DITINGKAT AWAM
Dalam “ Salafiyyun
Selalu Menyambut Persatuan ” secercah tabir “ khilaaf ” tersingkap sudah
walhamdulillaah, meski tidak tersingkap selebar – lebarnya namun banyak hal
lain yang terkait dengan kamus khilaaf ini yang perlu dikaji. Ambil saja
tahdziran para ulama salaf dari mengikuti dan memegangi khilaaf yang tidak
ditolerir terutamanya syudzudz juga contoh – contoh riil pendapat – pendapat
syudzudz juga sikap ‘arif menghadapi pendapat syadz dan pengusungnya dll, akan
tetapi sebagaimana pepatah mengatakan : “ Hal – hal yang tidak bisa diketahui
secara keseluruhannya maka tidak tepat untuk ditinggalkan sebagian besarnya ”.
Wabillahit taufiq
Keterkaitan
Antara Khilaaf dan Ijtihad
Syaikhul Islam
Ibnul Qoyyim menjelaskan : “ Terjadinya khilaaf diantara manusia adalah sebuah
kemestian sebab adanya perbedaan kemauan, tingkat pemahaman dan tingkat
pengetahuan mereka ”. [ Ash Showaiqul Mursalah ( 2 / 519 ) dikutip dari Al
Qoulusy Syaadz ( 30 ) cet. Darul Izzah ]
Namun bukan berarti
bahwa syariat ini memberikan kebebasan kepada semua tingkatan manusia yang
berkemauan, berpemahaman dan berpengetahuan untuk masuk dalam koridor khilaaf,
alasannya dijelaskan oleh Al Imam Asy Syafii : “ Barang siapa yang memaksakan
diri pada persoalan yang ia bodoh tentangnya lagi tidak memiliki ilmu
tentangnya maka kecocokannya terhadap solusi yang benar jika ia bertepatan dengan
solusi yang benar tersebut tanpa disadari adalah tidak terpuji, wallohu a’lam !
sedangkan kekeliruannya dalam persoalan tersebut maka tidak ditolerir sebab ia
telah berbicara pada persoalan yang pengetahuannya tidak sampai kepada
tingkatan menguasai beda antara pendapat yang benar dan yang keliru dalam
persoalan tersebut ”. [ Ar Risaalah ( 53 ) point ke 178 cet. Ahmad Syaakir ]
Yang
Memegang Hak Khilaaf
Lalu kapan kecocokan
seseorang terhadap kebenaran diakui ? dan bagaimana membuang kekeliruan dalam
langkahnya ? syaikh Bakr Abu Zaid menjelaskan kepada kita : “ Syariat yang suci
ini telah memberikan kepada siapa yang mengulurkan kedua tangannya dan
melangkahkan langkah – langkahnya dijalan penyelesaian persoalan, memberikan
kepadanya kedudukan mempotensikan pikirnya melalui penelitian, mempelajari
serta tadabbur dalam memahami dalil – dalil serta menerapkannya pada berbagai
persoalan kontemporer dan melalui peletakan dalil Al Quran dan As Sunnah pada
persoalan tersebut juga melalui
penggabungan hukum atas persoalan yang belum ditemukan padanya dalil kepada
persoalan yang telah ditemukan padanya dalil. Semua hal tersebut adalah dengan
langkah yang dikemudian hari disebut dengan ijtihad sedang pemotensinya
digelari mujtahid ”. [ dikutip dari Al Khilaaf lil ‘Ushoiyyimi ( 89 ) ]
Berangkat dari
penjelasan syaikh Bakr diatas maka jalannya adalah ijtihad bagi mujtahid maka
upaya seseorang untuk menyelesaikan persoalan jika hasilnya mencocoki kebenaran
akan diakui adalah ketika “ Terlahir dari ahli ijtihad yaitu orang – orang yang
telah dikenal memiliki pengetahuan terhadap hal – hal yang dibutuhkan dalam
ijtihad ” sebagaimana “ Langkah keliru akan tersingkirkan kapan ijtihad itu
dilakukan oleh ahli ijtihad, melalui ijtihad yang sempurna, tepat sasaran dan
tidak bersinggungan dengan dalil yang baku ”. Demikian dirincikan oleh Asy
Syaathibi dan Al Ghozaali sebagaimana dikutip oleh Al ‘Ushoiyyimi dalam
desertasinya [ Al Khilaaf ( 88 – 89 ) ].
Dari sini
tersentuhlah dasar pemahaman tentang siapa yang pantas dan berhak masuk dalam
koridor khilaaf dan siapa yang tidak pantas serta haram masuk kedalamnya juga
apa kewajiban masing – masing. Kapan masing – masing tidak mengenali posisinya
sehingga tidak berjalan diatas rel kewajibannya yang berbeda maka tidak terpuji
akibatnya. Wallohu a’lam.
Taklid
& Urgensinya Bagi Selain Mujtahid
Hal demikian karena
“ Syarat – syarat berijtihad adalah sangat berat sehingga tidak gampang
dipenuhi oleh kebanyakan orang sebab seorang mujtahid mesti harus seorang yang
cerdas, peka, berpengetahuan akan bahasa Arab dan berpengetahuan terhadap Al
Quran dan Sunnah baik sisi nasikh dan mansukhnya, mujmal dan mufassarnya,
khoosh dan ‘aamnya juga mutlaq dan muqoyyadnya ditambah lagi pengetahuan
mendalam terhadap shohih dan lemahnya banyak sanad serta mendalami letak –
letak kesepakatan ulama, sementara syarat – syarat ini minim sekali untuk bisa
terpenuhi dan jarang sekali dimiliki oleh satu orang saja oleh karenanya Alloh
telah menjelaskan hukum taklid supaya ditempuh oleh orang yang belum mampu
berijtihad ”. [ At Takliid li Syatsri ( 34 ) cet. Darul Wathon ]
Adab
Sesama Orang Taklid
Titik beratnya
adalah ketika ada beberapa mujtahid yang berijtihad dalam sebuah persoalan yang
ditolerir padanya ijtihad dengan hasil ; mereka khilaaf ! maka masing – masing
orang yang taklid dalam persoalan tersebut haruslah menetapi adab baik terhadap
mujtahid maupun sesama orang taklid yang beda pilihan.
Boleh jadi petuah
indah syaikh Taqiyyuddien Ibnu Taimiyyah yang dikutip dalam “ Salafiyyun selalu
Menyambut Persatuan ” mewakili sekian adab yang dipaparkan dalam banyak
literatur adab sehingga tidak ada ruginya jika kita menyegarkannya kembali
dikesempatan ini. Beliau mengatakan : “ Adapun jika dalam sebuah permasalahan
tidak diketemukan sunnah maupun belum menjadi letak kesepakatan ulama namun
bahkan pintu ijtihad didalamnya masih terbuka lebar maka tidak boleh diingkari
siapa saja yang beramal dengannya baik amalannya tersebut dibangun diatas hasil
ijtihadnya maupun dibangun diatas taklid ”.
Sama
– Sama Taklid Cuma Beda Pilihan
Benar bahwa ulama
berbeda dalam sembilan pendapat mengenai langkah yang tepat bagi orang yang
taklid ketika para mujtahid khilaaf namun bukan berarti peluang untuk memilih
pendapat yang sesuai selera masing – masing terbuka lebar. Akantetapi bahkan “ Orang awam dituntut untuk mengikuti syariat
Alloh sehingga kapan saja ia berprasangka kuat bahwa hasil ijtihad dari salah
satu diantara para mujtahid tersebut itulah dia hukum Alloh dalam persoalan
maka wajib atasnya untuk mengamalkan hasil ijtihad tersebut, baik persangkaan
kuatnya tersebut berdasar jumlah banyaknya mujtahid yang memfatwakan hasil ijtihad
itu atau berdasar tingkat keluhuran mujtahid yang memfatwakannya atau berdasar
dalil – dalil syariat yang dalam setiap dari keadaan – keadaan ini wajib
atasnya untuk mengamalkan hasil ijtihad tersebut. Tidak dibenarkan jika ia
mengekor kepada seleranya sendiri atau beristihsan sebab ia tidak memiliki
modal untuk mengetahui hukum persoalan ” sebagaimana ditegaskan oleh syaikh
Sa’ad Asy Syetsri. [ At takliid ( 162 – 169 ) ]
Bersambung
insyaalloh . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar