Selasa, 07 September 2010

SHOLAT 'IED DIJALAN SAH ?

HUKUM SHOLAT ‘IED DIJALAN RAYA

Sholat ‘ied, tidak diragukan lagi bahwa ia merupakan syi’ar agung dalam dien Islam, untuknya disyareatkan seluruh kaum muslimin hadir bahkan para wanita yang haid sekalipun, disaksikan didalamnya takbir, dzikir – dzikir kepada Alloh dan doa yang diaminkan oleh jamaah serta banyak lagi dari berbagai kebaikan yang lainnya. Terlebih ‘iedul fitri yang merupakan hari berbahagianya hamba – hamba Alloh yang berpuasa sebelum mereka menemui kebahagiaan yang jauh tiada bandingnya nanti disaat menghadap kepada Maha Penciptanya yang mereka berpuasa sebulan penuh karenaNya semata. Dari semua perkara diatas tak sedikit ulama kita rohimahumulloh baik yang telah wafat atau masih hidup yang berpendapat bahwa sholat ‘ied hukumnya adalah wajib ‘ain ya’ni wajib atas setiap muslim.
Diantara hukum yang berkait dengan syiar yang agung ini adalah disunnahkannya untuk melangsungkannya dilapangan terbuka atau yang dikenal dikalangan para pakar fikih dengan sebutan al musholla kecuali bagi penduduk Makkah maka yang sunnah bagi mereka adalah dimasjidil Harom.
Berkata Abu Sa’id Al Khudzriy rodhiyallohu ‘anhu :

(( كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى فأول شيء يبدأ به الصلاة . . . )) الحديث

Terjemahannya : (( Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam senantiasa keluar dihari ‘iedul fitri dan adha menuju al musholla maka perkara pertama yang beliau mulai adalah sholat … )) al hadits riwayat Al Bukhoriy – Muslim.
Berkata Syaikhul Islam rohimahulloh : “ tidaklah ada seorangpun dari kaum muslimin yang mengerjakan sholat ‘ied dimasjid kabilahnya dan tidak juga dirumahnya ”._[ Majmu’ul Fatawa ( 4 / 480 ) dinukil dari Risalah Ust. Abu Zakariya hafidzohulloh ( 20 ) ].
Diantara sekian kaum muslimin yang kami dengar berita tentang mereka dihari ‘ied ini dikota pontianak adalah kebiasaan sebagian mereka menyelenggarakan sholat ‘ied dijalan raya, sementara dibeberapa tempat terdapati penyelenggaraannya dilapangan atau halaman terbuka. Maka hal ini menjadi letak pertanyaan kepada kami yang menuntut adanya penjelasan wabillahit taufiq.
Berkata Al Imam ‘Alauddien Al Mardawiy Al Hambaliy rohimahulloh : “ ketiga, dikecualikan dari pernyataan penulis ( Al Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh ) dan selainnya dari ulama yang menyebutkan ( hukum sholat ditempat – tempat yang dilarang ) secara mutlak adalah sholat jum’at dan semisalnya dijalan raya atau ditepi jalan raya maka ia adalah sah dalam kondisi terpaksa, ini pendapat yang dinashkan ( oleh Al Imam Ahmad rohimahulloh ). Demikian halnya sholat diatas kendaraan dijalan yaitu sah. Inilah yang ditetapkan secara pasti oleh penulis ( Al Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh ) didalam kitabnya Al Mughniy juga oleh pensyarah, Al Majd didalam syarahnya, penulis Al Hawiy Al Kabir, penulis Al Furu’ dan selain mereka yaitu sah sholat Jum’at, sholat jenazah dan sholat – sholat ‘Ied serta semisalnya ketika kondisinya terpaksa dilaksanakan dijalan – jalan...”_ [ dari kitab Al Inshof karya ‘Alauddien Ali bin Sulaiman Al Mardawiy ( 3 / 494 ) maktabah syamilah ].
Mafhum dari penjelasan Al Inshof diatas bahwa jika kondisi tidak terpaksa maka tidak sah. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Al Imam Ahmad rohimahulloh.
Berkata Al Imam Abu Ya’la Al Farro’ rohimahulloh : “ letak pertanyaan : ada perbedaan riwayat ( dari Al Imam Ahmad ) jika sholat ditempat – tempat yang dilarang sholat padanya ( yang salah satunya adalah jalan raya sebagaimana akan datang haditsnya insyaalloh ) yaitu apakah batal sholatnya ( artinya tidak sah ) ?
Maka Bakr bin Muhammad menukilkan : jika sholat ditempat yang dilarang oleh Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam seperti tempat penambatan onta, pekuburan maka ia ulangi sholatnya berdasar larangan dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam untuk sholat ditujuh tempat sedang larangan menunjukkan rusaknya perkara yang dilarang.
Adapun Abul Harits : jika sholat dipekuburan atau toilet umum maka makruh. Ada yang bertanya : dia ulangi sholatnya ? beliau menjawab : jika dia ulangi maka hal itu lebih aku sukai. Tekstual dari nukilan Abul Harits ini menunjukkan bahwa mengulangi sholat tidaklah wajib sebab ia adalah tempat yang suci dari najis lagi menghadap kiblat maka shlatnyapun sah. Dalilnya adalah tempat – tempat lain selain tempat – tempat yang dilarang.
Dan Hambal : jika sholat ditempat penambatan onta dalam keadaan ia tidak mengetahui hukumnya serta tidak pula sampai kepadanya hadis larangan maka aku berharap tidak mesti atasnya mengulang sholatnya namun jika ia telah dengar hadisnya ternyata dia langgar maka ia ulangi sholatnya sebagaimana kami nyatakan dalam masalah takbir dibelakang shof sendirian yaitu jika ia tahu maka tidak sah takbirotul ihromnya namun jika tidak tahu maka sah ”._[ kitab Al Masa’il Al Qodhi Abu Ya’la Al Hambaliy ( no. 81 hal. 54 ) maktabah misykat ].
Riwayat pertama yang dinukilkan oleh Bakr bin Muhammad itulah yang masyhur didalam madzhab.
Berkata Al Imam Al Mardawiy rohimahulloh : “ Pernyataan beliau ( Ibnu Qudamah rohimahulloh ) : dan tidak sah sholat dipekuburan, toilet umum, toilet rumah, tempat penambatan onta serta tempat curian dan berkata sebagian pembesar madzhab kami bahwa hukum tempat penjagalan ternak, tempat pembuangan sampah dan jalan raya berikut atap – atapnya pun demikian. Syarh : Inilah pendapat madzhab dan para ulamanyapun berada diatas pendapat ini. Berkata penulis Al Furu’ : inilah pendapat yang masyhur dan itulah yang shohih didalam madzhab. Berkata penulis ( Ibnu Qudamah rohimahulloh ) serta yang lainnya : ini merupakan pendapat tekstual madzhab dan ini termasuk mufrodat dari beliau ( pendapat yang menyelisihi imam yang tiga ). ”_[ Al Inshof ( 2 / 489 ) ].
Senada dengan nukilan – nukilan diatas juga dinyatakan oleh Al Imam Az Zarkasyiy dalam syarah Al Khiroqiy rohimahumalloh [ ( 1 / 219 ) maktabah syamilah ].
Yang menjadi dalil madzhab dalam masalah ini selain keumuman – keumuman syareat juga adalah hadits Abdulloh bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma dengan lafadz :

نَهَى النبيُّ صلّى الله عليه وسلّم أَنْ يُصَلَّى في سبعةِ مَوَاطِنَ: المَزْبَلةِ، والمَجْزَرَةِ، وَالمَقْبَرَةِ، وَقَارِعَةِ الطريقِ، وَالحَمَّامِ، وَمَعَاطِنِ الإبلِ، وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ الله .

Terjemahannya : “ Nabi Sholallohu ‘alaihi wasallam melarang sholat ditujuh tempat yaitu tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan ternak, pekuburan, jalan raya, toilet umum dan tempat penambatan onta serta atap ka’bah ”.
Takhrijnya : Hadits tersebut diriwayatkan oleh At Tirmidziy dalam As Sunan ( 346 ) dan Ibnu Majah ( 746 ) dari jalan Zaid bin Jabiroh dari Dawud bin Al Hushoyin dari Nafi’ dari Ibnu Umar berkata dst. berkata At Tirmidziy : “ dan hadits Ibnu Umar ini sanadnya tidaklah sebegitu kuat dimana Zaid bin Jabiroh telah dikritik dari segi hapalannya ”. Demikian penilaian At Tirmidziy padahal guru beliau yaitu Al Imam Al Bukhoriy telah mengkritiknya dengan fatal dengan menyatakan : “ mungkarul hadits ” artinya matruk yaitu dalam tingkatan sangat lemah bahkan Ibnu Abdul Barr menyatakan : “ mereka sepakat bahwa ia ini lemah ”_[ Tahdzibut Tahdzib Ibnu Hajar ]. Maknanya bahwa hadits ini lemah sekali sebagaimana hal ini juga ditegaskan oleh Ma’aliy Asy Syaikh Sholih aalu Syaikh hafidzohulloh dalam syarah Bulughul Marom dimana disana beliau juga mengisyaratkan adanya dukungan dari Hadits Umar bin Al Khotob rodhiyallohu ‘anhu riwayat Ibnu Majah.
Hadits riwayat Ibnu Majah dari Umar adalah dino. ( 747 ) dengan sanad yang lemah pula dimana didalamnya terdapat Abu Sholih penulisnya Al Laits dan Abdulloh Al Umariy, keduanya sama – sama lemah. Kondisi sanad demikian ini tidak dapat dijadikan dukungan untuk menguatkan hadits Ibnu Umar. Wallohu a’lam
Kesimpulannya : derajat hadits Ibnu Umar ini adalah tetap lemah bahkan lemah sekali.
Namun bukan berarti dengan lemahnya dalil ini tidak ada pula hukum yang ditunjukkan oleh dalil tersebut, sama sekali tidak ! sebab [ tidak adanya dalil tidaklah menafikan madlul yang ditunjukkan olehnya ] dimana bisa saja hukum tersebut masuk dalam keumuman – keumuman syareat.
Dimungkinkan pendapat masyhur dalam madzhab ini mengacu kepada keumuman larangan berbuat kedzoliman terhadap siapapun termasuk kepada kafir dzimmi, mu’ahad atau musta’min dimana jalan raya adalah hak umum, mungkin juga mengacu kepada kurangnya kekhusyu’an orang yang sholat dsb [ lihat Syarah Bulughul Marom liMa’aliy Sholih Aalu Syaikh ]. Al Hasil bahwa inilah riwayat yang masyhur didalam madzhab Al Imam Ahmad.
Adapun menurut riwayat yang lain didalam madzhab ( sebagaimana dinukil dari beliau oleh Abul Harits diatas ) yang juga merupakan pendapat kebanyakan ulama maka sholat dijalan raya adalah sah disertai kemakruhan.
Dalil riwayat ini adalah keumuman hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhuma dengan lafadz :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( . . . وجعلت لي الأرض مسجداً . . . )) الحديث

Terjemahannya : Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : (( . . . dan bumi ini dijadikan bagiku sebagai masjid . . . )) al hadits riwayat Al Bukhoriy _ Muslim.
Juga keumuman hadits Abu Sa’id Al Khudzriy rodhiyallohu ‘anhu dengan lafadz :

قال النبي صلى الله عليه وسلم : (( الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ المَقْبَرَةَ وَالحَمَّامَ )) .

Terjemahannya : Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : (( bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali pekuburan dan toilet umum )).
Takhrijnya : riwayat Ahmad ( 18 / 312 ) Abu Dawud ( 492 ) At Tirmidziy ( 317 ) dan Ibnu Majah ( 745 ) berkata Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom : “ ia memiliki cacat ” yaitu keterputusan sanad berupa irsal sebagaimana diisyaratkan oleh At Tirmidziy namun Syaikhul Islam menyatakan : “ hadis ini riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Bazar serta yang lainnya dengan sanad – sanad yang bagus sedang siapa yang mengkritik keabsahannya maka ia belum meneliti seluruh jalan – jalannya ”_[ Iqtidho ( 2 / 672 ) ].
Awal hadis ini seperti hadis Jabir sebelumnya yaitu idzin untuk sholat ditempat manapun dari bumi ini yang artinya adalah sahnya sholat kemudian dalam akhir hadis ini dikecualikan dua tempat yaitu pekuburan dan toilet maka artinya tidak diizinkan. Yang dikecualikan dalam dua hadis shohih ini hanyalah dua tempat tersebut artinya jalan raya tidak termasuk sehingga boleh sholat padanya dan konsekwensinya sah namun demi melihat keumuman – keumuman syareat maka keabsahannya adalah secara makruh dalam kondisi diperlukan,inilah riwayat kedua dalam madzhab dan dirojihkan oleh Ibnu Qudamah serta Al Khiroqiy sebagaimana dinyatakan oleh Az Zarkasyiy rohimahumulloh.
Kembali kepada awal perbincangan, selayaknya bagi umat islam diPontianak dan tempat lain untuk tidak menggunakan fasilitas jalan raya sebagai tempat menyelenggarakan sholat ‘ied secara khusus sementara dihalaman – halaman terbuka juga telah diselenggarakan, terlebih lagi itulah yang mencocoki sunnah baik dari segi maksud maupun lahir. Adapun dijalan raya maka maksimalnya tidak terdapati sunnah secara khusus yang menyebut sholat ‘ied dijalan raya.

والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله

Selesai ditulis malam 29 Romadhon 1431
Oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari
Semoga Alloh mengampuninya beserta kedua orang tuanya

KHUTBAH 'IED

KHUTBAH ‘IED : SATU ATAU DUA KHUTBAH ?

Mas’alah : Apakah pendapat yang rojih dalam bilangan khutbah ‘ied yaitu satu kali ataukah dua kali khutbah ?
Al jawab : Masalah diatas terjadi silang pendapat dikalangan ulama rohimahumulloh, ada diantara mereka yang berpendapat bahwa khotib hanya berkhutbah satu khutbah tanpa ada duduk dan ada pula yang berpendapat bahwa khotib khutbah dua kali dengan ada duduk diantara kedua khutbahnya seperti khutbah jum’at bahkan ada sebagian ulama yang mengisyaratkan adanya ijma’ akan pendapat kedua ini. Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua pendapat dalam masalah ini ;
Pendapat pertama, yang sunnah bahwa khotib hanya khutbah satu kali khutbah saja. Ini merupakan pendapat Atho’ dari kalangan tabi’in bahkan beliau menghikayatkan ijma’ generasi sahabat dalam hal pendapatnya tersebut, ini pula yang menjadi pilihan sebagian masyaikh dizaman ini semisal syaikh Al Albaniy, syaikh Ibnu Utsaimin juga syaikh Yahya.
Dalil mereka diantaranya adalah tekstual dari hadis – hadis sifat sholat ied Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam seperti hadis Abu Sa’id Al Khudriy dll dimana khutbah hanya disebut secara tunggal [ tekstual hadis adalah yang pokok sehingga jika ada penafsiran lain maka dibutuhkan dalil shohih ]. Bahkan lebih terang lagi adalah hadis Jabir bin Abdillah riwayat Muslim dengan lafadz :

(( شهدت مع النبي صلى الله عليه وسلم يوم العيد فبدأ بالصلاة قبل الخطبة بغير أذان
ولا إقامة ثم قام متوكئا على بلال فأمر بتقوى الله وحث على طاعته ووعظ الناس
وذكرهم ثم مضى حتى أتى النساء فوعظهن وذكرهن )) .

Terjemahannya : (( aku menyaksikan hari ‘ied bersama Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam maka beliau memulai dengan sholat sebelum berkhutbah tanpa adzan tanpa iqomat kemudian beliau berdiri dengan berpegangan pada Bilal lalu beliau memerintahkan untuk bertakwa kepada Alloh, menyemangati untuk taat kepadaNya dan menasehati mereka serta mengingatkan mereka kemudian beliau pergi hingga mendatangi para wanita maka beliau menasehati dan mengingatkan mereka )).
Sisi kejelasan hadis ini bahwa Jabir mehikayatkan perbuatan – perbuatan Nabi dengan lafadz [ kemudian ] yang menunjukkan akan tartibnya perbuatan – perbuatan tersebut namun beliau tidak menyinggung adanya khotbah kedua selepas duduk yang padahal kalau kedua hal itu termasuk perbuatan Nabi saat tersebut tentulah tidak akan dilewatkan oleh Jabir terlebih kedua perbuatan itu ada disela – sela perbuatan yang lainnya. Sebagaimana pula mereka berdalilkan dengan ijma’ yang dihikayatkan oleh Atho’ riwayat Abdurrozaq dalam Mushonnafnya ( 5650 ) bab khuruju man madho wal khutbah wa fi yadihi ‘asho dari jalan Ibnu Juraij berkata aku bertanya kepada Atho’ dst syahidnya adalah ucapan Atho’ : “ Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak pernah duduk dimimbar hingga beliau wafat, tidak lain khutbah beliau hanyalah berdiri ” juga “ tiada lain khutbah beliau adalah satu kali dalam keadaan beliau berdiri, tiada lain mereka mengucap syahadat hanya sekali ”. Sisi hikayat ijma’nya adalah ucapan beliau mereka – mereka yaitu para sahabat bahkan beliau tegaskan diantaranya adalah Abu Bakr, Umar dan Utsman, dimaklumi bahwa ucapan tabi’in [ mereka melakukan demikian adalah termasuk hikayat ijma’ ].
Pendapat kedua, yang sunnah bahwa khotib berkhutbah dua kali khutbah dengan ada duduk diantara dua khutbahnya seperti khutbah jum’at. Ini merupakan pendapat imam madzhab yang empat juga Ibnu Hazm bahkan boleh dikata pendapat mayoritas.
Dalil mereka adalah beberapa hadis dan atsar yang terang – terang menyebut khutbah ‘ied dua kali seperti jum’at namun sayang hadis – hadis dan beberapa atas tersebut adalah lemah seluruhnya sebagaimana dinyatakan oleh An Nawawi sehingga beliau jelaskan : “ tidak lain pijakan dalam masalah ini adalah qiyas kepada jum’at ”. Namun qiyas disini bisa terdiskusikan dari beberapa sisi diantaranya : perlu ditanyakan bentuk ‘illahnya, adanya beberapa perbedaan dengan jum’ah dan bertabrakannya dengan tekstual hadis – hadis shohih diatas. Sebagaimana mereka juga berdalilkan dengan ijma’ yang diisyaratkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla namun sangkaan ini terdiskusi dari beberapa sisi diantaranya : pendapat Atho’ diatas menunjukkan ada perbedaan pendapat bukan ijma’ sebab [ ijma tidak disebut ijma jika ada ulama yang menyelisihi meski satu alim ] terlebih Atho’ hidup jauh sebelum Ibnu Hazm, diantaranya juga menyendirinya Ibnu Hazm dalam mengisyaratkan ijma’ itupun dalam Al Muhalla sementara beliau punya kitab Marotib Ijma’ secara khusus toh tidak menyebutkan masalah ini didalamnya juga Ibnul Mundzir dll dari para ahli yang berkompeten dalam mengumpulkan ijma pun tidak, diantaranya pula ucapan An Nawawiy diatas “ tidak lain pijakan dalam masalah ini adalah qiyas kepada jum’ah ” artinya jika ada ijma tentulah beliau lebih menetapkannya sebagai pijakan dibandingkan qiyas.
Menilik dari pemaparan diatas hati kami merasa lebih tenang untuk mengikuti pendapat yang dipilih oleh para ulama yang menyatakan satu khutbah saja.
والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله

JUM'ATAN JADI SUNNAH

SHOLAT JUM’AT DIHARI ‘IED

Dimungkinkan hari ‘iedul fithri tahun 1431 ini bertepatan dengan hari Jum’at, hal itu jika Romadhon genap harinya 30 hari sebab tidak terlihatnya hilal Syawwal dihari ke 29 nanti. Bahkan sebagian ormas semisal Muhammadiyyah telah memastikan hal tersebut dalam pengumumannya. Apapun yang bakal datang maka kita tunggu bersama namun akan lebih bagus jika kita mempersiapkan bekal ilmu untuk menghadapi kemungkinan tersebut sebab dalam sunnah Nabi kita sholallohu ‘alaihi wasallam terdapat hukum khusus jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, maka bitaufiqillah kita hendak menelaah meski sepintas akan hal ini wal’ilmu ‘indalloh.

PARA ULAMA BERBEDA PENDAPAT

Serasa inilah sub judul yang tepat untuk hukum sholat Jum’at dihari ‘ied jika hari ‘ied tersebut bertepatan dihari Jum’at. Setidaknya dalam masalah ini ada dua pendapat dikalangan para ulama rohimahumulloh ; Pendapat pertama, hukum Jum’at tetap wajib tidak gugur kecuali bagi orang – orang pegunungan dan pedalaman serta orang – orang yang nomaden seperti kalangan badui ditanah Arab. Ini merupakan pendapat Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah atau boleh dikata jumhur. Pendapat kedua, hukum sholat jum’at gugur bagi kaum muslimin secara umum kecuali penguasa atau yang berkewenangan biasa menyelenggarakan Jum’at maka sunnah atas mereka untuk menyelenggarakannya. Ini merupakan pendapat Hanabilah dan dirojihkan oleh syaikh Taqiyuddien.

DALIL DAN ALASAN MASING – MASING

Perkara yang dimaklumi bahwa kita beribadah adalah dengan dalil dari al Kitab atau as Sunnah atau Ijma’ atau Qiyas yang shohih bukan dengan pendapat seseorang setinggi apapun keilmuannya. Demikian pula dengan melihat dalil dan alasan setiap pemilik pendapat kita akan lapang dada dalam menyikapi perbedaan ini.
A. Dalil dan alasan Jumhur diantaranya adalah : hadis Utsman bin ‘Affan rodhiyallohu ‘anhu bahwa beliau berkata :

(( اجتمع في يومكم عيدان فمن أحب من أهل العالية أن ينتظر الجمعة فلينتظرها ومن أحب أن يرجع فقد أذنت له ))

Terjemahannya : (( Dua hari raya telah berkumpul ditengah – tengah kalian maka barang siapa dari penduduk pegunungan atau pinggiran yang hendak menantikan sholat jum’at maka tunggulah sedang barang siapa yang ingin kembali maka aku telah mengijinkan baginya )).
Hadis diatas shohih diriwayatkan oleh Al Bukhoriy dalam shohihnya kitabul Adhohi mauquf atas Utsman.
Makna hadis tersebut bahwa Utsman bin ‘Affan akan tetap menyelenggarakan sholat jum’at bersama penduduk kota sedangkan penduduk pinggiran atau pegunungan maka beliau ijinkan mereka untuk tidak menghadiri sholat jum’at.
Sisi pendalilan dari hadis diatas bahwa Utsman bin ‘Affan mengucapkan ucapannya tersebut dihadiri oleh para sahabat namun tidak diriwayatkan ada dari antara sahabat yang mengingkarinya menunjukkan bahwa itu menjadi ijma’ mereka. Sebagian ulama menyatakan bahwa [ ijma’ sukuti adalah hujjah ].
Alasan lain atas pendapat mereka diantaranya bahwa sholat jum’at adalah fardhu ‘ain secara ijma’ sedang sholat ‘ied maka hukumnya menjadi letak silang pendapat dikalangan ulama sehingga tidaklah boleh sesuatu yang telah disepakati hukumnya gugur oleh sesuatu yang masih diperselisihkan hukumnya sebagaimana kaedah menyatakan [ jika bertabrakan antara dalil qoth’iy dengan dzonniy maka yang qoth’iy dirojihkan ].
Mereka juga beralasan bahwa dalil – dalil yang menunjukkan gugurnya sholat jum’at kecuali bagi penguasa adalah dalil – dalil yang cacat dari segi sanadnya. Sementara kaedah menyatakan [ dalil lemah tidak dapat dipakai sebagai hujjah ].
B. Dalil dan alasan Hanabilah : mereka memiliki beberapa dalil dari sunnah juga dari atsar sahabat atas pendapat mereka diantaranya ;
1. Hadis Zaid bin Arqom rodhiyallohu ‘anhu, bahwa beliau berkata :

(( صلّى النبي صلى الله عليه وسلم العيد ثم رخص في الجمعة فقال : { من شاء أن يصلي فليصل } )).

Terjemahannya : (( Bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sholat ‘ied kemudian beliau memberikan keringanan dalam sholat jum’at, beliau bersabda { Barang siapa ingin sholat jum’at maka silakan sholat jum’at } )).
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad ( 4 / 372 ) Abu Dawud ( 1070 ) Ibnu Majah ( 1310 ) dan Nasa’iy ( 3 / 194 ) juga al Hakim dalam Mustadrok ( 1 / 288 ) beliau berkomentar tentangnya : “ ini adalah hadis yang sanadnya shohih namun tidak ditakhrij oleh keduanya yi. Al Bukhoriy – Muslim ” disetujui oleh Dzahabiy. Namun didalam sanadnya terdapat seorang perowi yang bernama Iyas bin Abi Romlah seorang tabi’in yang diperselisihkan keadaannya oleh para pakar jarh wa ta’dil, seperti dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Tahdzibnya : “ Dimasukkan dalam barisan ats tsiqot oleh Ibnu Hibban namun Ibnul Mundzir menilai ia adalah rowi yang majhul dan disetujui oleh Ibnul Qoththon ”. Toh demikian hadis ini dihukumi shohih oleh sebagian ulama diantaranya Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya ( 1464 ) juga oleh syaikh Sholih aalu Syaikh dalam syarah Bulughul Maromnya dengan dukungan hadis Abu Huroiroh yang akan datang.
Makna hadis bahwa Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshoh ( keringanan ) bagi kaum muslimin untuk meniggalkan sholat jum’at dihari ‘ied kecuali bagi siapa yang ingin melakukannya.
Sisi pendalilan : bahwa hadis ini tegas menyatakan gugurnya kewajiban sholat jum’at dihari ‘ied dan berubah menjadi sunnah sebab kaedah menyatakan [ adanya kebebasan memilih sebuah amal menunjukkan amalan tersebut sunnah ]. Sebagaimana pula bahwa hadis ini mengisyaratkan bahwa hukum sholat ied adalah wajib sebagaimana jum’at sehingga ada rukhshoh sebab kaedah menyatakan [ rukhshoh hanyalah ditujukan kepada perkara wajib ].
2. Hadis Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( قد اجتمع في يومكم هذا عيدان فمن شاء أجزأه عن الجمعة وإنا مجمعون ))

Terjemahannya : Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : (( dua ‘ied telah berkumpul dihari kalian ini, barang siapa mau maka sholat iednya telah mencukupinya dari sholat jum’at namun kami akan menyelenggarakan sholat jum’at )).
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud ( 1071 ) dan Ibnu Majah ( 1311 ) dengan sanad diadalamnya terdapat perowi yang lemah yaitu Baqiyyah bin al Walid, berkata al Baihaqiy tentangnya : “ mereka bersepakat bahwa Baqiyyah tidak bisa dipakai sebagai hujjah ” sebagaimana dinukilkan dalam Tahdzibnya Ibnu Hajar. Maka hadis ini lemah sanadnya namun sebagaimana telah dijelaskan bahwa syaikh Sholih hafidzohulloh berpandangan ia dan hadis Zaid diatas bisa saling menguatkan.
Makna hadis ini sama dengan yang sebelumnya.
Sisi pendalilannya bahwa hadis ini menegaskan akan gugurnya kewajiban sholat jum’at. Sebagaimana pula bahwa hadis ini menjelaskan disunnahkannya bagi penguasa untuk menyelenggarakan sholat jum’at sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut sehingga berdasar kaedah [ perbuatan Nabi menunjukkan sunnah ] maka iapun sunnah.
Adapun atsar sahabat maka diantaranya adalah persetujuan Ibnu Abbas akan perbuatan Ibnu Zubai yang tidak menyelenggarakan sholat jum’at dihari ‘ied, beliau menyatakan : “ Ibnu Zubair mencocoki sunnah ”.
Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Dawud serta Nasa’iy dan dishohihkan oleh al Hakim dalam Mustadroknya disetujui pula oleh Dzahabiy ( 1 / 296 ).
Sisi pendalilan bahwa ucapan Ibnu Abbas tersebut maksudnya adalah mencocoki sunnah Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam sebab [ ucapan shohabiy “ as sunnah ” maka artinya adalah sunnah Rasululloh ] sehingga tidak sholat jum’at dihari ‘ied adalah sunnah sebagaimana mengerjakannya juga sunnah.

DISKUSI DALIL & ALASAN MASING – MASING

A. Dalil yang dipakai oleh Jumhur yaitu hadis Utsman bin Affan serta dakwaan ijma’ maka terdiskusikan dengan beberapa sisi diantaranya : bahwa tetapnya hukum terhadap penduduk pinggiran juga meluas kepada seluruh umat selain mereka sebab tidak ada penghususan dari Rasululloh untuk mereka berdasar kaedah [ tetapnya hukum atas sebagian umat maka meluas kepada seluruh umat kecuali ada dalil penghususan ] dan ucapan Utsman bin Affan dengan menyebut penduduk pinggiran secara khusus tidak dapat diterima sebagai dalil pengkhususan sebab maksimalnya itu adalah ijtihad beliau, hal ini berdasar kaedah [ tidak ada ijtihad dihadapan nash ] sementara nash dari Rasululloh menunjukkan ta’mim tidak ada penghususan.
Adapun alasan bahwa itu ijma maka ini adalah jenis ijma sukuti sementara kaedah menyatakan [ ijma’ sukuti bukanlah hujjah ] bagaimana sementara ada sahabat lain yang berbeda amal dengan Utsman bin Affan dalam masalah ini ?.
Adapun alasan bahwa secara qoth’iy hukum jum’at adalah wajib sedang hukum sholat ‘ied adalah dzonniy maka terbantahkan dengan kita menyatakan sedari awalnya bahwa hukum sholat ‘ied adalah wajib secara qoth’iy meskipun nisbiy sebab [ penetapan qoth’iyyahnya ataupun dzonniyyahnya sebuah dalil adalah nisbiy ].
Adapun alasan bahwa dalil – dalil yang menunjukkan gugurnya kewajiban sholat jum’at dari segi sanadnya adalah lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah maka terbantahkan dengan alasan bahwa lemahnya dalil – dalil tersebut adalah bentuk lemah yang masih ditoleransi untuk naik kederajat hasan lighoirihi sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Demikian pula terbantahkan dengan adanya sebagian ulama hadis yang telah menshohihkannya.
B. Dalil yang dipakai oleh Hanabilah terdiskusikan dari sisi derajat sanadnya namun hal ini telah dibantah dengan penjelasan yang telah lalu.

PENDAPAT YANG KUAT
Setelah melihat, memaparkan dan menimbang dalil – dalil berikut diskusinya maka yang nampak kuatnya adalah pendapat Hanabilah yang menyatakan gugurnya kewajiban sholat jum’at dan berubah kepada sunnah. Wallohu ‘alam.
Pendapat ini juga dipilih oleh syaikh Taqiyyuddin seperti dalam Majmu’ul Fatawa ( 24 / 211 dst ) juga al qodhi Asy Syaukaniy dalam Durorul Bahiyyahnya.

SHOLAT DZUHUR TETAP WAJIB
Berkata syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh : “ apabila orang – orang telah menghadiri sholat ‘ied maka telah tercapai maksud dari berkumpulnya mereka. Namun bahwa sholat dzuhur tetap wajib dilaksanakan jika tidak melaksanakan sholat jum’at sehingga sholat dzuhurpun tetap pada waktunya dan dengan sholat ‘ied tercapailah maksud dari berkumpul ”. [ Majmu’ul Fatawa ( 24 / 211 ) ]
Dalil akan hal ini adalah keumuman dalil – dalil akan wajibnya sholat lima waktu sehari semalam seperti hadis Mu’adz bin Jabal, Abu Tholhah dan Abu Huroiroh dll, dengan sisi pendalilan bahwa tidak penghususan dengan hari ‘ied akan keumuman dalil – dalil tersebut maka ia tetap muhkam pada tempatnya. Wallohu a’lam.
والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله

PEMBELAAN TERHADAP ILMU DAN AHLINYA

Penulis : Ustadz Abu Unaisah Jabir

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata :

لا تنصرَنَّ سوى الحــديث وأهلــه *** هـم عسكر القرآن والإيمــان
[ Jangan engkau bela kecuali hadis dan ahlinya
Mereka adalah pasukan Al Qur-an dan Iman ]
Berkata Al ‘Allamah Sholih al Fauzan hafidzohulloh : “ Jika engkau menginginkan untuk mengetahui yang benar dari berbagai pendapat dan ingin membantah kebatilan maka pegangilah hadis – hadis Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam sebab padanya terdapat kebenaran, padanya terdapat penjelasan dan padanya terdapat cahaya. Sehingga orang yang membantah berbagai kelompok dengan menggunakan selain Al Qur-an dan As Sunnah niscaya ia tidak akan mampu melakukannya meskipun ia menyangka bahwa dirinya sudah melakukan bantahan. Bantahan hanyalah dihasilkan dengan Al Kitab dan As Sunnah sebab Al Kitab tiadalah mendatanginya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya sedang apa yang datang dari Rasul sholallohu ‘alaihi wasallam maka beliau sesungguhnya adalah orang yang tidak berbicara dengan nafsu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Akan tetapi urusannya adalah engkau mesti memahami Al Kitab dan As Sunnah sebab tidak setiap orang yang melakukan bantahan dengan Al Kitab dan As Sunnah berarti ia memahami Al Kitab dan As Sunnah. Ahlus Sunnah mereka adalah pasukan Al Qur-an dan As Sunnah yaitu mereka adalah pasukan yang tidak akan terkalahkan, jika mereka bersenjatakan dengan Al Qur-an dan As Sunnah niscaya mereka tidak akan terkalahkan selamanya. Alloh berfirman :
{ وإن جندنا لهم الغالبون } [ الصافات : 173 ]
Artinya : { dan sesungguhnya para tentara kami merekalah orang –orang yang menang } [ Ash Shofat : 173 ].
{ إن حزب الله هم المفلحون } [ المجادلة : 22 ]
Artinya : { sesungguhnya pasukan Alloh mereka itulah orang – orang yang beruntung } [ Al Mujadalah : 22 ]._selesai dari [ Ta’liq Mukhtashor ‘alal Qoshidah An Nuniyyah ( 236 – 237 )].

ILMU : KEMENANGAN DENGAN JIHAD

MENANG DENGAN JIHAD DAN ILMU
Berkata Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim rohimahulloh :
والله ما فتحــوا البلاد بكثرة *** أنـى وأعداهم بـلا حســبان
وكذاك ما فتحوا القلوب بهذه الـ *** آراء بل بالعـلم والإيمــان
[ demi Alloh ! tidaklah mereka menundukkan banyak negeri dengan jumlah pasukan yang banyak
Bagaimana mungkin, sedang musuh – musuh mereka jauh lebih besar jumlahnya
Demikian pula tidaklah mereka menundukkan banyak hati dengan beragam pendapat ini
Namun mereka tundukkan dengan ilmu dan iman ]
Berkata Al ‘Allamah Sholih al Fauzan hafidzohulloh : “ Syaikh didalam bait – baitnya ini mendorong dan memberikan semangat agar berjihad melawan musuh dengan pedang dimedan pertempuran fisik dan dengan lisan dimedan pertempuran perdebatan. Kaum muslimin tidaklah mereka menundukkan banyak negeri musuh timur maupun barat dengan numeric pasukan yang besar sebab lawan – lawan mereka dari bangsa Persia maupun Romawi jauh lebih besar, namun menundukkan mereka adalah dengan iman dan aqidah yang shohihah. Tidak pula mereka menundukkan banyak hati dengan beragam pendapat dan pemikiran, namun tidak lain adalah dengan al Kitab dan as Sunnah, mereka menanmkannya kedalam hati sehingga hatipun dipenuhi dengan ilmu dan iman. Yaitu dengan al Kitab dan as Sunnah, bukan dengan perkataan sifulan atau pemikiran sifulan. Tidaklain mereka meraih kemenangan adalah dengan aqidah yang shohihah dan dengan ilmu yang benar lagi manfaat. Mereka tebarkan ilmu ditimur maupun barat sehingga banyak orang memasuki dinulloh ( Islam ) ini dengan bergelombang – gelombang banyaknya. Meluasnya kekuasaan kaum muslimin adalah melalui dua sebab ini yaitu jihad yang benar dengan disertai persiapan dan dengan ilmu yang benar lagi manfaat._selesai dari [ Ta’liq Mukhtashor ‘alal Qoshidah an Nuniyyah ( 1 / 84 ) karya Al ‘Allamah Sholih al Fauzan ]

MENARA SUNNAH KHATULISTIWA

Artikel-artikel islam ilmiyah dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab, Insya Allah diasuh oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari