada perintah untuk adzan yang dalam kaedah dinyatakan ( perintah asalnya berfaidah wajib ).
3. Hadis diatas adalah dalil bahwa wajibnya adzan adalah secara kifayah yaitu ( jika telah dikerjakan oleh sebagian jamaah yang memenuhi gugurnya tuntutan wajib maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya dari jamaah tersebut ). Hukum ini diambil dari { فليؤذن أحدكم } sisi pendalilan wajib telah disebutkan sebelumnya sedang sisi pendalilan kifayah pada { salah satu dari kalian } yang dalam kaedah bahasa sebagai fa’il [ pelaku adzan] yaitu pelaku kewajiban adzan adalah salah satu dari kalian, hal ini sesuai kaedah ( bahasa Arab dan kaedahnya adalah diterima dalam penafsiran syareat ).
4. Hadis diatas dijadikan dalil bahwa kewajiban adzan juga dibebankan atas seorang yang tinggal terpencil sendiri tanpa jamaah, hukum ini diambil dari { إذا حضرت الصلاة فليؤذن } sisi pendalilan wajib telah disebutkan sebelumnya sedang sisi pendalilan atas seorang yang tinggal terpencil tanpa jamaah adalah bahwa kalimat diatas merupakan susunan fi’il syart dan jawab syart sehingga berdasar kaedah ( jawab syart adalah hak syart yang selalu berkait ) maka adzan adalah hak waktu artinya kapan datang waktu sholat atas jamaah atau sendiri maka wajib didatangkan adzan. Namun jika kita mentelaah hadis – hadis adzan kita mendapati hadis dari Abu Sa’id al Khudzriy dengan lafadz sbb :

عن عبد الله بن أبي صعصعة أن أبا سعيد الخذري رضي الله عنه قال له : { إنـي أراك تحب الغنم والبادية فإذا كنت في غنمك أو باديتك فأذنت للصلاة } الحديث في آخره قال أبو سعيد : سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم

Hadis diatas diriwayatkan oleh al Bukhoriy dalam shohihnya sehingga ia adalah hadis shohih sebagaimana telah disebutkan penetapan keshohihan hadis – hadis dalam shohih al Bukhoriy. Hadis tersebut lafadznya adalah berita motivasi bagi yang tinggal terpencil sendirian tanpa jamaah untuk mengumandangkan adzan untuk sholat sedangkan berdasar kaedah ( berita motivasi maksimalnya menunjukkan istihbab [disukai] bukan wajib ) sehingga berdasar kaedah ( perintah pada asalnya berfaidah wajib kecuali ada yang memalingkannya dari wajib ) yaitu hadis Amr bin Salimah berupa perintah dan hadis Abu Said berupa berita motivasi sehingga ia memalingkan faidah wajib kepada faedah mustahab bukan wajib. Kesimpulannya : hukum adzan bagi seorang yang tinggal terpencil sendirian tanpa jamaah adalah sunnah bukan wajib.
5. Hadis diatas adalah dalil bahwa adzan yang diterima secara syar’iy adalah adzan ketika sudah masuk waktu sholat wajib yang lima. Hukum ini diambil dari { إذا حضرت الصلاة فليؤذن } sisi pendalilannya bahwa ini merupakan kalimat susunan syart dan jawab syart yang didalam kaedah dinyatakan ( jawab syart adalah hak syart yang selalu berkait ) artinya adzan yang diperintahkan oleh syari’ adalah hak waktu sholat jika dikerjakan diluar waktu maka tidak teranggap. Adapun pembatasan pada sholat yang lima diambil dari { الـ } yang bermakna al ‘ahd [tercatat / dimaklumi] pada kata { الصلاة } yaitu sholat yang dimaklumi oleh para sahabat secara syar’iy yang tidak lain adalah sholat yang lima.
6. Hadis diatas adalah dalil tertolaknya adzan diluar waktu sholat yang lima seperti adzan jenazah, ied, gerhana dsb. Hukum ini diambil dari mafhum hukum no 5 diatas yang berdasar kaedah ( mafhum mukholafah adalah hujjah didalam menetapkan hukum ).

والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله .




Bunga bank ribawi hendaknya dikemanakan ?

Beberapa waktu yang tak lama sebagian ikhwah makan berjamaah dikediaman seorang ikhwah sehingga terjadilah mudzakaroh beberapa masalah perekonomian diantaranya penyaluran bunga bank ribawi apakah hanya khusus kekemaslahatan umum semisal jalan dsb ? maka kami jawab secara ringkas : tidak, namun boleh juga ia salurkan untuk proyek – proyek amal sholih dan kami janjikan untuk menampilkan jawaban sebagian ulama pakar dibidangnya dimenara sunnah kami biidznillah. Maka berikut ini apa yang kami janjikan wallohul muwaffiq :
Pertanyaan : seseorang ditangannya ada uang haram berupa bunga riba dari ia menabung dibank kemudian ia ingin berlepas diri dari riba tersebut maka dikemanakan hendaknya uang tersebut ?

Jawab : permasalahan ini telah dibahas oleh para ulama jazahumulloh khoiron maka dikesempatan ini akan kami terjemahkan transkrip pembahasan as Syaikh Prof. DR. Sa’d bin Turki al Khotslan hafidzohulloh [ dosen fak. Syari’ah Univ. Imam Su’ud, Riyadh – KSA, wakil ketua pengurus harian yayasan fikih Saudi Arabia dll ] yang beliau sampaikan dalam dauroh Masjid Jami’ Ibnu Taimiyyah diRiyadh dengan judul “ Fiqih Mu’amalah Maliyyah Mu’ashiroh ” .
Beliau hafidzohulloh berkata : “ sekarang orang tersebut menginginkan untuk berlepas diri dari riba ini maka hendaknya dikemanakan riba ini ? Kami nyatakan : sesungguhnya bagi orang tersebut ada beberapa jalan keluar yaitu :
Pertama, orang ini mengambil riba tersebut, ia jadikan sebagai harta milik dan hendak ia pergunakan untuk dirinya . Ini adalah jalan keluar yang tidak dapat diterima sebab akan berdampak pada kepemilikan riba yang dihasilkan dari cara haram . Artinya jalan keluar pertama ini sebenarnya bukan jalan keluar dimana seseorang mengambil riba tersebut dan dijadikan hak milik sebab hal ini berdampak kepada masuknya harta yang dihasilkan dari cara haram kedalam harta milik seorang muslim, kalau demikian berarti jalan keluar pertama ini tidak dapat diterima .
Jalan keluar kedua, orang tersebut membiarkan bunga riba dan hasil muamalah ribawinya dibank dan tidak diambilnya namun ia hanya mengambil harta dia yang halal semata . Jalan keluar kedua ini juga tidak dapat diterima . Apabila kita merujuk kepada keterangan para ulama tentang harta hasil dari cara haram semisal pelacuran maka ternyata mereka menegaskan bahwa upah pelacuran adalah bukan hak pelacur berdasar sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam atau hadis Ibnu Mas’ud bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melarang upah jual beli anjing, upah pelacuran dan upah perdukunan, riwayat al Bukhoriy – Muslim.
Kalau demikian tentu saja upah pelacuran tersebut bukan berarti dikembalikan kepada pengguna jasa pelacuran juga bukan hak milik pelacur . Kemudian sebenarnya membiarkan uang haram tersebut tetap dibank misalnya akan berakibat beberapa akibat buruk diantaranya : membantu pihak bank untuk tetap berlarut – larut dalam riba serta nekat padanya sebab hakekatnya seolah – olah orang tersebut memberikan modal tambahan bagi bank . Gambarkan saja jika seandainya ada banyak orang melakukan hal itu ! dan lagi seorang muslim akan dimintai pertanggungan jawab atas perbuatannya yang menjadi sebab munculnya keharaman, ia akan ditanya akan hal ini . Terlebih lagi sebenarnya ia meninggalkan uang riba tersebut tetap bank tidak lain hanyalah pelarian dimana dia ini sebelumnya telah terjatuh dalam kekeliruan dan ia menerima uang haram kemudian riba tersebut ia biarkan tetap dibank, tidak lain ini hanyalah pelarian yang tidak akan membebaskan dia dari pertanggungan jawab sebab dialah orangnya yang menjadi sebab adanya uang haram tersebut . Kemudian juga bahwa bank bukanlah ia sebagai pemilik yang sah atas bunga riba tersebut baik ditinjau dari aturan perbankan atau tinjauan syar’iy maka atas dasar apa bunga riba tersebut tetap dibiarkan dibank ? Apabila kita sudah mengetahui bahwa jalan keluar pertama tidak dapat diterima maka demikian halnya dengan jalan keluar kedua ini yaitu tidak dapat diterima .
Jalan keluar ketiga, orang tersebut mengambil bunga ribanya tersebut namun tidak ia pergunakan untuk pribadi hanya saja ia musnahkan uang tersebut atau ia bakar atau dibuang kelautan misalnya . Jalan keluar ketiga ini juga tidak dapat diterima sebab ini merupakan bentuk penelantaran harta sia – sia , sementara seorang muslim dilarang dari menelantarkan hartanya sia – sia . Artinya cara dia berlepas diri dari riba dengan mengambilnya dari bank kemudian ia memusnahkannya adalah jalan keluar yang tidak dapat diterima terlebih kadang – kadang jumlahnya besar mencapai jutaan .
Kalau demikian maka yang tersisa hanyalah jalan keluar keempat yaitu orang tersebut mengambilnya dari bank kemudian ia sodaqohkan keberbagai bentuk amal kebajikan . Inilah dia jalan keluar yang wajib ditempuh namun disini kita wajib memberikan keterangan bahwa niat orang tersebut dalam sodaqohnya in adalah ingin berlepas diri bukan dengan niat ingin ibadah sebab Alloh adalah at Thoyyib tidak menerima kecuali yang thoyyib . Jadi orang tersebut hendaknya mensodaqohkannya kepada berbagai bentuk amal kebajikan dengan niat ingin berlepas diri .
Kesimpulannya, kita mengetahui ada empat jalan keluar yaitu pertama, orang tersebut mengambilnya kemudian ia jadikan hak milik dan dipergunakan untuk kepentingan pribadi. Kita nyatakan ini jalan keluar yang tidak dapat diterima. Jalan keluar kedua, orang tersebut membiarkan bunga riba tetap dibank. Jalan keluar ini juga tidak dapat diterima dan kita juga telah memahami sebab tertolaknya. Jalan keluar ketiga, ia mengambilnya dari bank namun ia musnahkan secara dibakar atau dengan cara lain apapun cara itu. Ini juga jalan keluar yang tidak dapat diterima. Jalan keluar keempat, ia mengambilnya dari bank kemudian ia salurkan keberbagai bentuk amal kebajikan dengan niat ingin berlepas diri, inilah jalan keluar satu-satunya yang mesti ditempuh.
Pertanyaannya sekarang, apakah diperbolehkan baginya untuk menyalurkan bunga riba tersebut kepada orang – orang fakir miskin ? kami katakan : benar boleh baginya menyalurkannya kepada fakir miskin, tak benar ada pernyataan bahwa ini adalah uang kotor bagaimana boleh disalurkan kepada fakir miskin ?
Kami jawab : hal ini berdasar kaedah ( pemindahan kepemilikan adalah sebab berubahnya hukum barang ) yang kaedah ini ditunjukkan oleh sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam { daging itu merupakan barang sodaqoh bagi Bariroh namun ia adalah barang hadiah bagi kita } yaitu tatkala Bariroh menerima sodaqoh kemudian oleh Bariroh dihadiahkan kepada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sehingga ditanyakanlah kepada beliau { wahai Raosululloh, ini adalah barang sodaqoh ? } dimaklumi bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak halal bagi beliau sodaqoh maka beliau bersabda { daging itu merupakan barang sodaqoh bagi Bariroh namun ia adalah barang hadiah bagi kita }. Artinya jika orang fakir memberikan hadiah dari barang sodaqoh yang disalurkan kepadanya maka sodaqoh tersebut menjadi hadiah dan bukan lagi berupa sodaqoh sebab sekedar dengan kepemilikan orang fakir akan sodaqoh tersebut maka barang itu berubah menjadi miliknya yang sah dan tidak lagi disebut sodaqoh sehingga boleh baginya untuk memanfaatkan barang tersebut untuk dihadiahkan atau dijual atau yang lainnya .
Jadi, pemindahan kepemilikan merupakan sebab berubahnya hukum barang. Demikian halnya kita mengatakan : orang ini dia memiliki uang haram tersebut maka jika dia salurkan kepada orang fakir artinya disini terjadi pemindahan kepemilikan sehingga uang haram tadi berubah menjadi halal ditangan sifakir padahal sebelumnya uang tersebut ditangan orang tersebut adalah uang haram. Termasuk perkara yang menunjukkan akan hal ini, bahwa seseorang terkadang bertransaksi dengan orang lain yang boleh jadi uang teman transaksi tersebut haram dari uang hasil mencuri misalnya.
Taruhlah anda membeli sebuah barang dari orang lain atau anda menjual barang kepada seseorang dan anda menerima uang pembayarannya sementara anda tidak mengetahui kalau ternyata uang itu adalah hasil mencuri misalkan maka dalam kondisi ini anda tidaklah berdosa atau bahkan uang pembayaran tadi adalah bunga riba misalnya sementara anda tidak mengetahuinya, jika kita haruskan atas setiap orang yang bertransaksi untuk meneliti sumber uang transaksi atau barangnya niscaya manusia akan dilanda kepayahan yang berat. Al hasil bahwa ( pemindahan kepemilikan merupakan sebab berubahnya hukum barang ) sehingga tidak mengapa orang yang ditangannya ada bunga riba tadi menyalurkannya kepada fakir miskin.
Termasuk pula perkara yang menunjukkan akan kaedah ini adalah andaikan seseorang ditangannya ada harta haram dari hasil cara yang haram kemudian ia meninggal maka hartanya termasuk harta haram tadi berpindah kepada pewarisnya dan menjadi mubah ya’ni berubah hukumnya menjadi halal ditangan pewaris sebab kaedah ( pemindahan kepemilikan merupakan sebab berubahnya hukum barang ). Contohkan saja ada seseorang yang bermuamalah secara ribawi kemudian ia meninggal maka hartanya seluruhnya berubah menjadi mubah ditangan pewaris, ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Kesimpulannya, tidak mengapa orang tersebut menyalurkannya kepada fakir miskin atau dia salurkan keberbagai bentuk amal kebajikan yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Adapun pendapat sebagian ulama bahwa hanya boleh disalurkan kepembangunan toilet & kamar mandi umum atau pembangunan masjid dan semisalnya saja, maka pendapat ini perlu dikaji ulang sebab tidak dalil yang mendukung akan pendapat ini juga dikarenakan bahwa bunga riba tadi sebagaimana kita terangkan telah berpindah kepemilikannya maknanya telah berubah hukum dan hakekat kedudukan barang tersebut. Maksud kami, bahwa pendapat yang menyatakan hanya boleh disalurkan keproyek – proyek maslahat umum seperti ini tidak ada dalil yang mendukungnya bahkan yang benar boleh baginya untuk menyalurkannya keberbagai amal kebajikan sebagaimana boleh pula disalurkan kepada fakir miskin, inilah pembahasan yang terkait masalah diatas ”_selesai. [ dari www.taimiah.org ]
Berikutnya adalah penjelasan ringkas dari syaikh DR. Kholid bin Abdillah al Mushlih hafidzohulloh [ dosen fak. Syari’ah, Univ. Imam Su’ud cab. Qoshim dan murid senior bahkan menantu Al ‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahulloh ] kami terjemahkan dari risalah ilmiyyah beliau berjudul “ at taubah minal makasib al muharromah wa ahkamuha fil fiqhil islamiy ”.
Beliau hafidzohulloh berkata : “ kesembilan : harta haram yang diperoleh secara ada kerelaan dari dua pihak, maka harta tersebut bisa diklasifikasikan kepada dua kelompok yaitu pertama, harta yang berupa benda atau manfaat yang pada asal keduanya adalah sesuatu yang mubah namun ia divonis haram sebab tujuan pemakaiannya atau pemanfaatannya. Kelompok pertama ini pada asalnya adalah mubah, tidak lain ia terkena hukum haram karena tinjauan tujuan penggunanya. Kelompok kedua, harta yang berupa benda atau manfaat yang asalnya memang sesuatu yang haram maka ini adalah haram, kelompok ini tidak boleh diserahkan kepada orang yang mengusahakannya sebelum sempat sesuatu tersebut berada ditangannya. Namun jika terlanjur sudah berpindah tangan kepadanya maka orang tersebut tidak dituntut untuk mengembalikan kepada yang memberikan, hal ini agar tidak bersatu antara alat tukar dengan pihak yang harus menyerahkan alat tukar.
Kesepuluh : orang yang mengusahakan harta haram jenis diatas tidak lepas dari dua keadaan sbb, pertama : ia tidak meyakini haramnya harta tersebut atau tidak mengetahui akan keharamannya maka harta tersebut ditetapkan sebagai miliknya, kedua : ia meyakini akan haramnya harta tersebut dan juga mengetahuinya maka apa terlanjur berada ditangannya semisal riba, judi, upah khomer dsb ia dikeluarkan dari kepemilikan orang yang memberikan harta tersebut secara suka rela.
Kesebelas : perlu diketahui bahwa bukan termasuk konsekwensi dari taubat dari harta haram jenis saling rela dari kedua pihak diatas untuk ia mengembalikan harta tersebut kepada pihak yang menyerahkannya kepadanya sebagai alat tukar, namun yang wajib atasnya adalah mensodaqohkannya. Meski demikian boleh juga baginya untuk mengambil dari harta tersebut sekadar kebutuhan jika ia adalah orang fakir lagi punya hajat ”. [ dari www.almosleh.com ]

MENARA SUNNAH KHATULISTIWA

Artikel-artikel islam ilmiyah dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab, Insya Allah diasuh oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari