HUKUM SHOLAT ‘IED DIJALAN RAYA
Sholat ‘ied, tidak diragukan lagi bahwa ia merupakan syi’ar agung dalam dien Islam, untuknya disyareatkan seluruh kaum muslimin hadir bahkan para wanita yang haid sekalipun, disaksikan didalamnya takbir, dzikir – dzikir kepada Alloh dan doa yang diaminkan oleh jamaah serta banyak lagi dari berbagai kebaikan yang lainnya. Terlebih ‘iedul fitri yang merupakan hari berbahagianya hamba – hamba Alloh yang berpuasa sebelum mereka menemui kebahagiaan yang jauh tiada bandingnya nanti disaat menghadap kepada Maha Penciptanya yang mereka berpuasa sebulan penuh karenaNya semata. Dari semua perkara diatas tak sedikit ulama kita rohimahumulloh baik yang telah wafat atau masih hidup yang berpendapat bahwa sholat ‘ied hukumnya adalah wajib ‘ain ya’ni wajib atas setiap muslim.
Diantara hukum yang berkait dengan syiar yang agung ini adalah disunnahkannya untuk melangsungkannya dilapangan terbuka atau yang dikenal dikalangan para pakar fikih dengan sebutan al musholla kecuali bagi penduduk Makkah maka yang sunnah bagi mereka adalah dimasjidil Harom.
Berkata Abu Sa’id Al Khudzriy rodhiyallohu ‘anhu :
(( كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى فأول شيء يبدأ به الصلاة . . . )) الحديث
Terjemahannya : (( Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam senantiasa keluar dihari ‘iedul fitri dan adha menuju al musholla maka perkara pertama yang beliau mulai adalah sholat … )) al hadits riwayat Al Bukhoriy – Muslim.
Berkata Syaikhul Islam rohimahulloh : “ tidaklah ada seorangpun dari kaum muslimin yang mengerjakan sholat ‘ied dimasjid kabilahnya dan tidak juga dirumahnya ”._[ Majmu’ul Fatawa ( 4 / 480 ) dinukil dari Risalah Ust. Abu Zakariya hafidzohulloh ( 20 ) ].
Diantara sekian kaum muslimin yang kami dengar berita tentang mereka dihari ‘ied ini dikota pontianak adalah kebiasaan sebagian mereka menyelenggarakan sholat ‘ied dijalan raya, sementara dibeberapa tempat terdapati penyelenggaraannya dilapangan atau halaman terbuka. Maka hal ini menjadi letak pertanyaan kepada kami yang menuntut adanya penjelasan wabillahit taufiq.
Berkata Al Imam ‘Alauddien Al Mardawiy Al Hambaliy rohimahulloh : “ ketiga, dikecualikan dari pernyataan penulis ( Al Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh ) dan selainnya dari ulama yang menyebutkan ( hukum sholat ditempat – tempat yang dilarang ) secara mutlak adalah sholat jum’at dan semisalnya dijalan raya atau ditepi jalan raya maka ia adalah sah dalam kondisi terpaksa, ini pendapat yang dinashkan ( oleh Al Imam Ahmad rohimahulloh ). Demikian halnya sholat diatas kendaraan dijalan yaitu sah. Inilah yang ditetapkan secara pasti oleh penulis ( Al Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh ) didalam kitabnya Al Mughniy juga oleh pensyarah, Al Majd didalam syarahnya, penulis Al Hawiy Al Kabir, penulis Al Furu’ dan selain mereka yaitu sah sholat Jum’at, sholat jenazah dan sholat – sholat ‘Ied serta semisalnya ketika kondisinya terpaksa dilaksanakan dijalan – jalan...”_ [ dari kitab Al Inshof karya ‘Alauddien Ali bin Sulaiman Al Mardawiy ( 3 / 494 ) maktabah syamilah ].
Mafhum dari penjelasan Al Inshof diatas bahwa jika kondisi tidak terpaksa maka tidak sah. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Al Imam Ahmad rohimahulloh.
Berkata Al Imam Abu Ya’la Al Farro’ rohimahulloh : “ letak pertanyaan : ada perbedaan riwayat ( dari Al Imam Ahmad ) jika sholat ditempat – tempat yang dilarang sholat padanya ( yang salah satunya adalah jalan raya sebagaimana akan datang haditsnya insyaalloh ) yaitu apakah batal sholatnya ( artinya tidak sah ) ?
Maka Bakr bin Muhammad menukilkan : jika sholat ditempat yang dilarang oleh Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam seperti tempat penambatan onta, pekuburan maka ia ulangi sholatnya berdasar larangan dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam untuk sholat ditujuh tempat sedang larangan menunjukkan rusaknya perkara yang dilarang.
Adapun Abul Harits : jika sholat dipekuburan atau toilet umum maka makruh. Ada yang bertanya : dia ulangi sholatnya ? beliau menjawab : jika dia ulangi maka hal itu lebih aku sukai. Tekstual dari nukilan Abul Harits ini menunjukkan bahwa mengulangi sholat tidaklah wajib sebab ia adalah tempat yang suci dari najis lagi menghadap kiblat maka shlatnyapun sah. Dalilnya adalah tempat – tempat lain selain tempat – tempat yang dilarang.
Dan Hambal : jika sholat ditempat penambatan onta dalam keadaan ia tidak mengetahui hukumnya serta tidak pula sampai kepadanya hadis larangan maka aku berharap tidak mesti atasnya mengulang sholatnya namun jika ia telah dengar hadisnya ternyata dia langgar maka ia ulangi sholatnya sebagaimana kami nyatakan dalam masalah takbir dibelakang shof sendirian yaitu jika ia tahu maka tidak sah takbirotul ihromnya namun jika tidak tahu maka sah ”._[ kitab Al Masa’il Al Qodhi Abu Ya’la Al Hambaliy ( no. 81 hal. 54 ) maktabah misykat ].
Riwayat pertama yang dinukilkan oleh Bakr bin Muhammad itulah yang masyhur didalam madzhab.
Berkata Al Imam Al Mardawiy rohimahulloh : “ Pernyataan beliau ( Ibnu Qudamah rohimahulloh ) : dan tidak sah sholat dipekuburan, toilet umum, toilet rumah, tempat penambatan onta serta tempat curian dan berkata sebagian pembesar madzhab kami bahwa hukum tempat penjagalan ternak, tempat pembuangan sampah dan jalan raya berikut atap – atapnya pun demikian. Syarh : Inilah pendapat madzhab dan para ulamanyapun berada diatas pendapat ini. Berkata penulis Al Furu’ : inilah pendapat yang masyhur dan itulah yang shohih didalam madzhab. Berkata penulis ( Ibnu Qudamah rohimahulloh ) serta yang lainnya : ini merupakan pendapat tekstual madzhab dan ini termasuk mufrodat dari beliau ( pendapat yang menyelisihi imam yang tiga ). ”_[ Al Inshof ( 2 / 489 ) ].
Senada dengan nukilan – nukilan diatas juga dinyatakan oleh Al Imam Az Zarkasyiy dalam syarah Al Khiroqiy rohimahumalloh [ ( 1 / 219 ) maktabah syamilah ].
Yang menjadi dalil madzhab dalam masalah ini selain keumuman – keumuman syareat juga adalah hadits Abdulloh bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma dengan lafadz :
نَهَى النبيُّ صلّى الله عليه وسلّم أَنْ يُصَلَّى في سبعةِ مَوَاطِنَ: المَزْبَلةِ، والمَجْزَرَةِ، وَالمَقْبَرَةِ، وَقَارِعَةِ الطريقِ، وَالحَمَّامِ، وَمَعَاطِنِ الإبلِ، وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ الله .
Terjemahannya : “ Nabi Sholallohu ‘alaihi wasallam melarang sholat ditujuh tempat yaitu tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan ternak, pekuburan, jalan raya, toilet umum dan tempat penambatan onta serta atap ka’bah ”.
Takhrijnya : Hadits tersebut diriwayatkan oleh At Tirmidziy dalam As Sunan ( 346 ) dan Ibnu Majah ( 746 ) dari jalan Zaid bin Jabiroh dari Dawud bin Al Hushoyin dari Nafi’ dari Ibnu Umar berkata dst. berkata At Tirmidziy : “ dan hadits Ibnu Umar ini sanadnya tidaklah sebegitu kuat dimana Zaid bin Jabiroh telah dikritik dari segi hapalannya ”. Demikian penilaian At Tirmidziy padahal guru beliau yaitu Al Imam Al Bukhoriy telah mengkritiknya dengan fatal dengan menyatakan : “ mungkarul hadits ” artinya matruk yaitu dalam tingkatan sangat lemah bahkan Ibnu Abdul Barr menyatakan : “ mereka sepakat bahwa ia ini lemah ”_[ Tahdzibut Tahdzib Ibnu Hajar ]. Maknanya bahwa hadits ini lemah sekali sebagaimana hal ini juga ditegaskan oleh Ma’aliy Asy Syaikh Sholih aalu Syaikh hafidzohulloh dalam syarah Bulughul Marom dimana disana beliau juga mengisyaratkan adanya dukungan dari Hadits Umar bin Al Khotob rodhiyallohu ‘anhu riwayat Ibnu Majah.
Hadits riwayat Ibnu Majah dari Umar adalah dino. ( 747 ) dengan sanad yang lemah pula dimana didalamnya terdapat Abu Sholih penulisnya Al Laits dan Abdulloh Al Umariy, keduanya sama – sama lemah. Kondisi sanad demikian ini tidak dapat dijadikan dukungan untuk menguatkan hadits Ibnu Umar. Wallohu a’lam
Kesimpulannya : derajat hadits Ibnu Umar ini adalah tetap lemah bahkan lemah sekali.
Namun bukan berarti dengan lemahnya dalil ini tidak ada pula hukum yang ditunjukkan oleh dalil tersebut, sama sekali tidak ! sebab [ tidak adanya dalil tidaklah menafikan madlul yang ditunjukkan olehnya ] dimana bisa saja hukum tersebut masuk dalam keumuman – keumuman syareat.
Dimungkinkan pendapat masyhur dalam madzhab ini mengacu kepada keumuman larangan berbuat kedzoliman terhadap siapapun termasuk kepada kafir dzimmi, mu’ahad atau musta’min dimana jalan raya adalah hak umum, mungkin juga mengacu kepada kurangnya kekhusyu’an orang yang sholat dsb [ lihat Syarah Bulughul Marom liMa’aliy Sholih Aalu Syaikh ]. Al Hasil bahwa inilah riwayat yang masyhur didalam madzhab Al Imam Ahmad.
Adapun menurut riwayat yang lain didalam madzhab ( sebagaimana dinukil dari beliau oleh Abul Harits diatas ) yang juga merupakan pendapat kebanyakan ulama maka sholat dijalan raya adalah sah disertai kemakruhan.
Dalil riwayat ini adalah keumuman hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhuma dengan lafadz :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( . . . وجعلت لي الأرض مسجداً . . . )) الحديث
Terjemahannya : Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : (( . . . dan bumi ini dijadikan bagiku sebagai masjid . . . )) al hadits riwayat Al Bukhoriy _ Muslim.
Juga keumuman hadits Abu Sa’id Al Khudzriy rodhiyallohu ‘anhu dengan lafadz :
قال النبي صلى الله عليه وسلم : (( الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ المَقْبَرَةَ وَالحَمَّامَ )) .
Terjemahannya : Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : (( bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali pekuburan dan toilet umum )).
Takhrijnya : riwayat Ahmad ( 18 / 312 ) Abu Dawud ( 492 ) At Tirmidziy ( 317 ) dan Ibnu Majah ( 745 ) berkata Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom : “ ia memiliki cacat ” yaitu keterputusan sanad berupa irsal sebagaimana diisyaratkan oleh At Tirmidziy namun Syaikhul Islam menyatakan : “ hadis ini riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Bazar serta yang lainnya dengan sanad – sanad yang bagus sedang siapa yang mengkritik keabsahannya maka ia belum meneliti seluruh jalan – jalannya ”_[ Iqtidho ( 2 / 672 ) ].
Awal hadis ini seperti hadis Jabir sebelumnya yaitu idzin untuk sholat ditempat manapun dari bumi ini yang artinya adalah sahnya sholat kemudian dalam akhir hadis ini dikecualikan dua tempat yaitu pekuburan dan toilet maka artinya tidak diizinkan. Yang dikecualikan dalam dua hadis shohih ini hanyalah dua tempat tersebut artinya jalan raya tidak termasuk sehingga boleh sholat padanya dan konsekwensinya sah namun demi melihat keumuman – keumuman syareat maka keabsahannya adalah secara makruh dalam kondisi diperlukan,inilah riwayat kedua dalam madzhab dan dirojihkan oleh Ibnu Qudamah serta Al Khiroqiy sebagaimana dinyatakan oleh Az Zarkasyiy rohimahumulloh.
Kembali kepada awal perbincangan, selayaknya bagi umat islam diPontianak dan tempat lain untuk tidak menggunakan fasilitas jalan raya sebagai tempat menyelenggarakan sholat ‘ied secara khusus sementara dihalaman – halaman terbuka juga telah diselenggarakan, terlebih lagi itulah yang mencocoki sunnah baik dari segi maksud maupun lahir. Adapun dijalan raya maka maksimalnya tidak terdapati sunnah secara khusus yang menyebut sholat ‘ied dijalan raya.
والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله
Selesai ditulis malam 29 Romadhon 1431
Oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari
Semoga Alloh mengampuninya beserta kedua orang tuanya
Selasa, 07 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
MENARA SUNNAH KHATULISTIWA
Artikel-artikel islam ilmiyah dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab, Insya Allah diasuh oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari
Entri Populer
-
Berkata Al ‘Allamah Sholih Al Fawzan hafidzohulloh : “ . . . dan murji’ah ada empat sekte ; Sekte pertama : Murji’ah ekstrim, mereka adal...
-
Pertanyaan : Apakah dizaman ini masih ada orang yang menghusung pemikiran khowarij ? Jawaban Al ‘Allamah Al Fawzan hafidzohulloh : “ ...
-
Semenjak beberapa tahun lamanya telah marak disebagian pondok – pondok pesantren dinegeri kita sebuah kegiatan kepesantrenan yang berbau pen...
-
Seorang muslim adalah seorang yang memiliki ittiba’ kepada syareat yang dibawa oleh nabiyulloh Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam sebagaim...
-
Pertanyaan : Apakah dizaman ini masih ada orang yang menghusung pemikiran khowarij ? Jawaban Al ‘Allamah Al Fawzan hafidzohulloh : “ ...
LINK - LINK BERMANFAAT :
Diberdayakan oleh Blogger.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar