Selalu Menyambut Persatuan, Menolak Perpecahan
Abu Ja’far Ath
Thohaawi dalam pemaparan sejumlah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyatakan :
“ Kita mengikuti As Sunnah dan Al Jama’ah namun kita menjauhi Asy Syudzudz, Al
Khilaf dan Al Furqoh ”. [ Al Aqiidah Ath Thohaawiyyah ]
Pernyataan
manhajiyyah diatas mengusung sekian perkara ilmiyyah yang perlu untuk
direnungkan oleh setiap penuntut ilmu, sebab “ Ada keselamatan bagi agama
seseorang yang terkandung dalam kalimat manhajiyah diatas ”. [ Ar Riyaadhun
Nadiyyah ( 137 ) cet. Maktabatul Furqoon ]
Fabitaufiqillaah dalam kesempatan ini akan
dijelaskan perkara – perkara tersebut meskipun secara ringkas.
As Sunnah : “ Yang
dimaksudkan dalam kajian ini adalah ilmu yang diwariskan dari rasululloh dalam
berbagai materi keyakinan serta segala hal yang berkaitan dengannya baik wailah
– wasilah maupun hal – hal yang akan membentenginya ”. [ Al Waafi ( 180 ) cet.
Daar Al Imam Malik ]
Demikian, bahwa
kebanyakan ulama yang menulis tentang As Sunnah maka memaksudkannya pada materi
– materi keyakinan namun “ lafadz As Sunnah itu sendiri dalam pembicaraan para
ulama salaf adalah mencakupi segala ibadah dan keyakinan ”. [ Majmuu’ul
Fataawaa ( 19 / 307 ) periksa : At Ta’riifaat Al I’tiqodiyah ( 200 ) cet.
Madarul Wathon ]
Hal itu sebab “ As
Sunnah adalah segala hal yang dalil syariat telah nyata – nyata menetapkannya sebagai ketaatan kepada Alloh
dan rasulNya, baik hal tersebut dikerjakan oleh rasululloh secara langsung atau
dikerjakan oleh sahabat dimasa beliau masih hidup ataupun tidak pernah beliau
kerjakan juga tidak pernah dikerjakan oleh sahabat dimasa beliau masih hidup
sebab tidak adanya kondisi yang menuntutnya untuk dikerjakan atau sebab adanya
penghalang yang menghalangi untuk dikerjakan ”. [ idem ( 199 ) ]
Sehingga ringkasnya
“ As Sunnah adalah segala keyakinan maupun ucapan maupun amalan yang dipegangi
oleh rasululloh dan para sahabatnya ”. [ idem ( 199 ) ]
Al Jama’ah : “ Disebutkan
lafadz Al Jama’ah dengan makna persatuan didalam satu agama sebagaimana
terkadang juga dimaksudkan dengan makna persatuan fisik para anggotanya,
intinya bahwa semua materi pembahasan akidah adalah menghimpun kedua makna ini
dimana sebagian materinya ada yang kembali kepada makna pertama dan sebagian
lainnya lagi kembali kepada makna kedua ”. [ Al Waafi ( 180 ) ]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah menyatakan : “ Al Jama’ah mengusung unsur kesepakatan ulama ”
pernyataan indah ini seolah memperjelas makna Al Jama’ah dalam pernyataan
manhajiyyah yang disampaikan oleh Ath Thohaawi diatas. [ At Ta’riifaat ( 144 )
]
Yang secara
terperincinya Al Jama’ah oleh sebagian ulama dimaknakan : “ jama’ahnya kaum
muslimin yaitu para sahabat beserta para pengikut mereka hingga hari kiyamat ”.
Sebagian yang lain
lagi memaknakan : “ jama’ahnya para ulama ahlul ijtihad ”.
Sebagian lainnya
lagi memaknakan : “ persatuan dibawah seorang penguasa yang mencocoki Al Quran
dan As Sunnah ”.
Oleh karenanya Ath
Thohaawi mendatangkan lafadz khilaf dan syudzudz serta furqoh sebagai kebalikan
dari lafadz jama’ah dalam pernyataan manhajiyyahnya ini. Wallohu a’lam.
Kemudian dari
penjelasan ringkas akan makna As Sunnah dan Al Jama’ah diatas seolah dapat
diketahui korelasi antara keduanya dimana lafadz Al Jama’ah adalah lebih luas
cakupannya sedang As Sunnah maka lebih sempit, sehingga nikmat yang agung bagi
ahlus sunnah wal jama’ah menerima gelaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Syaikh Abdurrahman
Al Barrook menyatakan : “ Ahlus sunnah wal jama’ah dinamai dengan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah tiada lain sebab mereka mengikuti sunnah rasululloh dan mengikuti
jama’ah kaum muslimin ”. [ Syarh Al Aqiidah Ath Thohaawiyyah ( 273 ) cet. Dar
at tadmuriyyah ]
Al Khilaaf : Khilaaf dan
ikhtilaaf adalah dua kata yang semakna sebab ia dari kata dasar yang sama yang
hakekatnya adalah pertentangan antara dua pendapat namun masing – masing ‘alim
memberikan tambahan dalam kamus istilah yang diantaranya adalah “ guna
mengokohkan kebenaran atau menggugurkan kebatilan ”. [ periksa : Al Khilaaf lil
‘Ushoiyyimi ( 51 ) cet. Ibnul Jauzi, Al Qoulusy Syadz lil Mubaroki ( 22 ) cet.
Darul Izzah, At Ta’riifaat li Aali Abdullathiif ( 163 ) cet. Madarul Wathon ]
Namun yang mendasar
dikesempatan ini bahwa “ Khilaaf dikalangan umat ini ada dua bentuk ; khilaaf
yang mengharuskan adanya permusuhan dan menghilangkan persatuan serta khilaaf
yang tidak mengharuskan adanya permusuhan tidak pula menghilangkan persatuan.
Bentuk pertama contohnya khilaaf dalam masalah tauhid dimana siapa saja yang
menentang azas tauhid maka ia kafir sehingga kaum muslimin wajib untuk berlepas
diri darinya serta harus berpisah darinya . . . demikian juga segala masalah
yang merupakan bagian dari azas agama ini dimana sesungguhnya dalil – dalil
tentangnya sangatlah terang maka siapa saja yang menentangnya adalah seorang
pembangkang lagi angkuh sehingga hukum menilainya sebagai orang sesat adalah
wajib serta memusuhinya juga sebuah kemestian. Sedangkan bentuk kedua dari dua
bentuk khilaaf yaitu yang tidak mengharuskan hilangnya persatuan, juga tidak
mengharuskan adanya permusuhan ataupun berlepas diri bahkan tidak akan pernah
memutus hubungan keislaman maka ia adalah berbagai bentuk khilaaf dalam perkara
– perkara kontemporer yang sifatnya furu’ dan tidak ditemukan dalil – dalil
tegas tentangnya akan tetapi yang ditemukan adalah kerumitan dan kesamaran
sehingga tempat rujukannya tiada lain adalah ijtihad ”. [ Qowathi’ul Adillah (
5 /13 – 14 ) dikutip dari At Ta’riifaat ( 165 ) ]
Sisi lain yang juga
perlu dimengerti bahwa “ Ath Thohaawi dalam pernyataan manhajiyyahnya ini
memaksudkan khilaaf yang semakna dengan syudzudz dan furqoh dan bahwa khilaaf
macam demikian mesti ditinggalkan dan dijauhi ”. [ Al Waafi ( 181 ) ]
Asy Syudzudz : Bentuk plural
dari syaadz yang secara bahasa bermaknakan memencilkan diri dari mayoritas, dia
inilah yang biasa diungkapkan oleh para ulama dengan sebutan zallah yaitu
ketergelinciran. [ Al Qoulusy Syaadz ( 67 ) ]
Adapun secara
istilah maka Prof. DR. Ahmad Al Mubaaroki mendefinisikannya sebagai “
memencilkan diri dengan sebuah pendapat yang menyelisihi jama’ah ahlul ijtihad
tanpa berpijak kepada dalil wahyu maupun kiyas maupun argument yang diakui ”. [
Al Qoulusy Syaadz ( 75 ) ]
Sebagaimana beliau
juga menyatakan bahwa pendapat yang syaadz merupakan bagian dari khilaaf yang
tidak ditolerir sehingga artinya bahwa tidak setiap khilaaf adalah syaadz dan
menyikapinyapun tentu berbeda.
Namun yang perlu
dimengerti dikesempatan ini adalah : kapan sebuah khilaaf dinilai sebagi
khilaaf yang bisa ditolerir dan kapan tidak bisa ditolerir kemudian kapan ia
masuk dalam bilangan syaadz ?
“ Adapun patokan
khilaaf yang ditolerir adalah : khilaaf pada masalah – masalah yang tidak
terdapati padanya dalil yang tegas lagi shohih serta bukan masalah yang telah
menjadi letak kesepakatan ulama. Dari patokan ini dihasilkanlah kesimpulan
bahwa khilaaf yang ditolerir ada tiga bentuk yaitu apabila dalam masalah
tersebut tidak ditemukan adanya dalil yang hanya mengusung satu makna maka
khilaaf tentangnya adalah ditolerir, apabila didapati adanya dalil yang shohih
namun tidak tegas maka khilaaf tentangnya juga ditolerir dan apabila ditemukan
padanya dalil yang tegas akan tetapi tidak shohih atau keabsahannya masih
diperselisihkan atau memiliki lawan yang sama kuatnya maka khilaaf tentang
masalah tersebut adalah ditolerir ”. [ Al Qulusy Syaadz ( 24 ) ]
“ Patokan yang lain
adalah khilaaf tersebut tidak berakibat kepada perpecahan, permusuhan dan
kesumat. Hal demikian sebab diantara karakteristik khilaaf yang ditolerir bahwa
maksud utamanya adalah sampai kepada pendapat yang benar serta meraih keridhoan
ilahi ”. [ Al Khilaaf lil ‘Ushoiyyimi ( 92 ) ]
“ Adapun patokan
khilaaf yang tidak ditolerir maka adalah pendapat yang menyelisihi dalil nash
yang tegas lagi shohih yang tidak ada dalil lain yang menentangnya atau
pendapat yang menyelisihi kesepakatan ulama atau menyelisihi kiyas yang
gamblang ”. [ Al Qolusy Syadz ( 55 ) ]
“ Sedangkan patokan
sebuah pendapat dinilai sebagi pendapat yang syaadz maka : apabila menyelisihi
dalil nash yang tegas lagi shohih atau apabila telah didahului oleh adanya
kesepakatan ulama atau apabila sedikit sekali ulama yang memencilkan diri
dengan pendapat tersebut sehingga menyelisihi madzhab seluruh ulama sementara
pijakan sedikit ulama tersebut adalah lemah atau apabila pendapat tersebut
tidak lagi menjadi amalan para ulama dan telah ditinggalkan oleh mereka atau
apabila pendapat tersebut menyelisihi azas – azas syariah serta kaedah – kaedah
universalnya ”. [ Al Qoulusy Syaadz ( 77 ) ]
Dari kutipan –
kutipan ringkas diatas nyatalah bahwa salah satu bentuk syudzudz adalah
menyelisihi kesepakatan ulama yang diusung oleh lafadz al jama’ah sehingga
mengantarkan pelakunya untuk memencilkan diri dengan pendapatnya tersebut dari
al jama’ah. Mungkin inilah sisi kesesuaian antara al jama’ah dengan asy
syudzudz dalam bingkai yang berlawanan, Wallohu a’lam.
Al Furqoh : Ia adalah semakna
dengan iftirooq yang maknanya perpecahan namun ia lebih spesifik menurut
sebagian ulama ketika salah satu mereka menyatakan : “ al furqoh adalah
meninggalkan As Sunnah dan mengikuti bid’ah ”. [ periksa : Al Waafi ( 181 ) dan
At ta’riifaat ( 254 ) ]
Kemudian, jelas
sudah bagi kita setelah menyingkap sedikit makna – makna dari mustholahat yang
diusung oleh kalimat manhajiyyah diatas tentang persatuan yang bagaimana yang
senantiasa diupayakan dan disambut oleh salafiyyun yaitu persatuan diatas As
Sunnah dan Al Jama’ah. Namun hal itu tidak berarti bahwa setiap khilaaf yang
ada merupakan pemecah persatuan akan tetapi hanyalah khilaaf yang tidak
ditolerir juga syudzudz dan furqoh saja yang jelas – jelas pemecah persatuan.
Tentu saja sikap ‘arif dalam menyikapi khilaaf yang ditolerir yang akan
memelihara persatuan dan sebaliknya kapan hasad dan kedzaliman menguasai para
pelaku khilaaf yang ditolerir ini maka ia akan memecah persatuan.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah menjelaskan sebagian bentuk sikap ‘arif dimaksud : “ Adapun jika
dalam sebuah permasalahan tidak diketemukan sunnah maupun belum menjadi letak
kesepakatan ulama namun bahkan pintu ijtihad didalam masih terbuka lebar maka
tidak boleh diingkari siapa saja yang beramal dengannya baik amalannya tersebut
dibangun diatas hasil ijtihadnya maupun dibangun diatas taklid ”. [ Bayanu
dalil ‘ala buthlani tahliil ( 145 ) dikutip dari : Al Khilaaf lil Ushoiyyimi (
100 ) ]
Sedangkan bahaya
hasad dan kedzaliman dimaksud maka beliau menjelaskan : “ Akan tetapi ijtihad
yang ditolerir tentu tidak akan mengantarkan kepada perpecahan dan fitnah
kecuali jika disusupi kedzaliman dan bukan sekedar ijtihad semata ”. [ idem (
93 ) ]
Lebih lengkapnya simak
serial selanjutnya tentang khilaaf berikut adab didalamnya insyaalloh, wallohul
muwaffiq.
وصلى الله على محمد وعلى آله وسلم
والحمد لله
Tidak ada komentar:
Posting Komentar