Selasa, 31 Agustus 2010

SEPUTAR ROMADHON III

I'TIKAF
Berikut adalah pemaparan fawaid fiqhiyyah secara ringkas dari sebagian hadis – hadis seputar I’tikaf yang dibawakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy rohimahulloh dalam kitab beliau “ Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam ”. Semoga hal ini bermanfaat bagi kami dan bagi yang menelaahnya bitaufiqillah.

1 ـ وَعَنْ عائشة رضي الله عنها : (( أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه وسلّم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ، حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ )) . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Terjemahan hadis ke 1 : dan dari Aisyah rodhiyallohu ‘anha : (( Bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukan I’tikaf disepuluh hari terakhir dari Romadhon hingga diwafatkan oleh Alloh kemudian para istri beliau tetap melakukan I’tikaf sepeninggal beliau )) muttafaqun ‘alaihi .
Takhrij hadis : Al Bukhori no. 2024 dan Muslim no. 1174
Fawaid fiqhiyyah hadis diantaranya :
1. Bahwa hadis diatas merupakan dalil akan disyariatkannya melakukan I’tikaf sebab datang hal ini dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam.
2. Bahwa hadis diatas menerangkan hukum I’tikaf yaitu sunnah sebab berasal dari perbuatan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam. Adapun hadis Abu Sa’id rodhiyalloh ‘anhu yang didalamnya terdapat lafadz : «... مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ» yang terjemahannya : (( … dan sesiapa yang telah melakukan I’tikaf bersamaku maka hendaknya ia melakukan I’tikaf disepuluh hari yang akhir )) maka perintah disini adalah untuk sekedar irsyad ( anjuran ) atau dari bentuk (( ولا تبطلوا أعمالكم )) jangan kalian membatalkan amalan kalian setelah kalian memulainya hingga selesai.
3. Bahwa hadis diatas menerangkan waktu yang afdhol untuk melakukan I’tikaf yaitu sepuluh hari terakhir dari Romadhon sebab itulah yang Alloh pilihkan untuk Nabinya secara terus menerus sehingga itulah yang utama. Jika telah dipahami bahwa penyebutan sepuluh hari terakhir dari Romadhon ini adalah untuk penjelasan waktu afdhol maka artinya dihari – hari selainnyapun tetap dapat dijadikan sebagai waktu melakukan I’tikaf. Sebagaimana pula dapat dipahami bolehnya I’tikaf kurang atau lebih dari sepuluh hari.
4. Bahwa hadis diatas menerangkan maksud dari hari dalam I’tikaf yaitu siang hari beserta malamnya sebab lafadz hari dalam bahasa Arab saat disebut secara tersendiri masuk didalamnya malam harinya. Dari penetapan ini maka diketahuilah sebab perbedaan pendapat ulama tentang kapan waktu afdhol seseorang memulai I’tikafnya dalam konteks sepuluh hari Romadhon yang akhir ini ? Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa yang afdhol adalah dari menjelang terbenamnya matahari dihari kedua puluh Romadhon sehingga tepat untuk disebut ia I’tikaf sepuluh hari dan malamnya, ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan dirojihkan oleh guru kami al ustadz Abu Muhammad hafidzohulloh berlandaskan kepada hadis Abu Sa’id rodhiyallohu ‘anhu diatas. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang afdhol ia memulai dari seusai melaksanakan sholat subuh dihari kedua puluh satunya, ini adalah pendapat al imam Ahmad dalam salah satu riwayat berlandaskan kepada hadis Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang akan datang penyebutannya insyaAlloh.
5. Bahwa hadis diatas menerangkan akan muhkamnya syareat kesunnahan I’tikaf ini, tidak ada dalil yang menghapuskannya sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukannya hingga wafat kemudian dilanjutkan pengamalannya oleh para istri beliau.
6. Bahwa hadis diatas menerangkan akan bolehnya para wanita untuk mengamalkan I’tikaf sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menyetujui amalan para istri beliau. Namun hal ini ada adab – adab lain yang mesti dijaga oleh mereka diantaranya izin dari suami sebab ibadah tathowwu’ jika seorang wanita hendak mengamalkannya maka disyaratkan adanya izin dari suami, adab yang lain yang penting juga adalah tersedianya musholla khusus bagi mereka meskipun satu masjid dengan para jamaah lelaki sebab dahulu Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menyediakan musholla khusus untuk para wanita dengan pintu khusus untuk mereka tanpa terpisah dari masjid beliau. Termasuk adab juga adalah tidak mengundang fitnah dengan jalan apapun. والله أعلم

2 ـ وَعَنْهَا قَالَتْ: (( كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلّى الْفَجْرَ، ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ )) . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Terjemahan hadis ke 2 : dan dari beliau rodhiyallohu ‘anha : (( Bahwa Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam jika hendak melakukan I’tikaf maka beliau melakukan sholat subuh kemudian beliau memasuki tempat I’tikafnya )) muttafaqun ‘alaihi.
Takhrij hadis : Al Bukhoriy no. 2033 dan Muslim no. 1173
Fawaid fiqhiyyah dari hadis ini diantaranya adalah :
1. Bahwa hadis ini menerangkan akan kesunnahan menyiapkan tempat khusus semisal tenda meski sekedar tirai perorangan untuk dijadikan tempat menyendiri selama mengamalkan I’tikaf sebab Nabi melakukannya dalam I’tikaf beliau sholallohu ‘alaihi wasallam.
2. Bahwa hadis ini menerangkan akan kesunnahan menyendiri dari kebanyakan jamaah dalam masa I’tikaf sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukannya. Sebaliknya terdapat celaan dari banyak dan seringnya bergumul dengan jamaah saat beri’tikaf dimasjid kecuali sholat berjamaah dan semisalnya dari amalan berjamaah.
3. Bahwa hadis ini menerangkan akan tetap wajibnya seorang yang beri’tikaf untuk menghadiri sholat berjamaah.
4. Bahwa hadis ini menerangkan akan sunnahnya segera masuk ketenda atau menyendiri dari jamaah bagi seorang yang I’tikaf seusai berdzikir sebab tekstual hadis ini menunjukkan demikian perbuatan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam.
5. Bahwa hadis ini dijadikan dalil oleh sebgian ulama yang berpendapat bahwa waktu afdhol seseorang memulai I’tikaf sepuluh hari Romadhon adalah seusai sholat subuh dihari kedua puluh satu sebab tekstual hadis ini demikian adanya. Namun pendalilan ini dibantah bahwa justru tekstual hadis menerangkan bahwa Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam memasuki tenda beliau atau yang semisalnya segera seusai sholat subuh bukan beliau memulai I’tikafnya bahkan isyarat hadis ini menyatakan bahwa beliau telah memulai I’tikafnya sebelum – sebelumnya sebab beliau telah berada dalam masjid.
6. Bahwa hadis ini menerangkan akan tempat pengamalan I’tikaf yaitu masjid sebagaimana secara tegas juga disebut dalam ayat al Qur-an. Ia juga mengisyaratkan bahwa tempatnya adalah masjid yang ditegakkan didalamnya sholat berjamaah lima waktu sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam beri’tikaf ditempat beliau sholat subuh yang tentu saja berjamaah, secara lengkapnya perincian pembahasan tempat akan datang didua hadis berikutnya insyaAlloh.
7. Bahwa hadis ini menerangkan tempat yang afdhol untuk beri’tikaf yaitu masjid Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sebab tempat itulah yang Alloh pilih untuk beliau dalam mengamalkan I’tikaf. والله أعلم

3ـ وَعَنْهَا قَالَتْ: (( إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ ـ وَهُوَ فِي المَسْجِدِ ـ فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةٍ، إِذَا كَانَ مُعْتَكِفاً )) . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

Terjemah hadis ke 3 : dan dari beliau rodhiyallohu ‘anha berkata : (( sesungguhnya Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam memasukkan kepala beliau kehadapanku sementara beliau berada dalam masjid lalu aku menyisir rambut beliau, beliau tidak memasuki rumah kecuali jika ada hajah yaitu disaat beliau sedang beri’tikaf )) muttafaqun ‘alaihi dan ini adalah lafadz milik al Bukhoriy.
Takhrij hadis : Al Bukhoriy no. 2025 dan Muslim 1172
Fawaid fiqhiyyah dari hadis ini diantaranya adalah :
1. Bahwa hadis ini menerangkan wajibnya seorang yang beri’tikaf untuk tetap menetap didalam masjid sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan masjid tempat beliau beri’tikaf walaupun memasuki rumah beliau yang dekat dengan masjid.
2. Bahwa hadis ini menerangkan bolehnya bagi orang yang beri’tikaf untuk mengeluarkan sebagian anggota badannya dari masjid dengan tetap menjaga keberadaan badan didalam masjid sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut.
3. Bahwa hadis ini menerangkan akan bolehnya seorang yang beri’tikaf untuk berbersih diri dan berhias sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut.
4. Bahwa hadis ini menerangkan bolehnya seseorang dibantu oleh orang lain dalam berhias diri sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menyetujui perbuatan Aisyah menyisir rambut beliau dan syariat yang dibolehkan bagi sebagian umat maka ia adalah boleh untuk seluruhnya selama tidak didapati dalil penghususan.
5. Bahwa hadis ini menerangkan bolehnya seorang yang beri’tikaf bergaul dan bersentuhan dengan istrinya selama tidak sampai tingkat bercumbu terlebih lagi berjima’ sebab Nabi menyetujui Aisyah yang memegang kepala beliau saat menyisir.
6. Bahwa hadis ini menerangkan bahwa seorang yang beri’tikaf boleh keluar dari masjid untuk memenuhi keperluannya yang tidak bisa tidak mesti keluar seperti buang air besar atau kecil ( sebagaimana datang tafsirnya dari Az Zuhriy perowi hadis ini ) atau mandi termasuk makan jika tidak ada orang lain yang mengantarkan makanan kepadanya ( ditetapkan dari jalan qiyas menurut Hanabilah seperti dijelaskan oleh guru kami yang mulia Asy Syaikh Abul Habib Asy Syatsriy hafidzohulloh ) sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak keluar dari masjid kecuali untuk keperluan. Namun tidak boleh baginya terlalu bertoleransi diluar masjid setelah menyelesaikan keperluannya sebab ini adalah perkara darurat yang hanya boleh diambil sekadarnya dan jika hal itu terjadi maka batallah I’tikafnya.

4ـ وَعَنْهَا قَالَتْ: (( السُّنَّةُ عَلَى المُعْتَكِفِ أَلاَ يَعُودَ مَرِيضاً، وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً، وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً، وَلاَ يُبَاشِرَهَا، وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ، إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ، وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَ فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ )) . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَلاَ بَأْسَ بِرِجَالِهِ، إِلاَّ أَنَّ الرَّاجِحَ وَقْفُ آخِرِهِ

Terjemah hadis ke 4 : dan dari beliau rodhiyallohu ‘anha berkata : (( Yang sesuai sunnah bahwa seorang yang I’tikaf tidak menjenguk orang yang sakit, tidak melayat jenazah, tidak menyentuh wanita, tidak pula mencumbunya dan tidak keluar dari masjid kecuali untuk keperluan yang mesti dan harus diselesaikan diluar, tidak ada I’tikaf tanpa puasa dan tidak ada I’tikaf melainkan dimasjid jami’ )) riwayat Abu Dawud dan para rijalnya tiadalah mengapa namun yang benar bahwa akhir hadis ini adalah mauquf.
Istilah hadis :
Yang sesuai sunnah : jika diucapkan oleh sahabat maka dihukumi sebagai hadis yang berujung kepada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam baik dari ucapan ataupun perbuatan.
Rijal : adalah orang – orang yang meriwayatkan hadis.
Tiadalah mengapa : berkata guru kami yang mulia Asy Syaikh Abu Abdirrohman Al Hajuriy hafidzohulloh : “ isyarat ada kelemahan meskipun dapat diterima ”.
Mauquf : hadis hanya berujung kepada sahabat dan tidak sampai naik kepada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam baik ucapan atau perbuatan.
Takhrij hadis : Sunan Abu Dawud no. 2472 dari jalan Abdurrahman bin Ishaq dari Az Zuhriy dari ‘Urwah dari Aisyah berkata : dst. Namun sayangnya Abdurrahman bin Ishaq adalah perowi yang memiliki kelemahan sehingga berkonsekwensi tertolaknya hadis dari jalan dia ini. Terlebih lagi bahwa hadis ini asalnya ada diriwayat Ash Shohihain yaitu pada hadis 1 yang telah lewat dalam kajian kita ini sebagaimana hal ini dijelaskan dalam riwayat Al Baihaqiy dalam As Sunan Al Kubro ( 4 / 321 ) juga oleh Ath Thohawiy dalam Ma’rifatus Sunan ( 6 / 395 ) bahkan beliau memastikan bahwa hadis ini adalah bukan ucapan Aisyah tetapi ucapan Az Zuhriy atau yang selainnya dari perowi. Lebih jauh lagi bahwa hadis ini bisa dihukumi mungkar ( seorang rowi yang lemah menyelisihi para perowi yang terpercaya ) dimana Abdurrahman bin Ishaq yang lemah telah menyelisihi para murid Az Zuhriy yang terpercaya dari thobaqoh pertama seperti Malik bin Anas , al Laits bin Sa’d dan ‘Uqoil. Demikian kesimpulan akhir kajian kami terhadap derajat hadis ini sewaktu kami mengkajinya dimaktabah Darul Hadis, Dammaj harosahulloh, kemudian kami dapati penjelasan dari guru kami Asy Syaikh Abul Habib hafidzohulloh bahwa hadis ini adalah dari ucapan Az Zuhriy sehingga ia adalah mursal sementara mursal – mursalnya Az Zuhriy adalah sangatlah lemah. والله أعلم
Fawaid fiqhiyyah dari hadis ini diantaranya adalah :
1. Perlu dicatat bahwa meski hadis ini mungkar artinya sangat lamah namun tidak berarti bahwa apa yang ditunjukkan oleh muatan hadis ini juga tertolak sama sekali sebab tidak adanya keabsahan dalil tidak berarti tidak ada pula apa yang ditunjukkan oleh muatan dalil dari hukum – hukum fiqh.
2. Bahwa hadis ini dijadikan dalil tidak boleh seorang yang beri’tikaf untuk menjenguk orang sakit jika menuntutnya harus keluar masjid sebab berita negative dalam hadis ini bermakna insya’ yaitu larangan jangan ia menjenguk, namun jika orang sakit tersebut ada didalam masjid yang sama maka hal itu boleh bahkan bisa jadi sunnah berdasar keumuman dalil – dalil keutamaan menjenguk orang sakit sebab perbuatan yang berakibat pahala menunjukkan akan kesunnahannya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat dikalangan ulama, mayoritas ulama berpendapat akan tidak bolehnya hal tersebut kecuali jika ia mensyaratkan diawal mula I’tikafnya maka boleh mereka berlandaskan pada hadis ini, namun sayang telah diketahui akan kelemahan hadis ini sehingga tidak boleh dijadikan dalil, mereka juga berlandaskan pada perbuatan Aisyah bahwa beliau melewati orang sakit sementara beliau sedang beri’tikaf saat ada keperluan keluar masjid maka beliau tidaklah menjenguknya, hadis ini riwayat Shohihain disebutkan oleh penulis Umdah. Namun ini hanyalah perbuatan sohabiy terlebih sepeninggal Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sehingga tidaklah kuat untuk dijadikan dalil larangan, mereka juga berlandaskan pada hukum asal yang diterangkan pada hadis sebelumnya dalam kajian ini . Pendapat kedua adalah pendapat Hanabilah yaitu boleh baik dengan syarat atau tidak, landasan mereka adalah qiyas terhadap hajah yang disebut dalam hadis sebelumnya dalam kajian ini. Namun qiyas ini dibantah secara asalnya bahwa menjenguk orang sakit bukan termasuk hajah. Menurut hemat kami pendapat mayoritas ulama itulah yang lebih tepat sebab diantara landasannya adalah hukum asal yang kuat. والله أعلم
3. Bahwa hadis ini dijadikan dalil akan tidak bolehnya orang yang beri’tikaf untuk melayat jenazah dengan penetapan seperti point sebelumnya, namun jika jenazahnya disholatkan didalam masjid tempat dia I’tikaf maka sunnah baginya untuk ikut menshalatinya.
4. Bahwa hadis ini menerangkan tidak bolehnya seorang yang I’tikaf menyentuh wanita namun hadis ini lemah terlebih bertentangan dengan hadis lain yang shohih yaitu hadis sebelumnya dalam kajian ini sehingga yang benarnya boleh.
5. Bahwa hadis ini menerangkan tidak bolehnya orang yang I’tikaf bercumbu dengan wanita, ini juga ditegaskan dalam ayat Al Qur-an sehingga kalau dilanggar maka batal I’tikafnya sebab larangan menunjukkan batal dan rusak.
6. Bahwa hadis ini dijadikan dalil akan dipersyaratkannya puasa atas orang yang I’tikaf sebab yang ditiadakan dalam hadis ini adalah keabsahan I’tikaf atau keberadaan I’tikaf yang syar’iy. Ini merupakan perkara yang diperselisihkan dikalangan ulama ; Malikiyyah, sebagian Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa puasa adalah syarat I’tikaf secara mutlak baik I’tikaf nadzar ataupun sunnah, mereka berlandaskan pada hadis ini namun telah diketahui bahwa hadis ini lemah, juga kepada hadis yang akan datang sesudahnya namun juga yang benar bahwa hadis itu lemah pula, yang paling kuatnya landasan mereka adalah bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam senantiasa berpuasa dalam I’tikaf – I’tikafnya namun ini belum kuat untuk dijadikan landasan syarat sebab berapa banyak amalan yang beliau senantiasa menjaganya toh tidak menjadi syarat bahkan terdapati riwayat bahwa beliau I’tikaf disepuluh hari pertama bulan Syawwal dalam rangka qodho sementara dimaklumi bahwa hari pertama Syawwal sehingga genap sepuluh adalah hari yang dilarang padanya berpuasa. Pendapat kedua adalah pendapat masyhur dalam madzhab Hanabilah dan Syafi’iyyah serta sebagian Malikiyyah yaitu bahwa puasa bukan syarat kecuali jika ia nadzar puasa dan I’tikaf dalam waktu bersamaan, mereka berlandasan kepada riwayat Aisyah yang menyebutkan I’tikaf Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dibulan Syawwal juga mereka melemahkan hadis ini dan sesudahnya.
7. Bahwa hadis ini dijadikan dalil akan disyaratkannya masjid jami’ sebagai tempat I’tikaf sebab yang ditiadakan dalam hadis ini adalah keabsahan I’tikaf atau keberadaan I’tikaf yang syar’iy. Masjid jami’ adalah masjid yang diselenggarakan padanya sholat berjamaah lima waktu, meski hadis ini lemah namun ayat Al Qur-an telah menjelaskan demikian, begitu pula I’tikafnya Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dan para sahabat sehingga ini mirip kesepakatan mereka. Alasan lain, bahwa I’tikaf dimasjid yang tidak diselenggarakan sholat jamaah lima waktu padanya akan menuntut orang yang I’tikaf untuk banyak keluar dari masjid. Namun apakah disyaratkan juga diselenggarakannya sholat jum’ah didalamnya ? letak silang pendapat dikalangan ulama ; Malikiyyah dan Syafi’iyyah mensyaratkannya berlandaskan kepada hukum asal yaitu wajib menetap ditempat I’tikaf kecuali hajah yang mengharuskan, juga perbuatan Nabi dan para sahabat yang senantiasa I’tikaf dimasjid berjum’ah. sedang Hanafiyyah dan Hanabilah tidak mensyaratkannya bahkan sebagian Hanabilah tetap mensunahkan untuk mendatangi jum’ah lebih awal meski berakibat lamanya waktu ia diluar masjid tempat I’tikafnya berdasar kepada keumuman ayat panggilan jum’ah dan keumuman masjid dalam ayat I’tikaf serta keumuman hadis – hadis keutamaan datang lebih awal untuk jum’ah. Menurut hemat kami pendapat pertama lebih utama sebab kuatnya dalil mereka. والله أعلم

