Faedah ke I :
Penerapan Kaedah – Kaedah Ushul
Dalam Kajian Hadis
HADIS KE 1 : HUKUM SHOLAT
عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : { خمس صلوات كتبهن الله على العباد ، فمن جاء بهن لم يضيع منهن شيئًا استخفافًا بحقهن كان له عند الله عهد أن يدخله الجنة ومن لم يأت بهن فليس له عند الله ، إن شاء عذَّبه وإن شاء أدخله الجنة }
Berikut adalah penerapan sederhana nan singkat kaedah – kaedah ushul fiqih terhadap hadis Ubadah bin as Shomit diatas wabillahit taufiq :
Kajian terhadap hadis ini menurut kaedah ushul dari dua sisi sbb
Sisi Pertama : Derajat keshohihan hadis
Sisi ini didahulukan atas dasar kaedah ( istimbat hukum adalah cabang dari keshohihan dalil ) dimana kaedah ini merupakan cabang dari kaedah besar dalam islam ( asal ibadah adalah haram kecuali ada dalil ) . Maka kajian sisi pertama adalah sebagai berikut : Hadis ini dengan lafadz tersebut diriwayatkan oleh Malik dalam al Muwatho’ 1 / 254 – 255 dan Ahmad dalam al Musnad 5 / 315 keduanya dari jalan Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari Ibnu Muhairiz bahwa seseorang dari Kinanah yang dipanggil dengan sebutan al Makhdajiy dari Ubadah bin as Shomit . Kemudian hadis dengan lafadz tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan 2 / 62 serta an Nasa’iy 1 / 186 keduanya dari jalan Malik dst . Al Makhdajiy yang disebut dalam sanad diatas adalah seorang rowi yang majhul menurut Ibnu Abdul Barr,[1] menurut kaedah bahwa ( jahalah seorang rowi berdampak pada lemahnya hadis ) hal ini sebab rowi yang majhul memiliki cacat yaitu ( tidak dikenalinya kesholihan serta tingkat hapalannya ) maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini dengan sanad tersebut adalah lemah sementara dalam kaedah dinyatakan ( hadis yang lemah tidak dapat dipakai sebagai dalil dalam aqidah dan hukum ) namun kaedah ini tidak mutlak demikian dimana jika kelemahan hadis tidak fatal seperti yang sedang kita kaji ini maka kaedahnya ( hadis yang lemah dengan kelemahan yang tidak fatal maka tidak dapat dipakai sebagai dalil sehingga didapati ada pendukung yang mengangkat lemahnya hadis tersebut ) . Keadaan hadis ini demikian yaitu ada sanad lain yang mungkin akan mengangkat kelemahannya kepada tingkatan diterima, sanad tersebut adalah sbb : diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad 5 / 317 dan Abu Dawud 1 / 115 keduanya dari jalan Muhammad bin Muthorrif dari Zaid bin Aslam dari Atho bin Yasar dari Abdulloh as Sunabihiy bahwa Ubadah bin as Shomit berkata dst dengan lafadz yang berdekatan dengan lafadz diatas meski ada beberapa perbedaan yang tidak saling kontradiktif . Kita dapati bahwa sanad ini shohih didalamnya juga ada pendukung dari Abdulloh as Sunabihiy bagi al Makhdajiy maka berdasar kaedah ( hadis lemah yang tidak fatal kelemahannya menjadi diterima dengan berbilangnya jalan ) hadis Ubadah diatas adalah dapat diterima dari lemah menjadi hasan lighorihi bahkan secara umum hadis Ubadah ini adalah hasan atau shohih . Adapun kontradiktif lafadz meskipun kaedah menyatakan ( kontradiktif lafadz – lafadz satu hadis berdampak lemahnya hadis ) namun dalam kasus yang ada bersama kita adalah mengikut kaedah ( kontradiktif lafadz – lafadz satu hadis yang tidak saling bertentangan tetapi saling menafsirkan satu dengan yang lainnya tidak berdampak lemahnya hadis tersebut ) . Oleh karenanya tak heran jika beberapa ulama besar pakar hadis menshohihkan hadis ini semisal Muhammad bin Nashr dalam Ta’dzim Qodr sholat ( 968 – 971 ) bahkan beliau memaparkan banyak jalan yang saling mendukung bagi hadis ini dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah seperti dalam al Fatawa ( 22 / 49 ) juga dishohihkan oleh as Syaikh al Albaniy dan as Syaikh Muqbil rohimahumulloh .
Kajian sisi kedua, hukum – hukum yang dapat diambil dari hadis diantaranya sbb :
1. hadis tersebut adalah dalil wajibnya sholat yang lima, hukum ini diambil dari { خمس صلوات كتبهن الله على العباد } sisi pendalilan wajib dari lafadz { كتب ... على } dalam kaedah bahwa ( lafadz ini menunjukkan wajib ) adapun sisi pendalilan sholat yang lima adalah dari { خمس صلوات } apakah selain sholat yang lima tidak ada lagi sholat wajib yang lain ? khilaf dikalangan ulama kepada dua pendapat yaitu pendapat pertama tidak ada lagi selain sholat yang lima sholat wajib dalil mereka diantaranya hadis ini sisi pendalilannya memakai kaedah ( mafhum mukholafah ) yaitu jika yang ditentukan oleh syari’ adalah lima maka mafhumnya selain lima tidak ada terkena hukum wajib . Pendapat kedua menyatakan ada sholat wajib selain yang lima namun mereka khilaf dalam satu persatunya, mereka berdalil dengan banyak argument dan mereka menjawab pendalilan pendapat pertama dengan hadis ini dan semisalnya dengan dua jawaban ; pertama bahwa mafhum mukholafah disini adalah jenis mafhum bilangan sementara kaedah menyatakan ( mafhum bilangan tidak dianggap hujjah ) yaitu penentuan bilangan lima bukan berarti selain yang lima yang tidak disebut tidak terkena hukum wajib . Kedua ada kemungkinan hadis ini didengar oleh rawi dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam diawal masa pensyariatan sebagaimana dimaklumi Ubadah termasuk yang ikut baiat aqobah dengan demikian hadis ini tidak menutup kemungkinan bertambahnya kewajiban, hal ini sesuai kaedah ( pensyareatan dizaman wahyu menerima pembaharuan baik perubahan atau penambahan ) .
2. hadis ini dijadikan dalil akan wajibnya sholat yang lima secara berjamaah atas kaum muslimin, hukum berjamaah diambil dari { على العباد } sisi pendalilan bahwa { العباد } lafadz jama’ ( plural ) yang dalam kaedah ( lafadz jama’ terkandung arti jamaah ) atau ( kewajiban yang dikaitkan kepada lafadz jama’ berarti dituntut adanya jama’ah padanya ) ini merupakan pendapat sebagian ulama . Apakah berjamaah menjadi syarat sah sholat yang lima ataukah sekedar wajib yang tidak sampai tingkat syarat sah ? khilaf dikalangan ulama yang menyatakan wajib jamaah . Adapun hukum kaum muslimin diambil dari { ال } untuk ma’rifah yang berfungsi al ‘ahd ( tercatat ) yang dalam kaedah ( ال al ‘ahd tidak berfungsi umum ) yaitu khusus para hamba yang tergolong dalam penghambaan yang tercatat / teranggap dalam syariat yang mereka adalah kaum muslimin, adapun selain mereka maka masuk dalam jenis penghambaan umum yang tidak dituntut oleh syareat maka mereka tida terbebani kewajiban sholat kecuali sesudah masuk islam .
3. Hadis ini dalil akan wajibnya pelaksanaan sholat dengan sempurna syarat, rukun maupun wajibat, hukum ini diambil dari { فمن جاء بهن لم يضيع منهن شيئا استخفافا بحقهن كان له عهد عند الله أن يدخله الجنة } sisi pendalilannya bahwa kebaikan Alloh dengan dimasukkannya orang yang sholat kedalam surga adalah digantungkan pada sebab yaitu tidak menelantarkan hak – hak sholat sedikitpun . Hal ini sesuai kaedah ( jatuhnya hukum – hukum digantungkan kepada terpenuhi atau tidaknya sebab ) atau ( ibadah yang diikat dengan syarat maka tidak gugur dari tuntutan hingga terpenuhi syarat ) .
4. Hadis ini dijadikan dalil akan tidak kafirnya orang yang meninggalkan sholat diambil dari { ومن لم يأت بهن فليس له عهد عند الله إن شاء عذبه وإن شاء أدخله الجنة } sisi pendalilannya tekstual hadis menyatakan bahwa yang meninggalkan sholat yang lima hukumnya diakherat adalah dibawah kehendak Alloh antara diadzab atau dimasukkan surga artinya dia tidak kafir sebab kafir tidak berada dibawah kehendak namun diakherat pasti diadzab yang abadi . Hal ini sesuai kaedah ( pada asalnya dalil dibawa kepada makna dzohir ( tekstual ) nya ) . Jika telah dipahami maka ketahuilah ! Masalah hukum meninggalkan sholat adalah khilaf dikalangan ulama ( setelah sebelumnya ada hikayat ijma’ dari kalangan sahabat ) kepada dua pendapat ; pertama bukan kekufuran namun hanyalah dosa besar dibawah kekufuran . kedua adalah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari islam . Diantara dalil ulama yang memilih pendapat pertama adalah hadis diatas dengan sisi pendalilan yang telah disebutkan namun sisi pendalilan ini dijawab oleh ulama yang mengikut pendapat kedua dengan beberapa jawaban : bahwa lafadz dzohir { ومن لم يأت بهن } diatas adalah mutlaq sementara didapati lafadz muqoyyad dalam riwayat –riwayat hadis diatas dan kaedah menyatakan ( jika didapati lafadz mutlaq dan muqoyyad pada hukum yang satu maka mutlaq dibawa kepada muqoyyad ) lafadz muqoyyad tersebut adalah :
{ ومن جاء بهن وقد انتقص من حقهن شيئا جاء وليس له عند الله عهد ، إن شاء عذبه
وإن شاء رحم }
Lafadz tersebut diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr dalam Ta’dzimnya dari jalan Muhammad bin Amr dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari Ibnu Muhairiz dari al Makhdajiy dari Ubadah bin as Shomit rodhiyallohu ‘anhu . Sisi muqoyyadnya lafadz ini adalah orang yang berada dibawah kehendak Alloh antara adzab atau surga adalah yang mengerjakan sholat namun meninggalkan kesempurnaan hak – hak sholatnya .
Jawaban kedua, berdasar kaedah ( lafadz peniadaan secara tekstual namun maksudnya adalah peniadaan kesempurnaan ) penerapannya bahwa meskipun secara tekstual lafadz diatas adalah peniadaan mengerjakan sholat yang lima secara mutlak namun yang diinginkan adalah peniadaan kesempurnaan didalam pelaksanaan sholat yang lima dimana ia mengerjakannya namun tidak secara sempurna ditunaikan hak – haknya .
Jawaban ketiga, jika kedua lafadz tersebut dibawa kepada makna tekstualnya masing – masing maka lafadz ini masuk jenis hadis yang goncang secara konteks hadis, dimana seorang rowi ( al Makhdajiy ) yang majhul hal telah meriwayatkan lafadz hadis ini dari Ubadah secara goncang sebab kedua lafadz diatas adalah dari jalan yang bersumber darinya . Jika demikian adanya maka kaedah menyatakan ( kegoncangan dalam hadis baik sanad maupun konteksnya berdampak pada lemahnya hadis sehingga didapati factor lain yang mendukung salah satunya ) dan ( lemahnya hadis berdampak pada tidak pantasnya hadis tersebut dijadikan dalil ) apabila melihat lafadz – lafadz hadis Ubadah dengan sanad – sanad yang lain yang lebih kuat dibanding sanad al Makhdajiy seperti yang dipaparkan oleh Ibnu Nashr dalam Ta’dzimnya ( 967 – 971 ) maka dukungan memihak lafadz kedua . Dari melihat jawaban – jawaban ulama yang merojihkan pendapat kedua dalam kajian hadis ini maka kami mengikuti mereka yaitu bahwa yang benar hadis Ubadah ini adalah dalil hukum meninggalkan sholat adalah kekufuran yang mengeluarkan dari islam, terlebih lagi ditinjau dari sisi mafhum dalam kaedah ( mafhum mukholafah dapat dipakai sebagai hujjah ) yaitu jika yang berada dibawah kehendak Alloh adalah yang melaksanakan sholat yang lima secara tidak sempurna hak – hak sholatnya maka mafhumnya yang tidak sholat sama sekali / meninggalkan sholat dia diakherat tidak dibawah kehendak Alloh .
والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله .
[1] Bahkan Ibnu Hajar al hafidz dalam taqrib menyatakan maqbul ( diterima dengan syarat ada pendukung ) adz Dzahabiy menyatakan wutsiq ( isyarat ada kelemahan pada dirinya ) namun ia dinilai tsiqoh ( terpercaya ) oleh Ibnu Hibban sehingga dimasukkan dalam barisan kitab Tsiqot . Melihat komentar sebagian hufadz diatas maka komentar Ibnu Abdil Barr lah yang kami rasa tepat . wallohu a’lam_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar