Sabtu, 12 Juni 2010

Serial Fawaid Al Qur’an II

Kala Dunia Menjadi Niatan Amalnya
[ surat : Hud ayat 15 – 16 ]

قال تعالى : { مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ * أُوْلَـَئِكَ الّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الاَخِرَةِ إِلاّ النّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ }

Artinya : { Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya niscaya akan Kami penuhkan kepada mereka amal – amal mereka didalamnya dan mereka didunia tidak akan merugi. Mereka itulah orang – orang yang diakherat kelak tidak akan mendapatkan balasan kecuali neraka dan gugurlah apa yang telah mereka kerjakan didunia serta gugurlah apa yang dahulu mereka amalkan } [ Hud : 15 – 16 ] .
Berikut faedah – faedah dari ayat diatas yang ditintakan oleh Al ‘Allamah Abdurrohman bin Nashir as Sa’diy rohimahulloh dibawah judul termasuk kesyirikan seseorang dengan amalnya berniat meraih dunia :
“ Ketahuilah ! bahwa ikhlas kepada Alloh merupakan asas bagi dien ini serta ruh bagi tauhid dan ibadah yang maknanya adalah seseorang meniatkan amalannya seluruhnya untuk tujuan wajah Alloh, pahalaNya serta kemurahan dariNya. Ia menegakkan rukun iman yang enam dan rukun islam yang lima, ia menegakkan hakekat –hakekat iman yang berupa ihsan, ia tunaikan dengan sempurna hak – hak Alloh dan hak para hambaNya dengan ia memaksudkan seluruhnya tersebut wajah Alloh dan negeri akherat. Ia tidaklah menginginkan dari semua itu keinginan dilihat dan dipuji orang atau didengar dan dipuji orang serta tidak menginginkan kepemimpinan tidak pula keinginan duniawi, dengan hal itulah ia menyempurnakan imannya serta tauhidnya.
Diantara perkara terbesar yang dapat menghapuskan ikhlas adalah keinginan agar dilihat oleh orang lain serta beramal dalam rangka meraih pujian serta penghormatan dari mereka atau juga beramal untuk tendensi duniawi, sesungguhnya hal tersebut sangatlah merusak keikhlasan dan tauhid.
Namun ketahuilah ! sesungguhnya keinginan untuk dilihat orang lain dan dipuji ini padanya terdapat perincian yaitu :
Jika matifator amal seseorang adalah tendensi agar dilihat oleh orang lain kemudian hal ini berkelanjutan dalam dirinya maka tak ayal lagi amalannya gugur dan ini merupakan syirik kecil yang dikhawatirkan akan mengantarkannya kepada syirik besar.
Jika motifator amal seseorang adalah dimaksudkan wajah Alloh serta tendensi ingin dilihat orang lain dan dipuji kemudian dia tidak menyudahi tendensi ingin dilihat dan dipuji orang lain tadi serta tidak menanggalkannya dari amalnya maka berdasar tekstual dalil – dalil yang ada amalannyapun juga gugur.
Jika motifator amal seseorang hanyalah dimaksudkan wajah Alloh semata namun disela – sela mengerjakan amal tersebut terjangkiti tendensi ingin dilihat dan dipuji orang lain maka apabila ia berusaha untuk membuang tendensi tersebut dan berjuang mengikhlaskan amalnya kepada Alloh niscaya tendensi tersebut tidaklah membahayakan amalnya namun apabila ia biarkan tendensi tersebut bahkan merasa tenang – tenang saja maka berkuranglah pahala amalnya, tidak hanya itu bahkan akan melemah iman dan ikhlasnya sesuai kadar tendensi ingin dilihat dan dipuji orang lain tersebut mengendap dalam qolbunya serta sesuai kadar perlawanan tendensi tersebut terhadap keikhlasan amal kepada Alloh serta besarnya kadar bercampurnya noda – noda tendensi tersebut dalam amal.
Riya’ ( tendensi ingin dilihat dan dipuji orang lain ) dalam amal merupakan cacat yang sangatlah besar, ia membutuhkan kepada pengobatan yang serius juga kepada tarapi jiwa terhadap ikhlas, terhadap mujahadah ( keseriusan ) didalam melawan bisikan – bisikan tendensi riya’ serta berbagai tendensi yang berbahaya, ia membutuhkan untuk memohon bantuan kepada Alloh didalam melawannya. Semoga saja sebab ini Alloh memurnikan iman sang hamba dan menajamkan tauhidnya.
Adapun amal yang diniatkan untuk tendensi duniawi maka perinciannya adalah :
Jika keinginan seseorang seluruhnya adalah untuk maksud ini dimana sama sekali ia tidak memiliki keinginan wajah Alloh dan negeri akherat maka orang ini tiada ia diakherat kelak mendapat bagian kebaikan sedikitpun. Amalan yang menyandang sifat demikian ini sama sekali tidak akan lahir dari seorang mukminpun sebab seorang mukmin meskipun lemah iman mesti ia memiliki keinginan wajah Alloh dan niatan negeri akherat.
Adapun orang yang beramal untuk wajah Alloh juga untuk tendensi duniawi kemudian dua niatan tersebut sepadan atau saling berdekatan maka orang ini meskipun dia mukmin akan tetapi sesungguhnya dia adalah orang yang kurang iman, tauhid dan ikhlasnya, amalannyapun kurang sebab lenyapnya kesempurnaan ikhlas.
Sedangkan orang yang beramal untuk Alloh semata, ia ikhlaskan didalamnya keikhlasan secara sempurna namun ia memungut upah atas amalannya tersebut sebagai alat penopang dalam ia menjalankan diennya semisal bentuk – bentuk upah dalam berbagai amal kebajikan, seperti seorang mujahid yang jihadnya memberikan kepadanya harta kemenangan atau rizki, atau juga seperti wakaf berupa masjid, madrasah dan jabatan diniyah yang diperuntukkan bagi yang menjalankannya maka semua ini bagi seseorang yang mengambilnya tiadalah membahayakan iman dan tauhidnya dikarenakan keadaannya yaitu ia tidak meniatkan duniawi namun tidak lain ia bermaksud tegaknya dien ini juga berniat dengan apa yang ia dapatkan sebagai penopang didalam ia menegakkan diennya. Oleh karena itu Alloh menjadikan pada harta – harta yang syar’iy semisal zakat, harta orang kafir yang kembali menjadi milik kaum muslimin dan selainnya satu bagian yang besar diperuntukkan bagi siapa yang menjalankan jabatan – jabatan diniyah maupun duniawiyah yang bermanfaat sebagaimana perincian akan hal itu telah dimaklumi. Maka artinya, perincian ini memberikan pencerahan bagi kalian hukum didalam permasalahan besar ini serta menuntut kalian untuk menerapkannya pada semua perkara sesuai porsinya masing – masing. Wallohu a’lam ”_selesai dari kitab Al Qoulus Sadid karya Al ‘Allamah Abdurrohman as Sa’diy hal. 112 – 113 cet. Darut Tuhaf, KSA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENARA SUNNAH KHATULISTIWA

Artikel-artikel islam ilmiyah dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Arab, Insya Allah diasuh oleh Abu Unaisah Jabir bin Tunari