5 ـ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ: « لَيْسَ عَلَى المُعْتَكِفِ صِيَامٌ إِلاَّ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ ». رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ، وَالْحَاكِمُ، وَالرَّاجِحُ وَقْفُهُ أَيْضاً.

Terjemah hadis ke 5 : dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : (( Tidaklah wajib puasa atas orang yang I’tikaf kecuali jika ia bernadzar untuk berpuasa )) riwayat Ad Daruquthniy dan Al Hakim namun yang benarnya bahwa hadis ini juga mauquf.
Takhrij hadis : Sunan Daruquthniy ( 2 / 199 ) dan Mustadrok Hakim ( 1 / 439 ) keduanya dari jalan Abdulloh bin Muhammad Ar Romliy berkata : Muhammad bin Yahya bin Abi Umar menghadiskannya kepadaku berkata : Abdul ‘Aziz bin Muhammad menghadiskannya kepadaku dari Abu Sahl paman Malik bin Anas dari Thowus dari Ibnu Abbas dst. Namun Daruquthniy menyatakan bahwa yang benar adalah mauquf. Bukti akan kebenaran ucapan Daruquthniy adalah riwayat Al Baihaqiy dalam Sunan Kubro ( 4 / 318 ) dari jalan Abu Bakr Al Humaidiy dari Abdul ‘Aziz bin Muhammad dari Abu Sahl dari Thowus dari Ibnu Abbas secara mauquf. Terlebih lagi bahwa Abdulloh Ar Romliy dikomentari oleh penulis Bayanul Wahm ( 3 / 442 ) sebagai rowi yang majhul tidak dikenal sehingga ini berkonsekwensi ditolaknya hadisnya ini. Kami juga mendapati bahwa Asy Syaikh Abul Habib hafidzohulloh juga melemahkan hadis ini. والله أعلم
Fawaid fiqhiyyah hadis ini telah kita kaji dihadis sebelumnya.
وصلى الله على محمد وآله وصحبه وسلم والله أعلم والحمد لله .

Selesai disusun pada ba’da Dzuhur
Hari selasa, 21 Romadhon 1431 H.

SERIAL FAWAID ILMU IV

MEWASPADAI KEBODOHAN DAN FANATISME

Berkata Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim rohimahulloh :

وتعرَّ من ثوبين من يلبسهمــا **** يلقـى الردى بمذمة وهــوان
ثـوب من الجهل المركب فوقــه **** ثـوب التعصب بئست الثوبان
Dan telanjanglah engkau dari dua bentuk pakaian sesiapa mengenakannya
Niscaya dia akan terlempar kepada kejelekan dengan tercela lagi terhina
Pakaian kebodohan yang berlipat – lipat yang dilapisi atasnya
Pakaian fanatisme, betapa jeleknya kedua pakaian tersebut.
Berkata Al ‘Allamah Sholih Al Fauzan hafidzohulloh : “ ini adalah nasehat lainnya dari beliau, beliau berkata : telangjanglah engkau dari pakaian kebodohan dan pakaian fanatik namun hendaknya maksud tujuanmu adalah mencari kebenaran, jangan sekali – kali tujuanmu adalah mempertahankan pendapatmu. Demikian halnya, telanjanglah engkau dari kebodohan yaitu dengan engkau menempuh jalan ilmu ( belajar ) sebab kebodohan merupakan penyakit akut yang mematikan dan seorang yang bodoh tidaklah boleh ia mendebat ahli batil sebab kerusakan yang ia timbulkan lebih banyak daripada perbaikannya.
Kebodohan maknanya adalah tidak mengetahui kebenaran, ia terklasifikasikan kepada dua bentuk :
Pertama adalah kebodohan yang berlipat, orang yang kebodohannya berlipat adalah orang yang bodoh namun ia tidak tahu kalau dirinya bodoh bahkan sebaliknya dia sangka dirinya adalah alim. Ini merupakan bentuk kebodohan yang paling fatal, inilah yang dimasa kita ini disebut dengan at ta’alum yaitu seseorang yang berpenampilan atau mendakwakan bahwa dirinya alim padahal ia tidak berilmu.
Kedua adalah kebodohan yang ringan, yaitu seorang yang bodoh namun ia menyadari kalau dirinya bodoh. Artinya, jika ia menyadari bahwa dirinya bodoh niscaya dia akan berusaha untuk belajar._selesai dari [ at Ta’liq al Mukhtashor ‘alal Qoshidah An Nuniyyah karya Al ‘Allamah Sholih Al Fauzan hafidzohulloh ( 1 / 79 ) ]

Kamis, 19 Agustus 2010

BEDA SALAFY . . .

BEDA SALAFY DENGAN MUBTADI’
( dari taqrir Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah )

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh : “ Barang siapa yang berpendapat dan bersikap berdasar al Kitab, as Sunnah dan Ijma’ maka dia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ”. [ Majmu’atul Fatawa li Syaikhil Islam 3 / 346 ]
Penjelasan : Dalil akan taqrir yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam sebagai patokan tentang siapa yang berhak sebagai barisan Ahlus Sunnah diantaranya adalah ;
Firman Alloh

{ واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا نعمة الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا وكنتم على شفا حفرة من النار فأنقذكم منها كذلك يبين الله لكم ءاياته لعلكم تهتدون }

Artinya : { Dan berpeganglah kalian bersama – sama dengan tali Alloh serta jangan kalian berpecah belah. Dan ingatlah nikmat – nikmat Alloh atas kalian yaitu tatkala kalian dahulu saling bermusuhan maka Alloh menyatukan hati kalian sehingga kalian dengan nikmat dariNya menjadi bersaudara, tatkala dahulu kalian berada ditepi jurang neraka maka Dia menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Alloh menjelaskan kepada kalian ayat – ayatnya semoga kalian menjadi orang – orang yang mendapat hidayah }
Didalam ayat tersebut terdapat kewajiban untuk berpegang dengan al Kitab dan as Sunnah serta al Jama’ah dan terdapat keharoman berpecah belah yaitu dengan melanggar apa yang telah Alloh wajibkan tersebut.
Berkata al Imam al Mubajjal Ahmad bin Hambal rohimahulloh : “ Ushul as Sunnah disisi kami adalah berpegang dengan perkara yang dahulu para sahabat Muhammad rodhiyallohu ‘anhum berada diatasnya, meneladani mereka dan meninggalkan berbagai bid’ah ”. [ Ushulus Sunnah riwayat ‘Abdoos bin Malik ]
Berkata pula al Imam al Hasan bin Ali al Barbahariy rohimahulloh : “ Sedangkan asas yang dibangun diatasnya al Jama’ah maka adalah para sahabat Muhammad rodhiyallohu ‘anhum, mereka itulah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ”. [ Syarhus Sunnah lil Barbahariy halm. 16 tartib Abi Sufyan Zaila’iy ]
Dalil lain akan taqrir diatas adalah firman Alloh

{ يأيها الذين آمنوا اتقوا الله وكونوا مع الصادقين }

Artinya : { Wahai orang – orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Alloh dan jadilah kalian bersama para shodiqin }
Didalam ayat diatas terdapat kewajiban atas kaum mukminin untuk mengambil dien ini dari para shodiqin dalam semua bidang dien ini baik ilmu maupun amal, baik akidah, ibadah, mu’amalah maupun akhlak bahkan pergerakan dakwah dsb dari urusan – urusan dien. Para shodiqin yang dimaksud adalah Rasululloh dan para sahabat beliau sebagaimana datang tafsirnya dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma [ lihat Zadul Masir karya Ibnul Jauziy dan tafsir Ibnu Katsir rohimahumalloh terhadap ayat diatas ]._selesai.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh : “ Adapun bid’ah yang menjadi patokan sehingga seseorang menjadi ahlil ahwa’ ( mubtadi’_pent. ) maka adalah bid’ah yang telah masyhur dikalangan Ahlul Ilmi was Sunnah penyelisihannya terhadap al Kitab dan as Sunnah semisal bid’ahnya khowarij, rofidhoh, qodariyyah dan murji’ah ”. [ al Fatawa al Kubro 4 / 193 ]
Beliau juga berkata rohimahulloh : “ Syi’ar ahlil bida’ adalah meninggalkan beragama yang dibangun dengan madzhab as Salaf ”. [ Majmu’atul Fatawa 4 / 155 ]
Penjelasan : Dalil akan taqrir patokan kapan seseorang menjadi mubtadi’ diatas diantaranya adalah dalil – dalil yang telah disebut diatas berikut penjelasannya dari sisi mafhum, diantaranya juga adalah mafhum dari firman Alloh

{ فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله ورسوله إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر } الآية

Dimana didalam ayat ini terdapat kewajiban atas kaum mukminin untuk mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan diantra mereka kepada al Kitab dan as Sunnah baik perkara ibadah, mu’amalah diantara sesama maupun perkara lain terlebih perkara – perkara besar yang menjadi asas dien.
Dalil lain adalah firmanNya

{ وإذا جائهم أمر من الأمن أو الخوف أذاعوا به فلو ردوه الى الرسول والى أولى الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم ولولا فضل الله عيلكم ورحمته لاتبعتم الشيطان إلا قليلا }

Ayat ini selain mengokohkan makna ayat sebelumnya diatas ia juga mewajibkan atas kaum mukminin untuk mengembalikan setiap perkara kepada para Ahlul Ilmi Was Sunnah yang merupakan ulil amri dalam ayat ini. Faedah lainnya dari ayat ini bahwa berpegang dengan al Kitab, as Sunnah dan al Jama’ah merupakan kemuliaan dan rohmah dari Alloh sedang meninggalkannya dan menyelisihinya berarti mengekor syaiton, betapa banyaknya orang yang terjerumus dalam kubangan ini wallohul musta’an.
Sebaliknya mubtadi’ maka ia menyelisihi ayat – ayat diatas sebab timbangan mereka dalam mengembalikan perkara adalah hawa nafsu atau kekelompokan dan kehizbiyahannya, siapa yang menyetujui maka dia kawan sedang siapa yang menyelisihi maka dia lawan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh : “ Oleh karenanya dimaklumi bahwa diantara syiar ahli bida’ adalah melahirkan kebid’ahan sebuah pendapat ataupun sikap kemudian mengharuskan dan memaksa orang lain untuk menyetujui dan mengikutinya. Mereka membangun kecintaan dan pembelaan diatasnya serta membangun kebencian dan permusuhan diatasnya pula sebagaimana khowarij menetapkan kebid’ahannya kemudian mengharuskan orang lain untuk menyetujui dan mengikutinya serta membangun perwalian dan permusuhan diatasnya ”. [ Majmu’ul Fatawa 6 / 338 ]
Kita tutup penjelasan taqrir ini dengan firman Alloh

{ ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسائت مسيرا }

Ayat yang agung ini menjelaskan akibat yang akan menimpa ahlul bida’ yang meninggalkan dan menyelisihi al Kitab, as Sunnah dan Ijma’ jika mereka tidak segera bertaubat kembali kepada Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebelum kematian menghampirinya yaitu ia akan dibiarkan oleh Alloh diatas kebid’ahannya kemudian diakherat dikembalikan keneraka.
Dan dengan mutiara yang terucap dari al Imam al Barbahariy rohimahulloh : “ Ketahuilah ! bahwa keluar dari jalan ini ( manhaj Ahlus Sunnah Wal Jam’ah_pent. ) pada dua kejadian : kejadian pertama, seseorang yang tergelincir dari jalan ini sementara ia tidak mencari – cari kecuali kebaikan maka ketergelincarannya tidak boleh diikuti sebab mengikutinya adalah kebinasaan. Kedua, seseorang menentang kebenaran serta menyelisihi orang – orang sebelumnya dari para muttaqin maka orang ini adalah sesat lagi menyesatkan, ia adalah syaiton yang durhaka ditengah umat ini, wajib atas orang yang mengetahuinya untuk memperingatkan manusia darinya dan menjelaskan kepada manusia akan kisah orang ini supaya tidak ada seorangpun dari umat ini yang terjerumus kedalam bid’ahnya sehingga ia binasa ”. [ Syarhus Sunnah halm. 24 ]
dan dari syaikhu masyayikhina Syaikhul Muhaddits Muqbil bin Hadi rohimahulloh : “ Adapun pertanyaan kapankah seseorang dihukumi keluar dari manhaj as Salaf yang sholih maka jawabnya adalah dengan ia menunggangi bid’ah – bid’ah serta keluar dari manhaj salafus sholih berpindah kepada tasawwuf atau tasyayyu’ atau merayakan acara - acara maulid atau berlapang dada menerima undang – undang konfensional atau juga kepada perwalian yang sempit seperti kekelompokan hizbiyyah yang tidak lain ia adalah perwalian yang sempit sehingga ia membangun perwalian dan permusuhan diatas kekelompokan hizbiyahnya ”. [ Tuhfatul Mujib halm. 111 ]_selesai.

والله أعلم وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم والحمد لله

Pertanyaan : apa boleh untuk disimpulkan dari pemaparan diatas bahwa seorang salafy tidak akan dihukumi menjadi mubtadi’ sebab ia bermudah – mudahan dalam as Sunnah ?
Jawab : kita perlu meminta perincian apakah as Sunnah yang dimaksudkan dalam pertanyaan tsb ? jika yang dimaksudkan adalah as Sunnah dalam pembahasan – pembahasan kitab I’tiqod maka akan menjawab anda al imam asy Syathibiy rohimahulloh : “ firqoh – firqoh yang menyimpang ini menjadi firqoh tidak lain sebabnya adalah mereka menyelisihi al Firqoh an Najiyah dalam perkara yang mendasar, perkara kaedah asasi dari syari’ah ini. Bukan dalam perkara cabang dari cabang – cabang yang ada sebab penyelisihan dalam perkara cabang lagi ganjil ini tidak akan melahirkan perpecahan dan kekelompokan. Tidak lain perpecahan itu munculnya adalah dari penyelisihan perkara asas yang mendasar yang merangkum dan menghusung banyak perkara cabang yang biasanya perkara ini tidak terkhususkan dalam sebagian bab saja atau sebagian tempat saja ( dari bab – bab syareat_pent. )”. [ al I’tishom 2 / 712 ]
Dimaklumi bahwa diantara as Sunnah ada yang merupakan kaedah asasi yang mendasar dan ada yang merupakan cabang, bahkan cabangpun bertingkat – tingkat. Sebab as Sunnah dalam pembahasan ini maknanya adalah : “ thoriqoh yang dahulu Rasululloh serta para sahabatnya berada diatasnya baik perkara ilmiyyah maupun amaliyyah ” [ dari rekaman pelajaran syarh Aqidatus Salafi Ash-habil Hadits oleh Syaikhul Fadhil Muhammad bin Hadi hafidzohulloh ].
Berkata Syaikhul Hafidz Ibnu Rojab al Hambali rohimahulloh : “ as Sunnah adalah thoriqoh yang ditempuh sehingga artinya as Sunnah mencakup berpegang terhadap apa yang dahulu Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam dan para khulafa’ rosyidin berjalan diatasnya dari berupa perkara – perkara I’tiqod, amal maupun ucapan, inilah as Sunnah yang sempurna ”. [ Jami’ul ‘Ulum_syarah hadis al ‘Irbadh halm. 249 ]
Berkata al Imam al Barbahariy rohimahulloh : “ Ketahuilah ! bahwa al Islam adalah as Sunnah dan as Sunnah adalah al Islam, tidak akan tegak salah satunya kecuali dengan yang lainnya ”. [ Syarhus Sunnah halm. 15 ]
Diantara contohnya adalah ucapan al Imam al Mubajjal Ahmad bin Hambal rodhiyallohu ‘anhu : “ as Sunnah disisi kami adalah peninggalan – peninggalan Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam … kemudian diantara as Sunnah yang lazimah yang bila ada seseorang meninggalkan satu bentuk saja darinya secara tidak mengimaninya atau tidak menerimanya maka ia bukan termasuk dari ahlinya ”. [ Ushulus Sunnah riwayat Abdoos ] Perhatikan ! beliau menghukumi orang yang meninggalkan satu bentuk as Sunnah saja sebagai bukan Ahlus Sunnah.
Pertanyaannya apatah tergambar ada seorang alim dan da’I salafy yang bermudah – mudahan dalam as Sunnah ini ? Wallohu a’lam

وعليك بالتفصيل والتبيين *** فالإجمال والإطلاق دون بيان
قد أفسدا هذا الوجود وغير *** الأذهان والأديان كل زمان

Minggu, 15 Agustus 2010

SEPUTAR RAMADHAN II

JADWAL KAJIAN AHLUS SUNNAH PONTIANAK SELAMA BULAN RAMADHAN
BERSAMA UST. ABU UNAISAH hafidzohulloh

1. KITAB MANHAJUL ANBIYA FI TAZKIYATUN NUFUS
[ karya Syaikh Abu Usamah Salim al Hilaliy hafidzohulloh ]
setiap hari jam 17 : 00 - maghrib disurau H. Abdurrahman Gg. Kusuma Wijaya

2. TAFSIR IBNU KATSIR JUZ 29 PLUS TAJWID AL JAZARIYYAH
setiap hari ba'da tarawih disurau H. Abdurrahman Gg. Kusuma Wijaya

3. FAT-HUL MAJID LISYARHI KITABIT TAUHID
[ karya Syaikh Abdurrohman bin Hasan rohimahulloh ]
setiap hari jum'at ba'da tarawih disurau H. Abdurrahman Gg. Kusuma Wijaya

4. AQIDATUS SALAFI ASH-HABIL HADITS
[ karya Syaikh Abu Utsman Isma'il bin Abdurrohman Ash Shobuniy rohimahulloh ]
setiap hari Ahad jam 10 : 00 - dzuhur dimasjid PITI Jl. Tanjung Pura ( pa/pi )

SEPUTAR RAMADHAN

SHOLAT TARAWIH
SEBAIKNYA DUA – DUA ATAU EMPAT – EMPAT ?

Para ulama satu pendapat bahwa sholat tarawih hukumnya adalah sunnah bukan wajib, namun mereka berbeda pendapat pada beberapa hal seputarnya diantaranya adalah ; yang utama berjamaah ataukah sendiri – sendiri ? berapakah bilangan rokaatnya ? cara pelaksanaannya yang utama dua rokaat – dua rokaat atau empat rokaat – empat rokaat ? maka permasalahan yang disebut terakhir itulah yang akan menjadi topik sajian kali ini, semoga anda dapat menikmati sajian ini dan mengambil manfaatnya amin.
Setidaknya dalam masalah ini terdapati dua pendapat ; pertama yang utama cara pelaksanaan sholat tarawih adalah dua – dua. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama yang difatwakan oleh imam Ahmad bahkan Abu Bakr al Hishniy dari kalangan Syafi’iyyah dalam Kifayatul Akhyar menyatakan : “ seandainya sholat tarawih ini dilaksanakan secara empat rokaat dengan satu salam maka sholat tarawihnya tidaklah sah ”. Para ulama yang berpendapat dengan pendapat pertama ini berdalilkan dengan beberapa dalil diantaranya :
1. hadis Abdulloh bin Umar

سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل فقال : (( صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى ))

Bahwa Rasululloh ditanya tentang sholat malam maka beliau menjawab : (( sholat malam adalah dua - dua, jika salah satu dari kalian khawatir akan datangnya subuh maka hendaknya ia sholat satu rokaat sebagai witir atas sholat – sholatnya )).
Hadis tersebut adalah shohih riwayat al Bukhoriy dalam shohihnya no. 990 dan Muslim dalam shohihnya no. 749 yang didalam shohih Muslim terdapat lafadz tambahan diakhir hadisnya

فقيل لابن عمر : ما مثنى مثنى ؟ قال : أن تسلم في كل ركعتين

Maka ditanyakan kepada Ibnu Umar : apakah makna dua – dua itu ? beliau menjawab : engkau salam disetiap dua rokaat.
Sisi pendalilan dari hadis adalah dari beberapa sisi diantaranya ; pertama tekstual hadis. Kedua bahwa jawaban Rasululloh adalah diposisi bayan sehingga tidak akan menyisakan pertanyaan. Ketiga tafsir dari rowi hadis yaitu Ibnu Umar sementara rowi akan lebih tahu terhadap apa yang dia riwayatkan. Keempat perkataan Rasululloh kepada umatnya sehingga tidak mengandung unsur kekhususan atas beliau wallohu a’lam.
2. hadis Abdulloh bin Umar

(( كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلى من الليل مثنى مثنى ويوتر بركعة من آخر الليل ))

(( Rasululloh senantiasa melaksanakan sholat malam secara dua – dua dan melakukan witir dengan satu rokaat diakhir malam )).
Hadis ini adalah shohih diriwayatkan oleh al Bukhoriy ( lihat Fat-hul Bari 2 / 477 ) dan Muslim dalam shohihnya no. 749.
Sisi pendalilan dari hadis adalah perbuatan nabi menunjukkan akan kesunnahannya dan jika hal itu yang menjadi kebiasaan beliau maka menunjukkan bahwa itulah sunnah yang ditekankan.
3. hadis Aisyah Ummul Mukminin


(( كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يصلي فيما بين أن يفرغ من صلاة العشاء [وهي التي يدعو الناس العتمة] إلى الفجر إحدى عشرة ركعة، يسلم بين كل ركعتين ويوتر بواحدة...)) الحديث

(( Rasululloh senantiasa melakukan sholat antara seusai dari sholat Isya’ yang biasa disebut ‘atamah dikalangan manusia hingga datangnya fajar adalah sebelas rokaat secara salam disetiap dua rokaatnya kemudian beliau witir dengan satu rokaat dst )).
Hadis ini shohih diriwayatkan oleh Muslim dalam shohihnya no. 736
Sisi pendalilannya adalah serupa dengan hadis sebelumnya bahkan dalam hadis ini terdapat keterangan tambahan sebagai perincian atas hadis Aisyah yang akan datang wallohu a’lam.
Pendapat kedua dalam masalah ini menyatakan yang utama adalah empat rokaat – empat rokaat. Ini merupakan pendapat sekelompok dari ahli ilmu yang maknanya adalah salam disetiap empat rokaat. Mereka berdalilkan dengan hadis Aisyah Ummul Mukminin :

مَا كَانَ رَسُولُ الله صلّى الله عليه وسلّم يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ علَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أرْبَعاً، فَلاَ تَسْأَلْ عنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثمَّ يُصَلِّي أَرْبَعاً، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً، قَالَتْ عَائِشَةُ: فقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ قَالَ: « يَا عَائِشَةُ، إنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي »

Berkata Aisyah : “ tidaklah Rasululloh menambah dari sebelas rokaat baik dibulan romadhon atau diluar romadhon, beliau sholat empat maka jangan engkau tanya akan indah dan panjangnya sholat beliau kemudian sholat empat maka jangan engkau tanya akan indah dan panjangnya sholat beliau kemudian sholat tiga ” Aisyah bertanya : Wahai Rasululloh apakah engkau tidur sebelum engkau witir ? maka Rasululloh menjawab : (( wahai Aisyah sesungguhnya kedua mataku tidur namun hatiku tidak )).
Hadis ini shohih diriwayatkan oleh al Bukhoriy dalam shohihnya no. 1147 dan Muslim dalam shohihnya no. 738.
Sisi pendalilan dari hadis adalah tekstual bilangan empat – empat – tiga.
Namun sisi pendalilan ini dibantah oleh pemegang pendapat pertama dengan menyatakan bahwa tekstual hadis ini diperinci dengan hadis Aisyah yang lain yang menyatakan dengan tegas salam disetiap dua rokaatnya dan witir satu rokaat yaitu pada hadis sebelumnya.
Kami tambahkan disini, bahkan sebagian ulama semisal Ibnu Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumti’ menjadikan hadis – hadis yang terdapat perincian salam sebagai patokan untuk menghukumi hadis – hadis yang hanya menyebut bilangan tanpa menyebut salam wallohu a’lam.
Kesimpulan : pendapat yang rojih yang kami ikuti dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu salam disetiap dua rokaat menilik kepada kuatnya dalil dan sisi pendalilan serta terbebasnya dalil – dalil tersebut dari bantahan yang berarti.

والله أعلم وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم والحمد لله

MENARA SUNNAH KHATULISTIWA

Artikel-artikel islam ilmiyah dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab, Insya Allah diasuh oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari