Sabtu, 27 Oktober 2012

MENDUDUKKAN KONFLIK
DITINGKAT AWAM


Dalam “ Salafiyyun Selalu Menyambut Persatuan ” secercah tabir “ khilaaf ” tersingkap sudah walhamdulillaah, meski tidak tersingkap selebar – lebarnya namun banyak hal lain yang terkait dengan kamus khilaaf ini yang perlu dikaji. Ambil saja tahdziran para ulama salaf dari mengikuti dan memegangi khilaaf yang tidak ditolerir terutamanya syudzudz juga contoh – contoh riil pendapat – pendapat syudzudz juga sikap ‘arif menghadapi pendapat syadz dan pengusungnya dll, akan tetapi sebagaimana pepatah mengatakan : “ Hal – hal yang tidak bisa diketahui secara keseluruhannya maka tidak tepat untuk ditinggalkan sebagian besarnya ”. Wabillahit taufiq
Keterkaitan Antara Khilaaf dan Ijtihad
Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim menjelaskan : “ Terjadinya khilaaf diantara manusia adalah sebuah kemestian sebab adanya perbedaan kemauan, tingkat pemahaman dan tingkat pengetahuan mereka ”. [ Ash Showaiqul Mursalah ( 2 / 519 ) dikutip dari Al Qoulusy Syaadz ( 30 ) cet. Darul Izzah ] 
Namun bukan berarti bahwa syariat ini memberikan kebebasan kepada semua tingkatan manusia yang berkemauan, berpemahaman dan berpengetahuan untuk masuk dalam koridor khilaaf, alasannya dijelaskan oleh Al Imam Asy Syafii : “ Barang siapa yang memaksakan diri pada persoalan yang ia bodoh tentangnya lagi tidak memiliki ilmu tentangnya maka kecocokannya terhadap solusi yang benar jika ia bertepatan dengan solusi yang benar tersebut tanpa disadari adalah tidak terpuji, wallohu a’lam ! sedangkan kekeliruannya dalam persoalan tersebut maka tidak ditolerir sebab ia telah berbicara pada persoalan yang pengetahuannya tidak sampai kepada tingkatan menguasai beda antara pendapat yang benar dan yang keliru dalam persoalan tersebut ”. [ Ar Risaalah ( 53 ) point ke 178 cet. Ahmad Syaakir ]
Yang Memegang Hak Khilaaf
Lalu kapan kecocokan seseorang terhadap kebenaran diakui ? dan bagaimana membuang kekeliruan dalam langkahnya ? syaikh Bakr Abu Zaid menjelaskan kepada kita : “ Syariat yang suci ini telah memberikan kepada siapa yang mengulurkan kedua tangannya dan melangkahkan langkah – langkahnya dijalan penyelesaian persoalan, memberikan kepadanya kedudukan mempotensikan pikirnya melalui penelitian, mempelajari serta tadabbur dalam memahami dalil – dalil serta menerapkannya pada berbagai persoalan kontemporer dan melalui peletakan dalil Al Quran dan As Sunnah pada persoalan tersebut  juga melalui penggabungan hukum atas persoalan yang belum ditemukan padanya dalil kepada persoalan yang telah ditemukan padanya dalil. Semua hal tersebut adalah dengan langkah yang dikemudian hari disebut dengan ijtihad sedang pemotensinya digelari mujtahid ”. [ dikutip dari Al Khilaaf lil ‘Ushoiyyimi ( 89 ) ]
Berangkat dari penjelasan syaikh Bakr diatas maka jalannya adalah ijtihad bagi mujtahid maka upaya seseorang untuk menyelesaikan persoalan jika hasilnya mencocoki kebenaran akan diakui adalah ketika “ Terlahir dari ahli ijtihad yaitu orang – orang yang telah dikenal memiliki pengetahuan terhadap hal – hal yang dibutuhkan dalam ijtihad ” sebagaimana “ Langkah keliru akan tersingkirkan kapan ijtihad itu dilakukan oleh ahli ijtihad, melalui ijtihad yang sempurna, tepat sasaran dan tidak bersinggungan dengan dalil yang baku ”. Demikian dirincikan oleh Asy Syaathibi dan Al Ghozaali sebagaimana dikutip oleh Al ‘Ushoiyyimi dalam desertasinya [ Al Khilaaf ( 88 – 89 ) ].
Dari sini tersentuhlah dasar pemahaman tentang siapa yang pantas dan berhak masuk dalam koridor khilaaf dan siapa yang tidak pantas serta haram masuk kedalamnya juga apa kewajiban masing – masing. Kapan masing – masing tidak mengenali posisinya sehingga tidak berjalan diatas rel kewajibannya yang berbeda maka tidak terpuji akibatnya. Wallohu a’lam.
Taklid & Urgensinya Bagi Selain Mujtahid
Hal demikian karena “ Syarat – syarat berijtihad adalah sangat berat sehingga tidak gampang dipenuhi oleh kebanyakan orang sebab seorang mujtahid mesti harus seorang yang cerdas, peka, berpengetahuan akan bahasa Arab dan berpengetahuan terhadap Al Quran dan Sunnah baik sisi nasikh dan mansukhnya, mujmal dan mufassarnya, khoosh dan ‘aamnya juga mutlaq dan muqoyyadnya ditambah lagi pengetahuan mendalam terhadap shohih dan lemahnya banyak sanad serta mendalami letak – letak kesepakatan ulama, sementara syarat – syarat ini minim sekali untuk bisa terpenuhi dan jarang sekali dimiliki oleh satu orang saja oleh karenanya Alloh telah menjelaskan hukum taklid supaya ditempuh oleh orang yang belum mampu berijtihad ”. [ At Takliid li Syatsri ( 34 ) cet. Darul Wathon ]
Adab Sesama Orang Taklid
Titik beratnya adalah ketika ada beberapa mujtahid yang berijtihad dalam sebuah persoalan yang ditolerir padanya ijtihad dengan hasil ; mereka khilaaf ! maka masing – masing orang yang taklid dalam persoalan tersebut haruslah menetapi adab baik terhadap mujtahid maupun sesama orang taklid yang beda pilihan.
Boleh jadi petuah indah syaikh Taqiyyuddien Ibnu Taimiyyah yang dikutip dalam “ Salafiyyun selalu Menyambut Persatuan ” mewakili sekian adab yang dipaparkan dalam banyak literatur adab sehingga tidak ada ruginya jika kita menyegarkannya kembali dikesempatan ini. Beliau mengatakan : “ Adapun jika dalam sebuah permasalahan tidak diketemukan sunnah maupun belum menjadi letak kesepakatan ulama namun bahkan pintu ijtihad didalamnya masih terbuka lebar maka tidak boleh diingkari siapa saja yang beramal dengannya baik amalannya tersebut dibangun diatas hasil ijtihadnya maupun dibangun diatas taklid ”.
Sama – Sama Taklid Cuma Beda Pilihan
Benar bahwa ulama berbeda dalam sembilan pendapat mengenai langkah yang tepat bagi orang yang taklid ketika para mujtahid khilaaf namun bukan berarti peluang untuk memilih pendapat yang sesuai selera masing – masing terbuka lebar. Akantetapi bahkan  “ Orang awam dituntut untuk mengikuti syariat Alloh sehingga kapan saja ia berprasangka kuat bahwa hasil ijtihad dari salah satu diantara para mujtahid tersebut itulah dia hukum Alloh dalam persoalan maka wajib atasnya untuk mengamalkan hasil ijtihad tersebut, baik persangkaan kuatnya tersebut berdasar jumlah banyaknya mujtahid yang memfatwakan hasil ijtihad itu atau berdasar tingkat keluhuran mujtahid yang memfatwakannya atau berdasar dalil – dalil syariat yang dalam setiap dari keadaan – keadaan ini wajib atasnya untuk mengamalkan hasil ijtihad tersebut. Tidak dibenarkan jika ia mengekor kepada seleranya sendiri atau beristihsan sebab ia tidak memiliki modal untuk mengetahui hukum persoalan ” sebagaimana ditegaskan oleh syaikh Sa’ad Asy Syetsri. [ At takliid ( 162 – 169 ) ] 
 Bersambung insyaalloh . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENARA SUNNAH KHATULISTIWA

Artikel-artikel islam ilmiyah dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab, Insya Allah diasuh oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari