Selasa, 07 September 2010

KHUTBAH 'IED

KHUTBAH ‘IED : SATU ATAU DUA KHUTBAH ?

Mas’alah : Apakah pendapat yang rojih dalam bilangan khutbah ‘ied yaitu satu kali ataukah dua kali khutbah ?
Al jawab : Masalah diatas terjadi silang pendapat dikalangan ulama rohimahumulloh, ada diantara mereka yang berpendapat bahwa khotib hanya berkhutbah satu khutbah tanpa ada duduk dan ada pula yang berpendapat bahwa khotib khutbah dua kali dengan ada duduk diantara kedua khutbahnya seperti khutbah jum’at bahkan ada sebagian ulama yang mengisyaratkan adanya ijma’ akan pendapat kedua ini. Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua pendapat dalam masalah ini ;
Pendapat pertama, yang sunnah bahwa khotib hanya khutbah satu kali khutbah saja. Ini merupakan pendapat Atho’ dari kalangan tabi’in bahkan beliau menghikayatkan ijma’ generasi sahabat dalam hal pendapatnya tersebut, ini pula yang menjadi pilihan sebagian masyaikh dizaman ini semisal syaikh Al Albaniy, syaikh Ibnu Utsaimin juga syaikh Yahya.
Dalil mereka diantaranya adalah tekstual dari hadis – hadis sifat sholat ied Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam seperti hadis Abu Sa’id Al Khudriy dll dimana khutbah hanya disebut secara tunggal [ tekstual hadis adalah yang pokok sehingga jika ada penafsiran lain maka dibutuhkan dalil shohih ]. Bahkan lebih terang lagi adalah hadis Jabir bin Abdillah riwayat Muslim dengan lafadz :

(( شهدت مع النبي صلى الله عليه وسلم يوم العيد فبدأ بالصلاة قبل الخطبة بغير أذان
ولا إقامة ثم قام متوكئا على بلال فأمر بتقوى الله وحث على طاعته ووعظ الناس
وذكرهم ثم مضى حتى أتى النساء فوعظهن وذكرهن )) .

Terjemahannya : (( aku menyaksikan hari ‘ied bersama Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam maka beliau memulai dengan sholat sebelum berkhutbah tanpa adzan tanpa iqomat kemudian beliau berdiri dengan berpegangan pada Bilal lalu beliau memerintahkan untuk bertakwa kepada Alloh, menyemangati untuk taat kepadaNya dan menasehati mereka serta mengingatkan mereka kemudian beliau pergi hingga mendatangi para wanita maka beliau menasehati dan mengingatkan mereka )).
Sisi kejelasan hadis ini bahwa Jabir mehikayatkan perbuatan – perbuatan Nabi dengan lafadz [ kemudian ] yang menunjukkan akan tartibnya perbuatan – perbuatan tersebut namun beliau tidak menyinggung adanya khotbah kedua selepas duduk yang padahal kalau kedua hal itu termasuk perbuatan Nabi saat tersebut tentulah tidak akan dilewatkan oleh Jabir terlebih kedua perbuatan itu ada disela – sela perbuatan yang lainnya. Sebagaimana pula mereka berdalilkan dengan ijma’ yang dihikayatkan oleh Atho’ riwayat Abdurrozaq dalam Mushonnafnya ( 5650 ) bab khuruju man madho wal khutbah wa fi yadihi ‘asho dari jalan Ibnu Juraij berkata aku bertanya kepada Atho’ dst syahidnya adalah ucapan Atho’ : “ Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak pernah duduk dimimbar hingga beliau wafat, tidak lain khutbah beliau hanyalah berdiri ” juga “ tiada lain khutbah beliau adalah satu kali dalam keadaan beliau berdiri, tiada lain mereka mengucap syahadat hanya sekali ”. Sisi hikayat ijma’nya adalah ucapan beliau mereka – mereka yaitu para sahabat bahkan beliau tegaskan diantaranya adalah Abu Bakr, Umar dan Utsman, dimaklumi bahwa ucapan tabi’in [ mereka melakukan demikian adalah termasuk hikayat ijma’ ].
Pendapat kedua, yang sunnah bahwa khotib berkhutbah dua kali khutbah dengan ada duduk diantara dua khutbahnya seperti khutbah jum’at. Ini merupakan pendapat imam madzhab yang empat juga Ibnu Hazm bahkan boleh dikata pendapat mayoritas.
Dalil mereka adalah beberapa hadis dan atsar yang terang – terang menyebut khutbah ‘ied dua kali seperti jum’at namun sayang hadis – hadis dan beberapa atas tersebut adalah lemah seluruhnya sebagaimana dinyatakan oleh An Nawawi sehingga beliau jelaskan : “ tidak lain pijakan dalam masalah ini adalah qiyas kepada jum’at ”. Namun qiyas disini bisa terdiskusikan dari beberapa sisi diantaranya : perlu ditanyakan bentuk ‘illahnya, adanya beberapa perbedaan dengan jum’ah dan bertabrakannya dengan tekstual hadis – hadis shohih diatas. Sebagaimana mereka juga berdalilkan dengan ijma’ yang diisyaratkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla namun sangkaan ini terdiskusi dari beberapa sisi diantaranya : pendapat Atho’ diatas menunjukkan ada perbedaan pendapat bukan ijma’ sebab [ ijma tidak disebut ijma jika ada ulama yang menyelisihi meski satu alim ] terlebih Atho’ hidup jauh sebelum Ibnu Hazm, diantaranya juga menyendirinya Ibnu Hazm dalam mengisyaratkan ijma’ itupun dalam Al Muhalla sementara beliau punya kitab Marotib Ijma’ secara khusus toh tidak menyebutkan masalah ini didalamnya juga Ibnul Mundzir dll dari para ahli yang berkompeten dalam mengumpulkan ijma pun tidak, diantaranya pula ucapan An Nawawiy diatas “ tidak lain pijakan dalam masalah ini adalah qiyas kepada jum’ah ” artinya jika ada ijma tentulah beliau lebih menetapkannya sebagai pijakan dibandingkan qiyas.
Menilik dari pemaparan diatas hati kami merasa lebih tenang untuk mengikuti pendapat yang dipilih oleh para ulama yang menyatakan satu khutbah saja.
والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENARA SUNNAH KHATULISTIWA

Artikel-artikel islam ilmiyah dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab, Insya Allah diasuh oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari