Rabu, 24 Oktober 2012

Salafiyyun 
Selalu Menyambut Persatuan, Menolak Perpecahan


Abu Ja’far Ath Thohaawi dalam pemaparan sejumlah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyatakan : “ Kita mengikuti As Sunnah dan Al Jama’ah namun kita menjauhi Asy Syudzudz, Al Khilaf dan Al Furqoh ”. [ Al Aqiidah Ath Thohaawiyyah ]
Pernyataan manhajiyyah diatas mengusung sekian perkara ilmiyyah yang perlu untuk direnungkan oleh setiap penuntut ilmu, sebab “ Ada keselamatan bagi agama seseorang yang terkandung dalam kalimat manhajiyah diatas ”. [ Ar Riyaadhun Nadiyyah ( 137 ) cet. Maktabatul Furqoon ]   
 Fabitaufiqillaah dalam kesempatan ini akan dijelaskan perkara – perkara tersebut meskipun secara ringkas.
As Sunnah : “ Yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah ilmu yang diwariskan dari rasululloh dalam berbagai materi keyakinan serta segala hal yang berkaitan dengannya baik wailah – wasilah maupun hal – hal yang akan membentenginya ”. [ Al Waafi ( 180 ) cet. Daar Al Imam Malik ]
Demikian, bahwa kebanyakan ulama yang menulis tentang As Sunnah maka memaksudkannya pada materi – materi keyakinan namun “ lafadz As Sunnah itu sendiri dalam pembicaraan para ulama salaf adalah mencakupi segala ibadah dan keyakinan ”. [ Majmuu’ul Fataawaa ( 19 / 307 ) periksa : At Ta’riifaat Al I’tiqodiyah ( 200 ) cet. Madarul Wathon ]
Hal itu sebab “ As Sunnah adalah segala hal yang dalil syariat telah nyata – nyata  menetapkannya sebagai ketaatan kepada Alloh dan rasulNya, baik hal tersebut dikerjakan oleh rasululloh secara langsung atau dikerjakan oleh sahabat dimasa beliau masih hidup ataupun tidak pernah beliau kerjakan juga tidak pernah dikerjakan oleh sahabat dimasa beliau masih hidup sebab tidak adanya kondisi yang menuntutnya untuk dikerjakan atau sebab adanya penghalang yang menghalangi untuk dikerjakan ”. [ idem ( 199 ) ]
Sehingga ringkasnya “ As Sunnah adalah segala keyakinan maupun ucapan maupun amalan yang dipegangi oleh rasululloh dan para sahabatnya ”. [ idem ( 199 ) ]
Al Jama’ah : “ Disebutkan lafadz Al Jama’ah dengan makna persatuan didalam satu agama sebagaimana terkadang juga dimaksudkan dengan makna persatuan fisik para anggotanya, intinya bahwa semua materi pembahasan akidah adalah menghimpun kedua makna ini dimana sebagian materinya ada yang kembali kepada makna pertama dan sebagian lainnya lagi kembali kepada makna kedua ”. [ Al Waafi ( 180 ) ]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “ Al Jama’ah mengusung unsur kesepakatan ulama ” pernyataan indah ini seolah memperjelas makna Al Jama’ah dalam pernyataan manhajiyyah yang disampaikan oleh Ath Thohaawi diatas. [ At Ta’riifaat ( 144 ) ]
Yang secara terperincinya Al Jama’ah oleh sebagian ulama dimaknakan : “ jama’ahnya kaum muslimin yaitu para sahabat beserta para pengikut mereka hingga hari kiyamat ”.
Sebagian yang lain lagi memaknakan : “ jama’ahnya para ulama ahlul ijtihad ”.
Sebagian lainnya lagi memaknakan : “ persatuan dibawah seorang penguasa yang mencocoki Al Quran dan As Sunnah ”.
Oleh karenanya Ath Thohaawi mendatangkan lafadz khilaf dan syudzudz serta furqoh sebagai kebalikan dari lafadz jama’ah dalam pernyataan manhajiyyahnya ini. Wallohu a’lam.
Kemudian dari penjelasan ringkas akan makna As Sunnah dan Al Jama’ah diatas seolah dapat diketahui korelasi antara keduanya dimana lafadz Al Jama’ah adalah lebih luas cakupannya sedang As Sunnah maka lebih sempit, sehingga nikmat yang agung bagi ahlus sunnah wal jama’ah menerima gelaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Syaikh Abdurrahman Al Barrook menyatakan : “ Ahlus sunnah wal jama’ah dinamai dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tiada lain sebab mereka mengikuti sunnah rasululloh dan mengikuti jama’ah kaum muslimin ”. [ Syarh Al Aqiidah Ath Thohaawiyyah ( 273 ) cet. Dar at tadmuriyyah ]
Al Khilaaf : Khilaaf dan ikhtilaaf adalah dua kata yang semakna sebab ia dari kata dasar yang sama yang hakekatnya adalah pertentangan antara dua pendapat namun masing – masing ‘alim memberikan tambahan dalam kamus istilah yang diantaranya adalah “ guna mengokohkan kebenaran atau menggugurkan kebatilan ”. [ periksa : Al Khilaaf lil ‘Ushoiyyimi ( 51 ) cet. Ibnul Jauzi, Al Qoulusy Syadz lil Mubaroki ( 22 ) cet. Darul Izzah, At Ta’riifaat li Aali Abdullathiif ( 163 ) cet. Madarul Wathon ]
Namun yang mendasar dikesempatan ini bahwa “ Khilaaf dikalangan umat ini ada dua bentuk ; khilaaf yang mengharuskan adanya permusuhan dan menghilangkan persatuan serta khilaaf yang tidak mengharuskan adanya permusuhan tidak pula menghilangkan persatuan. Bentuk pertama contohnya khilaaf dalam masalah tauhid dimana siapa saja yang menentang azas tauhid maka ia kafir sehingga kaum muslimin wajib untuk berlepas diri darinya serta harus berpisah darinya . . . demikian juga segala masalah yang merupakan bagian dari azas agama ini dimana sesungguhnya dalil – dalil tentangnya sangatlah terang maka siapa saja yang menentangnya adalah seorang pembangkang lagi angkuh sehingga hukum menilainya sebagai orang sesat adalah wajib serta memusuhinya juga sebuah kemestian. Sedangkan bentuk kedua dari dua bentuk khilaaf yaitu yang tidak mengharuskan hilangnya persatuan, juga tidak mengharuskan adanya permusuhan ataupun berlepas diri bahkan tidak akan pernah memutus hubungan keislaman maka ia adalah berbagai bentuk khilaaf dalam perkara – perkara kontemporer yang sifatnya furu’ dan tidak ditemukan dalil – dalil tegas tentangnya akan tetapi yang ditemukan adalah kerumitan dan kesamaran sehingga tempat rujukannya tiada lain adalah ijtihad ”. [ Qowathi’ul Adillah ( 5 /13 – 14 ) dikutip dari At Ta’riifaat ( 165 ) ]
Sisi lain yang juga perlu dimengerti bahwa “ Ath Thohaawi dalam pernyataan manhajiyyahnya ini memaksudkan khilaaf yang semakna dengan syudzudz dan furqoh dan bahwa khilaaf macam demikian mesti ditinggalkan dan dijauhi ”. [ Al Waafi ( 181 ) ]
Asy Syudzudz : Bentuk plural dari syaadz yang secara bahasa bermaknakan memencilkan diri dari mayoritas, dia inilah yang biasa diungkapkan oleh para ulama dengan sebutan zallah yaitu ketergelinciran. [ Al Qoulusy Syaadz ( 67 ) ]
Adapun secara istilah maka Prof. DR. Ahmad Al Mubaaroki mendefinisikannya sebagai “ memencilkan diri dengan sebuah pendapat yang menyelisihi jama’ah ahlul ijtihad tanpa berpijak kepada dalil wahyu maupun kiyas maupun argument yang diakui ”. [ Al Qoulusy Syaadz ( 75 ) ]
Sebagaimana beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang syaadz merupakan bagian dari khilaaf yang tidak ditolerir sehingga artinya bahwa tidak setiap khilaaf adalah syaadz dan menyikapinyapun tentu berbeda.
Namun yang perlu dimengerti dikesempatan ini adalah : kapan sebuah khilaaf dinilai sebagi khilaaf yang bisa ditolerir dan kapan tidak bisa ditolerir kemudian kapan ia masuk dalam bilangan syaadz ?
“ Adapun patokan khilaaf yang ditolerir adalah : khilaaf pada masalah – masalah yang tidak terdapati padanya dalil yang tegas lagi shohih serta bukan masalah yang telah menjadi letak kesepakatan ulama. Dari patokan ini dihasilkanlah kesimpulan bahwa khilaaf yang ditolerir ada tiga bentuk yaitu apabila dalam masalah tersebut tidak ditemukan adanya dalil yang hanya mengusung satu makna maka khilaaf tentangnya adalah ditolerir, apabila didapati adanya dalil yang shohih namun tidak tegas maka khilaaf tentangnya juga ditolerir dan apabila ditemukan padanya dalil yang tegas akan tetapi tidak shohih atau keabsahannya masih diperselisihkan atau memiliki lawan yang sama kuatnya maka khilaaf tentang masalah tersebut adalah ditolerir ”. [ Al Qulusy Syaadz ( 24 ) ]
“ Patokan yang lain adalah khilaaf tersebut tidak berakibat kepada perpecahan, permusuhan dan kesumat. Hal demikian sebab diantara karakteristik khilaaf yang ditolerir bahwa maksud utamanya adalah sampai kepada pendapat yang benar serta meraih keridhoan ilahi ”. [ Al Khilaaf lil ‘Ushoiyyimi ( 92 ) ]
“ Adapun patokan khilaaf yang tidak ditolerir maka adalah pendapat yang menyelisihi dalil nash yang tegas lagi shohih yang tidak ada dalil lain yang menentangnya atau pendapat yang menyelisihi kesepakatan ulama atau menyelisihi kiyas yang gamblang ”. [ Al Qolusy Syadz ( 55 ) ]
“ Sedangkan patokan sebuah pendapat dinilai sebagi pendapat yang syaadz maka : apabila menyelisihi dalil nash yang tegas lagi shohih atau apabila telah didahului oleh adanya kesepakatan ulama atau apabila sedikit sekali ulama yang memencilkan diri dengan pendapat tersebut sehingga menyelisihi madzhab seluruh ulama sementara pijakan sedikit ulama tersebut adalah lemah atau apabila pendapat tersebut tidak lagi menjadi amalan para ulama dan telah ditinggalkan oleh mereka atau apabila pendapat tersebut menyelisihi azas – azas syariah serta kaedah – kaedah universalnya ”. [ Al Qoulusy Syaadz ( 77 ) ]
Dari kutipan – kutipan ringkas diatas nyatalah bahwa salah satu bentuk syudzudz adalah menyelisihi kesepakatan ulama yang diusung oleh lafadz al jama’ah sehingga mengantarkan pelakunya untuk memencilkan diri dengan pendapatnya tersebut dari al jama’ah. Mungkin inilah sisi kesesuaian antara al jama’ah dengan asy syudzudz dalam bingkai yang berlawanan, Wallohu a’lam.
Al Furqoh : Ia adalah semakna dengan iftirooq yang maknanya perpecahan namun ia lebih spesifik menurut sebagian ulama ketika salah satu mereka menyatakan : “ al furqoh adalah meninggalkan As Sunnah dan mengikuti bid’ah ”. [ periksa : Al Waafi ( 181 ) dan At ta’riifaat ( 254 ) ]                    
Kemudian, jelas sudah bagi kita setelah menyingkap sedikit makna – makna dari mustholahat yang diusung oleh kalimat manhajiyyah diatas tentang persatuan yang bagaimana yang senantiasa diupayakan dan disambut oleh salafiyyun yaitu persatuan diatas As Sunnah dan Al Jama’ah. Namun hal itu tidak berarti bahwa setiap khilaaf yang ada merupakan pemecah persatuan akan tetapi hanyalah khilaaf yang tidak ditolerir juga syudzudz dan furqoh saja yang jelas – jelas pemecah persatuan. Tentu saja sikap ‘arif dalam menyikapi khilaaf yang ditolerir yang akan memelihara persatuan dan sebaliknya kapan hasad dan kedzaliman menguasai para pelaku khilaaf yang ditolerir ini maka ia akan memecah persatuan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan sebagian bentuk sikap ‘arif dimaksud : “ Adapun jika dalam sebuah permasalahan tidak diketemukan sunnah maupun belum menjadi letak kesepakatan ulama namun bahkan pintu ijtihad didalam masih terbuka lebar maka tidak boleh diingkari siapa saja yang beramal dengannya baik amalannya tersebut dibangun diatas hasil ijtihadnya maupun dibangun diatas taklid ”. [ Bayanu dalil ‘ala buthlani tahliil ( 145 ) dikutip dari : Al Khilaaf lil Ushoiyyimi ( 100 ) ]    
Sedangkan bahaya hasad dan kedzaliman dimaksud maka beliau menjelaskan : “ Akan tetapi ijtihad yang ditolerir tentu tidak akan mengantarkan kepada perpecahan dan fitnah kecuali jika disusupi kedzaliman dan bukan sekedar ijtihad semata ”. [ idem ( 93 ) ]
Lebih lengkapnya simak serial selanjutnya tentang khilaaf berikut adab didalamnya insyaalloh, wallohul muwaffiq.
وصلى الله على محمد وعلى آله وسلم والحمد لله


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENARA SUNNAH KHATULISTIWA

Artikel-artikel islam ilmiyah dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab, Insya Allah diasuh oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari