Selasa, 31 Agustus 2010

SEPUTAR ROMADHON III

I'TIKAF
Berikut adalah pemaparan fawaid fiqhiyyah secara ringkas dari sebagian hadis – hadis seputar I’tikaf yang dibawakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy rohimahulloh dalam kitab beliau “ Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam ”. Semoga hal ini bermanfaat bagi kami dan bagi yang menelaahnya bitaufiqillah.

1 ـ وَعَنْ عائشة رضي الله عنها : (( أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه وسلّم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ، حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ )) . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Terjemahan hadis ke 1 : dan dari Aisyah rodhiyallohu ‘anha : (( Bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukan I’tikaf disepuluh hari terakhir dari Romadhon hingga diwafatkan oleh Alloh kemudian para istri beliau tetap melakukan I’tikaf sepeninggal beliau )) muttafaqun ‘alaihi .
Takhrij hadis : Al Bukhori no. 2024 dan Muslim no. 1174
Fawaid fiqhiyyah hadis diantaranya :
1. Bahwa hadis diatas merupakan dalil akan disyariatkannya melakukan I’tikaf sebab datang hal ini dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam.
2. Bahwa hadis diatas menerangkan hukum I’tikaf yaitu sunnah sebab berasal dari perbuatan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam. Adapun hadis Abu Sa’id rodhiyalloh ‘anhu yang didalamnya terdapat lafadz : «... مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ» yang terjemahannya : (( … dan sesiapa yang telah melakukan I’tikaf bersamaku maka hendaknya ia melakukan I’tikaf disepuluh hari yang akhir )) maka perintah disini adalah untuk sekedar irsyad ( anjuran ) atau dari bentuk (( ولا تبطلوا أعمالكم )) jangan kalian membatalkan amalan kalian setelah kalian memulainya hingga selesai.
3. Bahwa hadis diatas menerangkan waktu yang afdhol untuk melakukan I’tikaf yaitu sepuluh hari terakhir dari Romadhon sebab itulah yang Alloh pilihkan untuk Nabinya secara terus menerus sehingga itulah yang utama. Jika telah dipahami bahwa penyebutan sepuluh hari terakhir dari Romadhon ini adalah untuk penjelasan waktu afdhol maka artinya dihari – hari selainnyapun tetap dapat dijadikan sebagai waktu melakukan I’tikaf. Sebagaimana pula dapat dipahami bolehnya I’tikaf kurang atau lebih dari sepuluh hari.
4. Bahwa hadis diatas menerangkan maksud dari hari dalam I’tikaf yaitu siang hari beserta malamnya sebab lafadz hari dalam bahasa Arab saat disebut secara tersendiri masuk didalamnya malam harinya. Dari penetapan ini maka diketahuilah sebab perbedaan pendapat ulama tentang kapan waktu afdhol seseorang memulai I’tikafnya dalam konteks sepuluh hari Romadhon yang akhir ini ? Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa yang afdhol adalah dari menjelang terbenamnya matahari dihari kedua puluh Romadhon sehingga tepat untuk disebut ia I’tikaf sepuluh hari dan malamnya, ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan dirojihkan oleh guru kami al ustadz Abu Muhammad hafidzohulloh berlandaskan kepada hadis Abu Sa’id rodhiyallohu ‘anhu diatas. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang afdhol ia memulai dari seusai melaksanakan sholat subuh dihari kedua puluh satunya, ini adalah pendapat al imam Ahmad dalam salah satu riwayat berlandaskan kepada hadis Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang akan datang penyebutannya insyaAlloh.
5. Bahwa hadis diatas menerangkan akan muhkamnya syareat kesunnahan I’tikaf ini, tidak ada dalil yang menghapuskannya sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukannya hingga wafat kemudian dilanjutkan pengamalannya oleh para istri beliau.
6. Bahwa hadis diatas menerangkan akan bolehnya para wanita untuk mengamalkan I’tikaf sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menyetujui amalan para istri beliau. Namun hal ini ada adab – adab lain yang mesti dijaga oleh mereka diantaranya izin dari suami sebab ibadah tathowwu’ jika seorang wanita hendak mengamalkannya maka disyaratkan adanya izin dari suami, adab yang lain yang penting juga adalah tersedianya musholla khusus bagi mereka meskipun satu masjid dengan para jamaah lelaki sebab dahulu Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menyediakan musholla khusus untuk para wanita dengan pintu khusus untuk mereka tanpa terpisah dari masjid beliau. Termasuk adab juga adalah tidak mengundang fitnah dengan jalan apapun. والله أعلم

2 ـ وَعَنْهَا قَالَتْ: (( كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلّى الْفَجْرَ، ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ )) . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Terjemahan hadis ke 2 : dan dari beliau rodhiyallohu ‘anha : (( Bahwa Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam jika hendak melakukan I’tikaf maka beliau melakukan sholat subuh kemudian beliau memasuki tempat I’tikafnya )) muttafaqun ‘alaihi.
Takhrij hadis : Al Bukhoriy no. 2033 dan Muslim no. 1173
Fawaid fiqhiyyah dari hadis ini diantaranya adalah :
1. Bahwa hadis ini menerangkan akan kesunnahan menyiapkan tempat khusus semisal tenda meski sekedar tirai perorangan untuk dijadikan tempat menyendiri selama mengamalkan I’tikaf sebab Nabi melakukannya dalam I’tikaf beliau sholallohu ‘alaihi wasallam.
2. Bahwa hadis ini menerangkan akan kesunnahan menyendiri dari kebanyakan jamaah dalam masa I’tikaf sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukannya. Sebaliknya terdapat celaan dari banyak dan seringnya bergumul dengan jamaah saat beri’tikaf dimasjid kecuali sholat berjamaah dan semisalnya dari amalan berjamaah.
3. Bahwa hadis ini menerangkan akan tetap wajibnya seorang yang beri’tikaf untuk menghadiri sholat berjamaah.
4. Bahwa hadis ini menerangkan akan sunnahnya segera masuk ketenda atau menyendiri dari jamaah bagi seorang yang I’tikaf seusai berdzikir sebab tekstual hadis ini menunjukkan demikian perbuatan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam.
5. Bahwa hadis ini dijadikan dalil oleh sebgian ulama yang berpendapat bahwa waktu afdhol seseorang memulai I’tikaf sepuluh hari Romadhon adalah seusai sholat subuh dihari kedua puluh satu sebab tekstual hadis ini demikian adanya. Namun pendalilan ini dibantah bahwa justru tekstual hadis menerangkan bahwa Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam memasuki tenda beliau atau yang semisalnya segera seusai sholat subuh bukan beliau memulai I’tikafnya bahkan isyarat hadis ini menyatakan bahwa beliau telah memulai I’tikafnya sebelum – sebelumnya sebab beliau telah berada dalam masjid.
6. Bahwa hadis ini menerangkan akan tempat pengamalan I’tikaf yaitu masjid sebagaimana secara tegas juga disebut dalam ayat al Qur-an. Ia juga mengisyaratkan bahwa tempatnya adalah masjid yang ditegakkan didalamnya sholat berjamaah lima waktu sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam beri’tikaf ditempat beliau sholat subuh yang tentu saja berjamaah, secara lengkapnya perincian pembahasan tempat akan datang didua hadis berikutnya insyaAlloh.
7. Bahwa hadis ini menerangkan tempat yang afdhol untuk beri’tikaf yaitu masjid Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sebab tempat itulah yang Alloh pilih untuk beliau dalam mengamalkan I’tikaf. والله أعلم

3ـ وَعَنْهَا قَالَتْ: (( إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ ـ وَهُوَ فِي المَسْجِدِ ـ فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةٍ، إِذَا كَانَ مُعْتَكِفاً )) . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

Terjemah hadis ke 3 : dan dari beliau rodhiyallohu ‘anha berkata : (( sesungguhnya Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam memasukkan kepala beliau kehadapanku sementara beliau berada dalam masjid lalu aku menyisir rambut beliau, beliau tidak memasuki rumah kecuali jika ada hajah yaitu disaat beliau sedang beri’tikaf )) muttafaqun ‘alaihi dan ini adalah lafadz milik al Bukhoriy.
Takhrij hadis : Al Bukhoriy no. 2025 dan Muslim 1172
Fawaid fiqhiyyah dari hadis ini diantaranya adalah :
1. Bahwa hadis ini menerangkan wajibnya seorang yang beri’tikaf untuk tetap menetap didalam masjid sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan masjid tempat beliau beri’tikaf walaupun memasuki rumah beliau yang dekat dengan masjid.
2. Bahwa hadis ini menerangkan bolehnya bagi orang yang beri’tikaf untuk mengeluarkan sebagian anggota badannya dari masjid dengan tetap menjaga keberadaan badan didalam masjid sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut.
3. Bahwa hadis ini menerangkan akan bolehnya seorang yang beri’tikaf untuk berbersih diri dan berhias sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut.
4. Bahwa hadis ini menerangkan bolehnya seseorang dibantu oleh orang lain dalam berhias diri sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam menyetujui perbuatan Aisyah menyisir rambut beliau dan syariat yang dibolehkan bagi sebagian umat maka ia adalah boleh untuk seluruhnya selama tidak didapati dalil penghususan.
5. Bahwa hadis ini menerangkan bolehnya seorang yang beri’tikaf bergaul dan bersentuhan dengan istrinya selama tidak sampai tingkat bercumbu terlebih lagi berjima’ sebab Nabi menyetujui Aisyah yang memegang kepala beliau saat menyisir.
6. Bahwa hadis ini menerangkan bahwa seorang yang beri’tikaf boleh keluar dari masjid untuk memenuhi keperluannya yang tidak bisa tidak mesti keluar seperti buang air besar atau kecil ( sebagaimana datang tafsirnya dari Az Zuhriy perowi hadis ini ) atau mandi termasuk makan jika tidak ada orang lain yang mengantarkan makanan kepadanya ( ditetapkan dari jalan qiyas menurut Hanabilah seperti dijelaskan oleh guru kami yang mulia Asy Syaikh Abul Habib Asy Syatsriy hafidzohulloh ) sebab Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak keluar dari masjid kecuali untuk keperluan. Namun tidak boleh baginya terlalu bertoleransi diluar masjid setelah menyelesaikan keperluannya sebab ini adalah perkara darurat yang hanya boleh diambil sekadarnya dan jika hal itu terjadi maka batallah I’tikafnya.

4ـ وَعَنْهَا قَالَتْ: (( السُّنَّةُ عَلَى المُعْتَكِفِ أَلاَ يَعُودَ مَرِيضاً، وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً، وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً، وَلاَ يُبَاشِرَهَا، وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ، إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ، وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَ فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ )) . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَلاَ بَأْسَ بِرِجَالِهِ، إِلاَّ أَنَّ الرَّاجِحَ وَقْفُ آخِرِهِ

Terjemah hadis ke 4 : dan dari beliau rodhiyallohu ‘anha berkata : (( Yang sesuai sunnah bahwa seorang yang I’tikaf tidak menjenguk orang yang sakit, tidak melayat jenazah, tidak menyentuh wanita, tidak pula mencumbunya dan tidak keluar dari masjid kecuali untuk keperluan yang mesti dan harus diselesaikan diluar, tidak ada I’tikaf tanpa puasa dan tidak ada I’tikaf melainkan dimasjid jami’ )) riwayat Abu Dawud dan para rijalnya tiadalah mengapa namun yang benar bahwa akhir hadis ini adalah mauquf.
Istilah hadis :
Yang sesuai sunnah : jika diucapkan oleh sahabat maka dihukumi sebagai hadis yang berujung kepada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam baik dari ucapan ataupun perbuatan.
Rijal : adalah orang – orang yang meriwayatkan hadis.
Tiadalah mengapa : berkata guru kami yang mulia Asy Syaikh Abu Abdirrohman Al Hajuriy hafidzohulloh : “ isyarat ada kelemahan meskipun dapat diterima ”.
Mauquf : hadis hanya berujung kepada sahabat dan tidak sampai naik kepada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam baik ucapan atau perbuatan.
Takhrij hadis : Sunan Abu Dawud no. 2472 dari jalan Abdurrahman bin Ishaq dari Az Zuhriy dari ‘Urwah dari Aisyah berkata : dst. Namun sayangnya Abdurrahman bin Ishaq adalah perowi yang memiliki kelemahan sehingga berkonsekwensi tertolaknya hadis dari jalan dia ini. Terlebih lagi bahwa hadis ini asalnya ada diriwayat Ash Shohihain yaitu pada hadis 1 yang telah lewat dalam kajian kita ini sebagaimana hal ini dijelaskan dalam riwayat Al Baihaqiy dalam As Sunan Al Kubro ( 4 / 321 ) juga oleh Ath Thohawiy dalam Ma’rifatus Sunan ( 6 / 395 ) bahkan beliau memastikan bahwa hadis ini adalah bukan ucapan Aisyah tetapi ucapan Az Zuhriy atau yang selainnya dari perowi. Lebih jauh lagi bahwa hadis ini bisa dihukumi mungkar ( seorang rowi yang lemah menyelisihi para perowi yang terpercaya ) dimana Abdurrahman bin Ishaq yang lemah telah menyelisihi para murid Az Zuhriy yang terpercaya dari thobaqoh pertama seperti Malik bin Anas , al Laits bin Sa’d dan ‘Uqoil. Demikian kesimpulan akhir kajian kami terhadap derajat hadis ini sewaktu kami mengkajinya dimaktabah Darul Hadis, Dammaj harosahulloh, kemudian kami dapati penjelasan dari guru kami Asy Syaikh Abul Habib hafidzohulloh bahwa hadis ini adalah dari ucapan Az Zuhriy sehingga ia adalah mursal sementara mursal – mursalnya Az Zuhriy adalah sangatlah lemah. والله أعلم
Fawaid fiqhiyyah dari hadis ini diantaranya adalah :
1. Perlu dicatat bahwa meski hadis ini mungkar artinya sangat lamah namun tidak berarti bahwa apa yang ditunjukkan oleh muatan hadis ini juga tertolak sama sekali sebab tidak adanya keabsahan dalil tidak berarti tidak ada pula apa yang ditunjukkan oleh muatan dalil dari hukum – hukum fiqh.
2. Bahwa hadis ini dijadikan dalil tidak boleh seorang yang beri’tikaf untuk menjenguk orang sakit jika menuntutnya harus keluar masjid sebab berita negative dalam hadis ini bermakna insya’ yaitu larangan jangan ia menjenguk, namun jika orang sakit tersebut ada didalam masjid yang sama maka hal itu boleh bahkan bisa jadi sunnah berdasar keumuman dalil – dalil keutamaan menjenguk orang sakit sebab perbuatan yang berakibat pahala menunjukkan akan kesunnahannya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat dikalangan ulama, mayoritas ulama berpendapat akan tidak bolehnya hal tersebut kecuali jika ia mensyaratkan diawal mula I’tikafnya maka boleh mereka berlandaskan pada hadis ini, namun sayang telah diketahui akan kelemahan hadis ini sehingga tidak boleh dijadikan dalil, mereka juga berlandaskan pada perbuatan Aisyah bahwa beliau melewati orang sakit sementara beliau sedang beri’tikaf saat ada keperluan keluar masjid maka beliau tidaklah menjenguknya, hadis ini riwayat Shohihain disebutkan oleh penulis Umdah. Namun ini hanyalah perbuatan sohabiy terlebih sepeninggal Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sehingga tidaklah kuat untuk dijadikan dalil larangan, mereka juga berlandaskan pada hukum asal yang diterangkan pada hadis sebelumnya dalam kajian ini . Pendapat kedua adalah pendapat Hanabilah yaitu boleh baik dengan syarat atau tidak, landasan mereka adalah qiyas terhadap hajah yang disebut dalam hadis sebelumnya dalam kajian ini. Namun qiyas ini dibantah secara asalnya bahwa menjenguk orang sakit bukan termasuk hajah. Menurut hemat kami pendapat mayoritas ulama itulah yang lebih tepat sebab diantara landasannya adalah hukum asal yang kuat. والله أعلم
3. Bahwa hadis ini dijadikan dalil akan tidak bolehnya orang yang beri’tikaf untuk melayat jenazah dengan penetapan seperti point sebelumnya, namun jika jenazahnya disholatkan didalam masjid tempat dia I’tikaf maka sunnah baginya untuk ikut menshalatinya.
4. Bahwa hadis ini menerangkan tidak bolehnya seorang yang I’tikaf menyentuh wanita namun hadis ini lemah terlebih bertentangan dengan hadis lain yang shohih yaitu hadis sebelumnya dalam kajian ini sehingga yang benarnya boleh.
5. Bahwa hadis ini menerangkan tidak bolehnya orang yang I’tikaf bercumbu dengan wanita, ini juga ditegaskan dalam ayat Al Qur-an sehingga kalau dilanggar maka batal I’tikafnya sebab larangan menunjukkan batal dan rusak.
6. Bahwa hadis ini dijadikan dalil akan dipersyaratkannya puasa atas orang yang I’tikaf sebab yang ditiadakan dalam hadis ini adalah keabsahan I’tikaf atau keberadaan I’tikaf yang syar’iy. Ini merupakan perkara yang diperselisihkan dikalangan ulama ; Malikiyyah, sebagian Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa puasa adalah syarat I’tikaf secara mutlak baik I’tikaf nadzar ataupun sunnah, mereka berlandaskan pada hadis ini namun telah diketahui bahwa hadis ini lemah, juga kepada hadis yang akan datang sesudahnya namun juga yang benar bahwa hadis itu lemah pula, yang paling kuatnya landasan mereka adalah bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam senantiasa berpuasa dalam I’tikaf – I’tikafnya namun ini belum kuat untuk dijadikan landasan syarat sebab berapa banyak amalan yang beliau senantiasa menjaganya toh tidak menjadi syarat bahkan terdapati riwayat bahwa beliau I’tikaf disepuluh hari pertama bulan Syawwal dalam rangka qodho sementara dimaklumi bahwa hari pertama Syawwal sehingga genap sepuluh adalah hari yang dilarang padanya berpuasa. Pendapat kedua adalah pendapat masyhur dalam madzhab Hanabilah dan Syafi’iyyah serta sebagian Malikiyyah yaitu bahwa puasa bukan syarat kecuali jika ia nadzar puasa dan I’tikaf dalam waktu bersamaan, mereka berlandasan kepada riwayat Aisyah yang menyebutkan I’tikaf Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dibulan Syawwal juga mereka melemahkan hadis ini dan sesudahnya.
7. Bahwa hadis ini dijadikan dalil akan disyaratkannya masjid jami’ sebagai tempat I’tikaf sebab yang ditiadakan dalam hadis ini adalah keabsahan I’tikaf atau keberadaan I’tikaf yang syar’iy. Masjid jami’ adalah masjid yang diselenggarakan padanya sholat berjamaah lima waktu, meski hadis ini lemah namun ayat Al Qur-an telah menjelaskan demikian, begitu pula I’tikafnya Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dan para sahabat sehingga ini mirip kesepakatan mereka. Alasan lain, bahwa I’tikaf dimasjid yang tidak diselenggarakan sholat jamaah lima waktu padanya akan menuntut orang yang I’tikaf untuk banyak keluar dari masjid. Namun apakah disyaratkan juga diselenggarakannya sholat jum’ah didalamnya ? letak silang pendapat dikalangan ulama ; Malikiyyah dan Syafi’iyyah mensyaratkannya berlandaskan kepada hukum asal yaitu wajib menetap ditempat I’tikaf kecuali hajah yang mengharuskan, juga perbuatan Nabi dan para sahabat yang senantiasa I’tikaf dimasjid berjum’ah. sedang Hanafiyyah dan Hanabilah tidak mensyaratkannya bahkan sebagian Hanabilah tetap mensunahkan untuk mendatangi jum’ah lebih awal meski berakibat lamanya waktu ia diluar masjid tempat I’tikafnya berdasar kepada keumuman ayat panggilan jum’ah dan keumuman masjid dalam ayat I’tikaf serta keumuman hadis – hadis keutamaan datang lebih awal untuk jum’ah. Menurut hemat kami pendapat pertama lebih utama sebab kuatnya dalil mereka. والله أعلم

5 ـ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ: « لَيْسَ عَلَى المُعْتَكِفِ صِيَامٌ إِلاَّ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ ». رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ، وَالْحَاكِمُ، وَالرَّاجِحُ وَقْفُهُ أَيْضاً.

Terjemah hadis ke 5 : dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : (( Tidaklah wajib puasa atas orang yang I’tikaf kecuali jika ia bernadzar untuk berpuasa )) riwayat Ad Daruquthniy dan Al Hakim namun yang benarnya bahwa hadis ini juga mauquf.
Takhrij hadis : Sunan Daruquthniy ( 2 / 199 ) dan Mustadrok Hakim ( 1 / 439 ) keduanya dari jalan Abdulloh bin Muhammad Ar Romliy berkata : Muhammad bin Yahya bin Abi Umar menghadiskannya kepadaku berkata : Abdul ‘Aziz bin Muhammad menghadiskannya kepadaku dari Abu Sahl paman Malik bin Anas dari Thowus dari Ibnu Abbas dst. Namun Daruquthniy menyatakan bahwa yang benar adalah mauquf. Bukti akan kebenaran ucapan Daruquthniy adalah riwayat Al Baihaqiy dalam Sunan Kubro ( 4 / 318 ) dari jalan Abu Bakr Al Humaidiy dari Abdul ‘Aziz bin Muhammad dari Abu Sahl dari Thowus dari Ibnu Abbas secara mauquf. Terlebih lagi bahwa Abdulloh Ar Romliy dikomentari oleh penulis Bayanul Wahm ( 3 / 442 ) sebagai rowi yang majhul tidak dikenal sehingga ini berkonsekwensi ditolaknya hadisnya ini. Kami juga mendapati bahwa Asy Syaikh Abul Habib hafidzohulloh juga melemahkan hadis ini. والله أعلم
Fawaid fiqhiyyah hadis ini telah kita kaji dihadis sebelumnya.
وصلى الله على محمد وآله وصحبه وسلم والله أعلم والحمد لله .

Selesai disusun pada ba’da Dzuhur
Hari selasa, 21 Romadhon 1431 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENARA SUNNAH KHATULISTIWA

Artikel-artikel islam ilmiyah dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab, Insya Allah diasuh oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari